#63

9.3K 1.4K 653
                                    

| RavAges, #63 | 2250 words |

AMOS DAN Iris, 27 tahun, saudara kembar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AMOS DAN Iris, 27 tahun, saudara kembar. Amos lahir tiga menit lebih dulu, yang membuat Iris mengklaim dirinya sebagai kakak. Mereka bertugas di sisi arena untuk menjaga para petarung tetap di dalam. Keduanya juga yang mengawasi ajang pembantaian itu, memeriksa jasad di arena, dan mengumumkan pemenangnya.

Heran—aku malah lebih mudah membaca pikiran Iris ketimbang Amos.

"Iris lebih mudah," kataku pada Embre.

Embre menepis kata-kataku. "Amos. Aku cuma minta Amos."

Kutatap Amos di kejauhan, yang berdiri diam di antara dua pilar layaknya patung penjaga. Sekeras apa pun aku mencoba berkonsentrasi padanya, pikiranku kembali terlempar ke Iris. Mataku bahkan tahu-tahu sudah melirik gadis itu, yang tengah bersandar ke pilar di sisi saudaranya, mengobrol dengan Alatas. Aku menyuruh Alatas untuk mengalihkan perhatian si pengawas arena itu—mungkin pertahanan alam bawah sadar Amos bakal melemah jika diajak bicara, tetapi yang perhatiannya Alatas dapatkan malah dari Iris.

Aku kembali memelototi Amos sambil meyakinkan diri sendiri bahwa pikiranku terus teralih ke Iris sama sekali tak ada hubungannya dengan kehadiran Alatas di sana. Lalu, kudapati gadis itu tertawa pada sesuatu yang Alatas katakan. Aku jadi gatal sekali untuk mengorek apa kiranya yang tengah mereka bicarakan—

"Kalau kau berhasil masuk ke dalam kepala Amos nanti," kejut Embre sampai-sampai fokusku ke Iris buyar. "Cobalah untuk tidak membaca pikirannya."

Aku mengerjap tak paham. "Tapi, begitulah caraku mengetahui kalau aku sudah berada dalam kepala seseorang atau belum."

"Ya, terserah saja." Embre mengangkat bahunya. "Aku hanya kasih peringatan. Beberapa Calor pernah dilatih oleh NC untuk menghalau kalian, para Brainware. Kalau bisa, jangan berlama-lama membaca isi pikirannya."

Jika Amos menyanyikan satu lagi lagu anak-anak yang sudah punah untuk menghalauku, aku mungkin akan berhenti saja menggunakan Brainware. "Jadi, kau mau aku berbuat apa?"

"Kau cuma perlu menanamkan sugesti ini—" Embre menginjak ujung sepatu botku cukup keras, "—Sepatu botmu seberat biji besi 100 kilogram. Katakan itu padanya berulang-ulang. Kalau perhitunganku benar, dan Brainware-mu yang lelet itu memang suka pilih-pilih, sugesti itu mungkin baru benar-benar tertanam di benaknya setengah jam lagi. Jadi, bergegaslah."

Aku sama sekali tak paham, tetapi Embre langsung mendorongku tanpa penjelasan lebih, lalu pergi entah ke mana.

Jangan Potong Bebek lagi, aku berdoa dalam hati sambil mengerahkan Brainware dan memelototi pundak Amos dari belakang. Jangan Potong—

Begitu tercebur ke dalam batok kepalanya, aku menarik kembali semua permohonanku. Lagu Potong Bebek Angsa ternyata jauh lebih baik.

Aku mungkin tak sampai dua detik berada di dalam pikirannya, tetapi segera saja aku angkat kaki. Aku teringat Calor liar yang pernah kami temui di Garis Merah, seorang pemuda bernama Robbin, yang sempat membuatku seperti dibakar hidup-hidup sampai kakiku lumpuh sebelum Calor itu dibunuh oleh Raios.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang