#96

3.3K 738 238
                                    

| RavAges, #96 | 4329 words |

"KADANG MANUSIA punya cara untuk melewati batas kemampuan mereka demi mendapatkan sesuatu," kata ayahku suatu malam sebelum kami pindah ke Kompleks 8

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"KADANG MANUSIA punya cara untuk melewati batas kemampuan mereka demi mendapatkan sesuatu," kata ayahku suatu malam sebelum kami pindah ke Kompleks 8. "Aku tidak ingin, kau, anak gadisku, melanggar batas itu untuk sesuatu yang egois dan jahat. Tidak. Karena anakku bukan orang jahat."

Kuratapi ingatan itu lama-lama hingga aku menghafal tiap kata dari kalimatnya. Aku mengingat jeda yang Ayah ambil saat dia menarik dan mengembus napas dengan gemetar. Aku memerhatikan detail kecil seperti kerut di alisnya, matanya yang memerah karena kurang tidur, tulang rahangnya yang menonjol, dan jari-jari tangannya yang berkedut gelisah—Ayah seakan-akan tidak memercayai ucapannya sendiri.

Kututup pintu kenangan itu dan berjalan menuju pintu lainnya.

Di balik pintu kedua adalah Pascal, berdiri dalam kekacauan kertas-kertas dalam ruang bekas kantor yang gelap dan dindingnya retak-retak. Namun, seluruh tubuh Pascal memancarkan kehangatan dan cahaya temaram.

"Ayahmu pahlawan, Leila." Pascal berkata pelan. Matanya menatapku lembut. "Ayahmu menyelamatkan nyawaku saat keluargaku dibantai. Aku tidak akan bisa membalas jasa itu padanya, tapi aku bisa melakukannya padamu. Aku bersumpah, ke mana pun kau pergi, aku—"

"Aku melihat ayahmu membunuh keluargaku." Memori yang lebih baru menimpanya di depan mataku. Dibanding sebelumnya, Pascal tidak lagi tampak hangat atau pun bercahaya, tetapi dia benar-benar terbakar. Matanya goyah saat menatapku. Bisa kulihat campuran kemarahan, kebingungan, dan penyangkalan di sana. "Aku sudah tidak tahu lagi apa yang benar. Pasti ada yang salah dengan kepalaku! Ayahmu tidak mungkin membunuh mereka! Dia menyelamatkanku!"

Apa pun yang kulakukan kala itu saat melihat memori masa lalunya—saat aku menyeka dinding penyekat dan menyingkap kenyataan bahwa ayahkulah yang menghabisi keluarganya—telah berimbas langsung ke kepala Pascal. Memorinya menjadi jelas akibat perbuatanku dalam ruang benak ini. Terbetik penyesalan di benakku karena telah membersihkan ingatannya dari pengaruh Brainware Ayah, lalu aku menyesal lagi karena perasaan busuk itu. Pascal tidak seharusnya ditipu ingatan palsu. Dia tidak seharusnya menganggap pembantai keluarganya adalah penyelamatnya.

Aku membayangkan diriku berada di posisinya—andai Komandan Binta berani-beraninya mengubah ingatanku dan membuatku menyangka dia menyelamatkanku tepat setelah dia membunuh ayahku ... aku pasti takkan sanggup juga hidup dengan membawa-bawa ingatan menjijikkan macam itu. Bahkan tanpa dia melakukan tindakan itu pun, aku tak pernah ragu-ragu menginginkan untuk menghabisi Binta dan anaknya sekalian.

Namun, sampai akhir pun Pascal masih berusaha menyelamatkan nyawaku.

Aku keluar dari ruang ingatan tersebut. Ketika berbalik, kudapati diriku kembali ke dalam bangunan istal. Sir Ted terduduk dengan kain yang dipenuhi bercak darah, membebat torsonya. Saat kupikir wajahnya tidak mungkin bisa jadi lebih gelap dan pucat lagi, aku salah.

RavAgesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang