#58

7.6K 1.2K 409
                                    

| RavAges, #58 | 3016 words |

"TIMOTHY EDISON, Timothy Freya, dan Timothy Darren

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"TIMOTHY EDISON, Timothy Freya, dan Timothy Darren." Kudengar seseorang mengucapkan nama-nama. "Catat itu. Mereka semua dari T. Ed Company, yang tersisa dari keluarga Dokter Timothy."

"Kupikir, mereka semua sudah dibantai sampai habis," kata seseorang yang lain—suaranya seperti wanita. Agak serak dan nyaris kusangka laki-laki. Saat wanita itu berucap, aku mencium bau asap rokok. "Lalu? Ada lagi?"

"Aga Morris," kata suara pria yang pertama, mengejutkanku seketika karena dia membawa-bawa nama ayah juga. "Ivan Cross, Dwi Eka, dan Juanda Moria. Mereka orang besar di NC. Tapi, dari beberapa catatan transaksi, ada kemungkinan mereka telah bergabung dengan T. Ed Company."

Si wanita mengeluarkan suara helaan napas yang berat. Sekali lagi, aku mencium asap rokok. "Apakah hanya T. Ed Company yang ingin kau awasi?"

"Mereka yang paling kuat. Jika T. Ed Company keluar, pondasi NC bisa hancur. Aku tak peduli dengan yang lainnya—toh, perusahaan-perusahaan kecil sudah sepenuhnya di bawah cakar NC."

"Maksudmu, kau belum menancapkan cakarmu pada T. Ed Company?"

"Tentu saja sudah," kata suara pertama lagi. "Tapi, belum cukup dalam."

Aku mengucak mata, tetapi penglihatanku tetap gelap. Lalu, aku sadar bahwa aku ketiduran dalam bagasi mobil.

Tunggu. Tidak. Ini bukan bagasi mobil itu. Berarti aku sudah keluar ....

Atau ada yang mengeluarkanku.

Aku tidur menelungkup di atas dipan keras berseprai berbau aneh—seperti barang lama yang disimpan sampai apak, lalu mendadak dikeluarkan untuk langsung dipakai. Saat membuka mata, yang kulihat ada tembok semen penuh coretan dari cat semprot.

Samar-samar bau dinding dan cat semprotnya masuk ke hidungku, lalu tertutup oleh bau asap lagi saat si wanita buka suara. "Sungguh mengesalkan. Kau menyeretku ke sini untuk pekerjaan yang jelas-jelas kubenci. Dan tempat ini ... aku tidak tahan dengan tempat ini! Semuanya sangat ... asing. Meski aku bisa, aku tidak mau beradaptasi di sini! Intrik para manusia ini merepotkan!"

Kuharap wanita itu tidak bicara lagi. Makin lama dia bersuara, makin kuat bau asap dan sangit yang tercium.

"Tapi menarik," tukas suara yang pertama lagi. "Kerjakan saja. Setelah semua datanya terkumpul, kau boleh pulang ke Nether."

Nether .... Kalau tak salah ingat, ibu pernah mengajariku, Netherland itu negeri nan jauh di sana. Di sana mana—aku tak tahu. Sejak kapal NC berlabuh, semua akses keluar-masuk lintas negara ditutup.

Namun, dia bilang Nether. Bukan Netherland.

Lalu, aku terpikir lagi, Memang apa pula bedanya?

"Kenapa? Kau tidak mau pulang ke Nether?" lanjutnya, sampai otakku yang masih agak berkarat sehabis bangun tidur pun bisa mengenali suaranya.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang