DENNY JA DAN SASTRA YANG MENJIJIKKAN

101 0 0
                                    

"Para pembohong biasanya tidak mengawasi, mengendalikan, dan menutupi keseluruhan perilaku mereka sendiri. Bahkan barangkali mereka tidak bisa melakukan hal itu meskipun mereka sangat ingin bisa. Kecil sekali kemungkinannya bahwa seseorang bisa dengan sukses mengendalikan segala hal yang dapat membuatnya ketahuan dari ujung kaki sampai kepala kepala. Mereka lebih memilih untuk menyembunyikan dan memalsukan hal-hal yang mereka duga akan paling diperhatikan orang lain. Para pembohong cenderung berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika berbicara," tulis Paul Ekman dalam bukunya Mendeteksi Kebohongan. Dan menyangkut klaim Deny JA atas puisi esai, orang yang cukup waras hanya butuh beberapa pengacara dan psikiater atau psikolog ditambah sejarawan sastra dan kritikus yang mumpuni. Lalu bawalah klaim itu ke pengadilan atas dasar pembohongan publik yang terencana dan agar segala klaim bohong itu dibatalkan jika memang segala yang mendukung klaim itu tidak benar dan layak. Seperti yang sering terjadi di Barat seandainya jalur intelektual yang jujur tidak bisa tercapai.

Apa yang membuat hampir banyak kasus dalam sastra tak terselesaikan dengan baik? Yah, mau bagaimana lagi, mayoritas besar sastrawan Indonesia hanyalah para pengecut jika menyakut perdebatan intelektual yang dalam dan berwibawa. Itu karena para sastrawan sendiri nyaris tak punya wibawa jadi mereka mengelak dan bersembunyi jika berurusan dengan pembuktiaan klaim dan kebenaran. Tidak hanya Deny JA saja. Tapi kebanyakan sastrawan Indonesia sedikit yang mau dianalisa dan dibongkar sampai ke dalam-dalamnya. Itulah kenapa, karena situasi sastra Indonesia sudah terlampau menjijikkan. Harusnya orang yang berkepentingan dalam sastra mulai memakai para pengacara dan psikiater. Siapa tahu, kebohongan adalah hal klasik yabg dipertahankan secara sistematik dan individual dalam diri para sastrawan kita dengan alasan masing-masing yang melimpah. Sehingga begitu mudahnya orang semacam Deny JA muncul kepermukaan dengan bermodal uang yang sangat besar, bagai mendanai pemilihan umum.

Jika Deny JA bungkam dan tak berani melakukan perdebatan ke publik luas. Bawalah kasus ini ke publik internasional. Tulislah kasus puisi esai ke ruang internasional, kedutaan besar, jurnal, tulisan, buku, esai, artikel dan apa pun itu dalam bahasa Inggris dan pergaulan internasional. Deny JA adalah orang yang terkenal secara internasional. Jika pihak media internasional tahu manipulasi sastra semengerikan itu. Mungkin sesuatu yang menarik akan terjadi. Atau gara-gara sastra Indonesia di mata internasional sangat tak penting dan tak memiliki tokoh intelektual sastra yang kuat kecuali ribuan penyair, cerpenis dan novelis abal-abal yang tak pandai berargumen dan menyampaikan fakta-fakta yang mendalam. Maka setiap perdebatan sengit di ranah sastra hanya menjadi ocehan anak remaja di negara sendiri. Tanpa pernah ada penyelesaian dan perdebatan secara mendalam terhadap kasus-kasus semacam ini.

Para ilmuwan dan intelektual di bidang lainnya, terlebih mereka yang mengajukan teori dan klaim baru atas suatu genre, pasti akan mempertahankan habis-habisan apa yang dia ingin pertahankan karena menyangkut prestasi, wibawa, harga diri, dan tanggung jawab moral dalam kaitannya dengan intelektualitas. Dan sastra Indonesia nyaris jarang mampu melakukan hal ini. Jurus terhebatnya selalu mengelak dan bersembunyi. Seolah-olah wibawa dalam sastra Indonesia tak jauh beda dengan panggung para politikus. Karena kemaluan selalu milik bersama dan harus ditutupi bersama. Suatu resiko dari sastra pertemanan dan kroni.

Dany JA mungkin diserang habis-habisan atas klaimnya terhadap puisi esai. Cobalah, gantian serang habis-habisan para penantang Deny JA mengenai kasus yang lainnya. Maka versi Deny JA yang lain akan membludak dan bertambah dengan begitu meriahnya. Karena sedikit orang di ranah sastra Indonesia yang punya kedewasaan intelektual dan keberanian untuk mengakui ketidakjujuran atau berani menyerang sukunya sendiri.

Dalam ranah saintis atau dunia para ilmuwan, melakukan kesalahan kecil dalam klaim sebuah teori, kebenaran, atau temuan, bisa berakhir dengan kematian citra diri dan pekerjaan. Dunianya seketika akan tertutup dan hancur. Walau para ilmuwan sendiri sering melakukan ketidakjujuran. Tapi kebohongan publik atas temuan penting adalah hal yang nyaris tak termaafkan dan menjadi coreng hitam seumur hidup. Jika menyangkut sastra Indonesia, hal ini akan susah dilakukan. Wibawa sastrawan kita berada pada tingkat paceklik. Dan ratusan atau mungkin ribuan sastrawan muda hanya berkepentingan mencari uang dan nama dalam ranah sastra sehingga mereka akan cenderung diam dan tak mau tahu. Dan masalah terbesarnya, para sastrawan dan penyair Indonesia sangat berbakat menjadi politikus. Bakat politikus ini berarti, ketidakjujuran adalah darah daging dari sastra Indonesia. Dan kasus Deny JA, benar-benar kasus yang paling menjijikkan yang pernah aku lihat selama ini.

Denny, jika menghargai diri dia sendiri, ranah sastra dan dunia intelektual. Dengan kekayaannya yang besar, kemakmurannya, dan segala otak serta jaringan yang dia miliki. Jika dia punya harga diri, seperti banyak pemikir dan intelektual yang kita kenal. Dia bisa mengambil cuti selama satu sampai dua tahun dan mati-matian mempertahankan klaimnnya atas puisi esai. Melakukan perdebatan publik secara luas dan berani menjawab keberatan apa pun dan dengan keras berusaha mementahkannya dengan mulut dan tangannya sendiri. Cuti dua tahun untuk harga dirinya dan mempertahankan klaimnya adalah hal yang murah. Denny tak akan jatuh miskin dan mendadak jatuh pada tingkatan menjadi pengemis. Saat ranah intelektual di Indonesia sudah begitu mengerikan. Kasus puisi esai menambahkan kekonyolan sikap intelektual di Indonesia pada tahap yang menjijikkan. Dari sastra yang penuh kebohongan hingga para ilmuwan muda Indonesia yang mulai terbiasa dengan klaim kebohongan dan penipuan-penipuan. Hingga para agamawan dan jurnalis yang kian pandai berpolitik.

Orang Indonesia memang berbakat jadi politisi. Karena politisi yang jujur adalah ketidakmungkinan. Dan politisi, akan cenderung menghindari debat Socratik. Dan debat Socratik dalam ranah sastra di Indonesia, benar-benar semacam keajaiban jika hal semacan itu terjadi.

Jika kejujuran dan kedewasaan intelektual tiba-tiba terjadi di Indonesia dengan keberanian mengakui kekurangan dan kesalahan. Mungkin itu tanda-tanda kiamat akan segera terjadi. Saat kita mencermati nama-nama para penolak puisi esai. Kebanyakan dari mereka adalah intelektual kesukuan atau intelektual satu sisi. Menyerang lawan dengan keras lalu diam seribu bahasa dengan kawanannya sendiri. Dari sekian banyak nama, bisakah ada yang memberikan satu atau dua nama, sebagai intelektual selayaknya yang dikatakan Julian Benda atau minimal Edward Said?

Ah, mungkin, terlalu banyak DENNY JA dalam sastra Indonesia kita selama ini. Itulah sebabnya kita mulai butuh para pengacara, psikolog, dan psikiater. Agar yang terlalu keras ditutupi, menjadi hal yang tak mudah lagi disembunyikan dengan cara paling elegan sekalipun.

catatan: Uang lima juta, bisa digunakan untuk menulis novel, cerpen, puisi yang bagus dan eksperimental. Semoga, uang lima juta yang diterima membuat para sastrawan dan penyair kita memiliki gagasan baru dan gaya bahasa yang berbeda. Jangan-jangan selama ini semua uang jumlah besar hanya habis sekedar menjadi karya-karya tolol versi baru? Ah, bagi orang miskin macam aku ini. Lima juta bisa menjadi beberapa buku puisi. Kumpulan cerpen aneh dan gila. Dan, uang lima juta, sudah cukup membuat dua sampai lima novel pendek 75-150 halaman yang sangat gila bahkan mengerikan. Mari kita tunggu pertanggungjawaban lima juta dalam bentuk karya atau sekedar tahi.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now