#60

7.4K 1.2K 395
                                    

| RavAges, #60 | 1994 words |

| RavAges, #60 | 1994 words |

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"SIAPA YANG meninggal?"

Ibu langsung menoleh karena pertanyaanku, tetapi dia tak kunjung melontarkan jawaban. Malah ayah, yang sedang berganti pakaian, yang menjawabku. Katanya, "Teman kerja ayah."

"Siapa?" desakku sambil menyeret koper berisi pakaianku. "Kalau ada teman ayah yang meninggal di sini, tidakkah seharusnya kita menunda pindah dulu?"

Sejujurnya aku tak betah-betah amat di Kompleks 13. Di sini aku tak punya teman sama sekali gara-gara ayah membela seorang petugas NC yang menembak mati Al Ghifari beberapa bulan lalu. Lagi pula, para sepupuku juga semuanya tercecer di Kompleks 1 sampai 12—mereka menetap di Kompleks yang menurut keluarganya cukup nyaman untuk ditinggali. Cuma keluargaku yang masih berpindah terus. Yah, seingin apa pun aku ingin rumah yang lebih permanen, aku akan lebih memilih pindah lagi daripada menetap di Kompleks 13.

Hanya saja, melihat wajah ayah yang pucat belakangan ini, dan mendengar ada temannya yang meninggal, aku mau-mau saja menahan diri beberapa minggu lagi. Namun, ayah justru tampak tak sabar untuk pergi dari sini.

"Nanti kau tunggu di mobil saja, oke?" kata ayah saat kami mengangkat koper dan tas-tas ke bagasi. "Tidak perlu ikut ke makam. Ayah saja yang turun."

Mobil boks yang membawa barang-barang yang lebih besar telah pergi lebih dulu ke Kompleks 14, padahal koleksi film dan majalahku ada di sana, tersimpan dalam kotak kardus. Kurasa aku tak punya pilihan selain memainkan ponsel dan tidur selama ayah melayat sampai temannya dikebumikan.

"Memang siapa yang meninggal?" tanyaku lagi, kali ini kepada ibu karena ayah tampaknya tak mau menjawab.

Alih-alih langsung menanggapiku, ibu malah menoleh pada ayah yang tengah mengemudi. Dari kaca spion, aku bisa melihat ayah melirik ibu sekilas, lalu samar-samar menggerakkan kepalanya. Amat samar sampai-sampai aku nyaris tak yakin apakah itu memang gelengan atau aku cuma salah lihat.

Ibu akhirnya menengok ke jok belakang dan tersenyum letih padaku. "Kau tidak mengenalnya, Leila."

"Ibu kenal?" tanyaku lagi.

"Kau tahu apa yang orang NC lakukan pada bocah yang banyak tanya, Leila?" celetuk ayah, masih fokus ke jalan. "Mereka melemparkannya ke sungai penuh buaya dan hiu."

Aku memutar mataku. Seolah-olah ayah tahu saja pekerjaan orang NC. Lagi pula, aku tahu dia bercanda. Ayah selalu tampak serius saat bercanda.

"Hei," kataku tak lama kemudian. "Di sungai mana ada hiu!"

"Kalau begitu, ikan buntal." Ayah berkeras. "Atau lele—kau benci lele, 'kan, Leila?"

"Bukankah memang ada jenis hiu yang bisa berenang sampai air tawar?" kata ibu, yang langsung ditanggapi ayah dengan ajakan tos tangan.

Aku mendengkus keras-keras dan memasang earphone. Kuputar musik keras-keras dari ponsel dan pura-pura tak tahu ayah sedang tertawa di depan. Kuabaikan ibuku sebagai pertanda bahwa aku merajuk karena telah dikhianati olehnya.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang