#33

12.9K 1.9K 592
                                    

| RavAges, #33 | 4350 words |

"LEILA?" ALATAS mengangkat sebelah tangannya dan menyeka air mata yang jatuh di bawah mataku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"LEILA?" ALATAS mengangkat sebelah tangannya dan menyeka air mata yang jatuh di bawah mataku.

"Erion ..." isakku. "Aku melihat masa lalu Erion lagi."

Alatas memegangi wajahku sementara aku terus terisak-isak. Dia menyeka pipiku dengan lengan bajunya, tetapi air mataku terus keluar. Aku merasa seperti anak kecil lagi. Saat umurku 5 tahun, tangisanku yang paling keras disebabkan oleh kaki yang terjepit roda sepeda. Ibu menenangkanku dan menggeret sepedanya dengan aku yang masih duduk dengan kaki menggantung di atas sadel. Melihat darah yang menyecer di jalan gang, tangisanku makin kencang, mungkin terdengar sampai ke jalan raya. Aku menangis sampai wajahku merah.

Dari kebingungan di mata Alatas untuk menyikapiku, barangkali aku tengah menangis seperti itu—seperti anak 5 tahun.

"Iya, sudah—cup, cup. Sudah, ya. Hei, hei." Alatas mengangkat daguku. Tutur katanya persis seperti caranya mengajak Erion bicara. "Lihat kakiku. Bengkok. Aku tidak bisa mengangkat kita ke atas. Bagaimana kalau kita panggil Truckey?"

Masih sesenggukan, aku berdiam sebentar di atas dadanya, mengatupkan bibir rapat-rapat dan mencoba menenangkan diri. Sesuatu meleleh dari hidungku. Lalu, aku membuat Alatas syok dengan membuang ingus dan menyeka ujung hidungku di dada bajunya.

"Maaf," kataku tanpa punya daya lagi untuk menatap matanya.

"Eh, iya. Nggak apa-apa. Kuanggap itu jejak cintamu untukku."

Untuk sejenak, pikiranku kosong dan terasa seperti bukan pikiranku sendiri. Aku lupa bagaimana cara meraba ke dalam otak orang lain. Sepintas, aku sempat ingin mengangkat kami berdua dengan telekinesis ... sampai aku teringat bahwa aku bukan Phantom.

Truck! Aku meneriakkan nama itu keras-keras dalam hati. Truck!

Butuh waktu lebih lama daripada biasanya sampai aku benar-benar merasa masuk ke dalam kepala pria itu. Seperti sebelumnya—hening. Truck begitu tenang. Namun, semua itu hanya berlangsung selama beberapa menit sampai kemudian aku merasakan otot-ototnya meregang dan jantungnya berdegup cepat. Transisinya hampir sekejap. Gambaran-gambaran itu kulihat begitu saja—acak dan gelap. Baru kemudian aku sadar dia sedang bermimpi. Di alam bawah sadarnya, pria itu tengah berlari mengejar sesuatu.

"Aria." Kusuarakan nama itu. "Ari—"

"Jangan dilihat," bisik Alatas seraya mengeratkan tangannya di pipiku. "Truck tidak akan suka."

Keningku mengerut. Bagian dalam mataku terasa sakit dan kepalaku pening. Jika bukan karena suara Alatas, aku tidak akan bisa mengembalikan diriku lagi. Perlahan, sisa kesadaran Leila-ku mengambil alih. Segera saja aku menyentakkan diriku dengan satu teriakan: TRUCK!

Aku merasakan Truck terbangun. Wajahnya membentur dinding logam karena, sepertinya, dia sedang berbaring dalam posisi miring. Untuk sesaat, aku nyaris merasakan sakitnya di wajahku sendiri. Buru-buru aku menarik diri darinya.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang