BUKU-BUKU YANG SEKARAT

100 4 0
                                    


Harus kita akui, hari ini, kita sudah makin jauh terseret pada arus besar sekaratnya buku-buku. Begitu banyak buku dicetak. Dibeli. Berderet menjadi perpustakaan. Tapi sepi dalam perbincangan intelektual.

Juga, tak lagi layak untuk menjadi bagian dari pencarian kebenaran, keadilan, dan humanisme. Atau berbagai macam nilai yang mirip semacam itu.

Beberapa waktu yang lalu, banyak orang gegap gempita menyambut buku Fareed Zakaria, The Future of Freedom. Yang setelah dibaca, dunia nyata masih tak banyak berubah. Karena kebanyakan orang yang membacanya, setelah membacanya, ditaruh kembali di rak. Dan selesai.

Jadi untuk apa buku menyoal kebebasan, yang temanya juga sudah banyak ditulis, ditulis lagi, dibeli lagi, ditaruh di rak lagi? Lalu, heboh lagi?

Sama halnya buku yang akhir-akhir ini tengah populer dan banyak dicari, The Righteous Mind dari Jonathan Haidt, yang menyoal perpecahan di antara orang baik dalam agama dan politik. Yang jelas, buku semacam itu sudah ditulis oleh banyak pemikir dan penulis lainnya lebih awal. Tapi kenapa banyak orang membutuhkan buku baru, dengan tema dan isi persoalan yang sama?

Kemudian acara beli membeli kembali dimulai. Yang diiri ulasan buku-buku. Pemasaran. Heboh sekilas. Dibaca. Sedikit diperbincangkan. Lalu tergeletak di rak.

Buku lainnya, yang juga tengah poluler, How Democracies Die malah memperlihatkan kenyataan mengharukan dari buku-buku pemikiran sekarang ini dan buku-buku lainnya.

Seorang Gubernur Jakarta, yang nyaris tak tahu membedakan kenyataan dan kebeneran intelektual. Yang sudah lupa dirinya pernah menjadi intelektual dan kekuasaan menjadikannya mengkhianati banyak buku yang membicarakan tema-tema kejujuran, keadilan, demokrasi, kebenaran dan lainnya. Malah membaca buku menyoal matinya demokrasi, yang ia sendiri menjadi salah satu orang yang membunuh demokrasi.

Buku semacam itu, kematian demokrasi, sudah ditulis oleh entah berapa banyak penulis dan pemikir terkenal dari tahun ke tahun. Setelah ditulis dan dijual. Jadi bahan bacaan para pengusaha yang juga tak banyak peduli demokrasi ada atau tidak. Para pemimpin dunia dan lokal, yang membacanya dengan lahap tapi tindakannya di dunia nyata bertolak belakang. Juga kalangan akademisi, intelektual, aktivis, mahasiswa, dan lainnya. Yang setelah membacanya, akan selalu berakhir di rak baca. Terabaikan.

Orang yang sudah membacanya akan sibuk mencari uang. Mengabaikan dunia sekitar. Menikmati kelicikan untuk menata karir. Dan seterusnya.

Lalu untuk apa buku semacam itu dicetak lagi dan lagi? Dibeli lagi dan lagi? Dibaca lagi dan lagi?

Lalu, di manakah buku-buku terdahulu yang lebih dulu membicarakan tema dan isi yang sama, yang bahkan terkadang ditulis jauh lebih baik dan elegan?

Buku-buku yang lama itu sudah tak menarik. Isinya tentunya juga sudah diabaikan. Buku baru yang muncul, hanya sekedar untuk mengikuti tren dewasa ini. Buku sebagai hiburan dan berakhir sebagai novel dongeng.

Terlebih manusia hari ini sangat senang dengan segala yang baru dan terkini untuk memuaskan hasrat mereka akan kebaruan. Bukan akan isi dan pencerahan pikiran di dalam buku itu. Tapi buku baru yang dibaca sebagai pelepas penat dan penghabis hari, yang bersanding dengan film baru, musik baru, komik baru, gadget baru, dan apa pun yang baru,yang bisa dipakai sehari-hari. Lalu nantinya akan diganti oleh yang baru lagi dengan isi yang sama dan perbedaan yang sedikit.

Kebutuhan untuk hal-hal baru berguna mengatasi manusia yang mudah bosan dewasa ini. Mendengarkan lagu dengan irama yang sama setiap hari. Membuat orang akhirnya bosan. Itulah sebabnya banyak musisi terus menciptakan lagu dengan aransemen yang sedikit berbeda tapi isi liriknya nyaris tak ada banyak perkembangan yang berarti. Isinya nyaris sama saja. Diulang dan diulang lagi. Tapi, orang-orang dewasa ini membutuhkan hal-hal baru semacam itu. Sekedar untuk meringankan kebosanan.

Dengan menikmati yang baru dengan isi yang lama. Banyak dari kita pada akhirnya menyingkirkan banyak hal dari yang lama. Hanya untuk sekedar kenikmatan psikologis akan kebaruan dan penghilang penat.

Itulah alasannya banyak buku baru dicetak terus menerus untuk menanggulangi jenis manusia yang cepat bosan. Isi sebuah buku tak perlu diterapkan dalam dunia nyata. Tak juga perlu diikuti dan diyakini. Hanya perlu membacanya, saat bosan atau tak tahu harus melakukan apa. Setelah selesai, buku ditaruh di rak, dan membeli yang lainnya lagi.

Proses semacam itu menjadi lingkaran sempurna bagi buku-buku pemikiran. Buku yang bagi pemikirnya awalnya berharap dibaca untuk dipahami lalu dikerjakan. Kini berakhir sebagai dongeng sewaktu senggang dan bermalas-malasan.

Perpustakaan pribadi pun mulai menjamur, yang artinya sama dengan perpustakaan dongeng pribadi. Di dalamnya ada dongeng demokrasi, agama, peperangan, kemanusiaan, empati, dan dongeng-dongeng mengenai apa saja yang ditulis para sastrawan dan pengusaha.

Saat buku-buku perenungan serius dan solutif berakhir menjadi sebuah dongeng. Manusia tidaklah lagi banyak membutuhkan kenyataan dalam dunia politik dan hubungan manusia. Lalu mereka akan mudah bertengkar dan marah. Berteriak mengenai ketidakadilan dan lainnya. Dan lupa, bahwa keadilan, demokrasi dan semacamnya, sudah menjelma dongeng semata.

Karena banyak orang sudah tak lagi butuh kenyataan dan jutaan solusi siap jadi. Maka setiap peperangan tak lebih dari pada khayalan kita. Begitu juga dengan segala macam yang berbau politik, bunuh diri, pembunuhan atau perampasan hak atas ruang dan tanah.

Buku-buku, semisal The Death of Expertise, yang membicarakan kematian dunia kepakaran. Juga telah sukses menjadi dongeng bersama di antara para pakar dan ilmuwan. Tentunya, buku-buku baru semisal The Uninhabitable Earth dan The Sixth Extinction. Juga telah menjadi buku dongeng dengan sempurna.

Buku dongeng kecil lainnya adalah No One is Too Small to Make a Difference dari Greta Thunberg. The Future of Humanity dari Michio Kaku. Enlightenment Now kepunyaan Steven Pinker. Buku-buku Yuval Noah Harari. Dan banyak buku baru lainnya yang jumlahnya membuat kita sakit kepala. Yang jika ditulis, benar-benar sangat meresahkan.

Di awal abad ini, orang tak perlu heran jika seorang tiran membaca buku menyoal demokrasi. Pengusaha tambang membaca buku mengenai empati. Dan politikus membaca buku agama setiap harinya.

Karena buku kini telah sekarat dan meniti karir menjadi dongeng dan terapi keseharian pelepas bosan dan penat.

Apa yang juga perlu diharapkan dari segelintir buku yang dibaca minoritas, yang membacanya juga sebagai dongeng belakanya. Sedangkan sisanya yang miliaran, tak peduli buku-buku semacam itu pernah ada atau tidak.

Sehingga, tak ada hal yang mengherankan, jika seorang ateis membaca buku mengenai Jesus dan Mohamad. Sedangkan orang beragama setiap hari sangat menikmati alur cerita dari para pengusaha ateis dan sekuler liberal.

Hari ini, buku telah mencapai titik di mana keberadaanya setara dengan musik dan film. Hanya untuk kesenangan berulang setiap hari.

Ya, hanya itu. Dan kita telah melihatnya menjadi nyata di perpustakaan kita masing-masing.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now