#90

5.6K 899 671
                                    

| RavAges, #90 | 5988 words |

Warning: Disturbing Content

Warning: Disturbing Content

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAMI TERLAMBAT. Penyekatan wilayah itu sudah terjadi di mana-mana. Saat kami turun dari kapal feri yang kami susupi, para penumpang langsung dibariskan menuju portal dan diperiksa.

Selain petugas penggeledahan, ada seorang wanita yang berdiri mengamati orang-orang yang masuk. Kami langsung tahu dari gelagatnya—mata memicing seperti orang sakit mata, hidung mengendus-endus seperti anjing pelacak, dan seseorang digiring ke portal terpisah saat wanita itu membisiki penjaga portal: wanita itu seorang Detektor.

Entah apa yang terjadi pada para Fervent yang digiring ke portal terpisah, tetapi aku tidak berminat mencari tahu. Aku langsung menggiring yang lain untuk keluar barisan dan menyelinap ke dalam hutan.

"Ada bau masakan." Vida mengeluh di belakang. "Sepertinya ... nasi goreng."

"Pasti pakai suwir ayam," sahut Mada penuh harap. "Ada telurnya juga."

Di sisiku, Erill yang terpincang-pincang dan berpegangan pada Aria pun menelan ludah. Bibir anak itu pucat dan pecah-pecah, bagian bawah matanya gelap. Kami sudah menangani luka kakinya sebisa kami, tetapi koyakannya terlalu besar dan ada serpih besi tertinggal di dalam. Erill butuh antibiotik juga alat medis yang steril dan memadai—tetapi kami tak memiliki itu semua.

Kami menemukan pondokan kecil terbengkalai di tengah hutan. Lantai ubinnya retak-retak dan becek, baunya seperti sampah basah, dan tak ada perabot apa pun kecuali dipan kayu kosong tanpa kasur dan selimut tua yang sudah bolong-bolong. Bukan tempat yang baik, tetapi Erill butuh duduk dan kami harus istirahat.

Detik pertama kami duduk, Erill jatuh pingsan, Mada mulai terisak-isak, dan Vida menempel erat ke lengan Aria. Baru setelah kami sendirian di tengah hutanlah duka karena kematian Hayden dan meledaknya institusi PFD meresap. Aku bahkan hanya bisa menatap lantai selama setengah jam penuh, merasa kosong dan bebal. Andai Aria tidak mengingatkan bahwa kami butuh sesuatu untuk dimakan dan diminum, aku mungkin takkan bergerak.

Aria dan aku berbagi tugas. Saat dia keluar mencari—lebih tepatnya mencuri dari pos terdekat—makanan dan air minum, aku tinggal untuk berjaga di dalam pondok. Saat aku keluar mencari pakaian bersih dan sesuatu untuk mengobati kaki Erill, Aria yang berjaga. Namun, tak banyak yang bisa kami dapat selain baju-baju kaus kebesaran dari tali jemuran seseorang, roti sosis bulukan, dua botol air mineral yang segelnya sudah rusak, dan penghilang rasa sakit untuk Erill.

"Kita masih butuh perban dan antibiotik," kata Aria saat aku meletakkan dua ampul lidocaine dan sebotol ibuprofen yang hampir kosong di depannya. Tangannya masih sibuk membuat bantalan dari segumpal kaus di bawah kaki Erill. "Di mana kau mendapatkan ini?"

"Rumah seorang nenek tua yang kukira buta dan tuli, tapi ternyata dia melihatku dan mampu berteriak seperti gadis muda melihat serangga di kakinya." Tepat saat aku mengatakannya, Vida menjerit karena seekor kecoak terbang dari jendela ke rambutnya. "Nah, persis seperti itu."

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang