#57

8.9K 1.3K 533
                                    

| RavAges, #57 | 3890 words |

| RavAges, #57 | 3890 words |

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SESAK. SEPERTI ada sesuatu yang membebaniku. Udara terasa lebih panas daripada biasanya. Aku nyaris menyangka bahwa aku kembali terjebak dalam bagasi mobil, atau digencet reruntuhan lagi. Lalu, aku sadar bahwa yang ada di atasku ini Erion.

Entah bagaimana bisa kami (kecuali Alatas) jadi tak sadarkan diri setelah dikepung para Calor. Ketika membuka mata, kami berempat sudah ditumpuk seperti barang gelondongan—Truck tengkurap paling bawah, Alatas di atasnya, yang kemudian ditindih olehku, dan Erion paling atas. Ketika aku mencoba mendongak, kurasakan tangan Alatas menahan kepalaku.

"Mereka bisa masuk sewaktu-waktu," bisik Alatas parau.

"Siapa?" tanyaku dengan suara teredam di atas dadanya. Bibirku terasa kering dan mataku berkunang-kunang. "Ini bukan akal-akalanmu untuk menahanku di atasmu, 'kan?"

"Setengahnya iya."

Aku memaksa untuk mengangkat wajah dan melihat sekeliling. Ruangan ini lengang dan diterangi sebuah obor menyala pada satu sisi tembok. Di samping pintu, ada ventilasi besar serupa jendela, menampakkan siluet beberapa orang yang mondar-mandir di luar. Kepalang kaget, aku berpura-pura pingsan lagi meski orang-orang itu tak masuk.

"Siapa mereka?" tanyaku.

"Calor," bisik Alatas. "Kurasa, mereka memasok Arka di sini. Kekuatan kita teredam, dan mereka berwujud manusia—bukan api."

Tampaknya baru aku yang bangun. Erion tak bergerak di atasku, mendengkur dengan tangan terentang seolah dia tidur di atas kasur. Truck sama diamnya, nyaris seperti bantal raksasa yang kebetulan memiliki tangan dan kaki di bawah Alatas.

Aku ingin berguling ke samping, tetapi takut orang-orang di luar itu menyadari pergerakanku. Ketika aku menggerakkan kaki kanan yang pegal, Alatas berdengap lantaran lututku menumbuk pangkal pahanya. Buru-buru kuluruskan lagi kakiku.

"Perutku kram," keluhku sebagai pengalih atas apa yang terjadi barusan. Wajahku terasa lebih panas dari sebelumnya. "Kenapa kita ditumpuk seperti ini?"

Alatas meringis, "Mungkin mereka mau menjadikan kita kayu bakar."

"Tidak lucu, Alatas."

Aku berusaha bertahan untuk beberapa detik yang menyiksa, disengat hawa panas dari obor dan ketiadaan ruang untuk bernapas. Keresahan yang dulu kualami saat terkubur dan terjebak di antara reruntuhan kembali mengemuka. Ketika aku nyaris pingsan lagi, pintu mengayun terbuka.

"Kenapa ditumpuk seperti ini?!" protes seseorang. Suaranya rendah dan hampir selembut ibu, tetapi ini suara laki-laki. "Mereka, 'kan, bukan tahanan!"

"Maaf, Embre," sahut lelaki lainnya. "Kebiasaan."

Lelaki bersuara lembut yang dipanggil Embre itu melangkah mendekati kami. Dia baru menepuk bahuku sambil berkata, "Hei, Nak—" saat aku bangun mendadak dan menghantam bawah dagunya dengan kepalaku.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang