MANUSIA KELEBIHAN MORAL

223 2 0
                                    

Alln Wdynthdch. Tiba-tiba datang memaki-maki dengan menyebut aku bodoh, eksistensialis medioker, mengejekku dengan nada yang tak mengenakkan terkait bipolar yang aku miliki, dan bahkan membawa-bawa nama Nietzsche dengan cara yang sangat lucu. Perempuan ini, entah siapa, aku tak tahu, dalam sekian detik langsung membuatku geleng-geleng. Apakah perempuan ini memiliki perasaan malu di mukanya? Atau tipe perempuan yang bermuka tembok seutuhnya?

Soal menyebut diriku bodoh, medioker, dan lainnya, aku mengakuinya. Tidakkah aku memang seperti itu? Yah, tapi bukan berarti dia lebih baik dariku.

Baiklah, dia memang tipe bermuka tembok nyaris seutuhnya dan perasaan malu karena kegagalannya dalam berargumen, membuat dia selalu menghindar dan mengurung diri dalam bahasa-bahasa asing seperti manusia yang gagal beranjak dari era paska-kolonial dan bangga dengan intelektualitas pengecut semacam itu.

Argumen yang dia kemukakan nyaris tak berisi dan salah alamat. Toh dia tak mau meralatnya, meminta maaf, atau mengakui kesalahannya. Masalahnya, dia mencoba mencemoohku layaknya orang baik, orang bijak, dan manusia yang kelebihan moral di kepalanya. Oh dia mengolok-olokku dengan Nietzsche padahal dia sendiri mungkin akan ditertawakan oleh Nietzsche! Dia perlu menatap total mukanya sendiri dan bercermin ke kaca dengan seluruh kesadaran diri. Kalau dia tak mau, biarlah. Itu urusannya dirinya.

Bercermin dengan kesadaran diri sendiri akan membuatnya cukup mengerti apa yang dia lakukan dan katakan sama halnya seperti kumpulan manusia yang merasa dirinya baik, tapi melakukan hal yang jauh lebih buruk dan tanpa kebijaksanaan sama sekali. Oh aku sudah sangat terbiasa dengan manusia-manusia jenis itu. Jumlahnya sangat banyak dan nyaris tak memiliki malu dan perasaan bersalah sama sekali.

Orang brengsek macam aku pasti sangat tak asing dengan bau kebrengsekkan orang lain.

Dan saat dia berceloteh, aku nyaris tak begitu menganggapnya penting walau pada akhirnya aku menuliskannya di dinding Facebookku, dan catatanku ini, hanya sebagai dokumentasi bahwa terlalu banyak orang semacam ini di Indonesia hingga sifatnya kadang sudah mirip seperti virus yang susah disembuhkan.

Pada akhirnya aku memilih tidur karena kantuk yang tak tertahankan dari pada merecoki orang dengan kelebihan moral di kepalanya tanpa mengaca lebih dulu, memang sangat membuang-buang waktu. Toh, yang dia inginkan adalah sikap berbuat baik, bersimpati dan lainnya terhadap korban banjir. Biarlah dia ke Bantul dan memberikan hartanya kepada korban bencana yang dia maksud, tanpa perlu memaki-maki orang dengan seenaknya sendiri. Simpati yang hampa dan bersifat konyol. Itulah sebabnya perang mudah terjadi dan konflik yang tak kunjung selesai karena terlalu banyak orang kelebihan moral di kepalanya tanpa lebih dulu memeriksa moralnya sendiri. Mencaci maki tanpa tahu maksudnya dari apa yang aku tulis. Menghindari debat saat sudah tak lagi bisa menjawab. Kegagalan dalam argumen intelektual dan ketidakdewasaan yang sangat mencolok malah membuat diriku sendiri yang merasa malu. Mengapa banyak orang Indonesia bertipe semacam itu? Entahlah, lagian dia manusia bertipe sekali hidup setelah itu hilang selamanya. Kecuali dia berusaha memikirkan gagasan besar, menjadi ilmuwan dan lain sebagainya. Ah, dia tak sampai sejauh itu. Dengan otak dan kesadaran serendah itu, apa yang bisa dia lakukan? Ah, itu urusan hidup dia.

Dan dia masih ngomel-ngomel di dindingnya soal Dwi Cipta, Nietzsche, dan banyakn lainnya. Menuduhku dengan seenak perutnya karena membandingkan diri dengan Dwi Cipta. Apa aku sedang membandingkan diriku dengan Dwi Cipta? Tidak. Aku sekedar membandingkan tulisan pendekku yang tak seberapa itu dengan status Dwi Cipta. Jika diurai intinya nyaris sama. Oh dia meninggikan Dwi Cipta! Aku tak punya masalah dengan Dwi Cipta. Sampai sekarang dia adalah sosok yang masih aku hormati. Dia manusia yang berani hidup seperti itu, yang tak bisa aku lakukan saat beberapa tahun yang lalu sebagai aktivis gagal. Tapi gagasan dan pembaharuan soal filsafat lingkungan, Dwi Cipta, aku sangat yakin, dia tak akan mampu melampaui apa yang sedang aku ciptakan di bidang ini. Tapi perempuan itu dengan mata tertutup masih berteriak-teriak. Tanpa mau mengakui dirinya sendiri dan ketidakbecusannya menilai. Sangat memalukan. Sungguh hal paling memalukan yang aku temukan di akhir bulan november di tahun 2017 ini. Dan apa yang dia lakukan terhadap Nietzsche? Kecuali pembaca kelas teri dan sekedar konsumen total? Apa perempuan ini berani melampaui gagasan Nietzsche dan mati-matian mencari solusi atas kegagalan yang Nietzsche lakukan? Tidak. Dia hanya konsumen yang sok. Hanya itu. Tak lebih. Konsumen abadi.

Jika kritikku salah alamat dengan orang ini. Seandainya perempuan ini mau sampai loncat ke jurang pun, dia tak akan pernah mampu menghasilkan hal yang penting di bidang wacana, sastra, intelektual, filsafat, sains, atau apalah itu. Mataku masih cukup awas untuk melihat manusia.

Sangat melelahkan berdiskusi dengan orang seperti itu. Terlebih ketika merasa tak memiliki masalah dengan dirinya sendiri dan masih menongolkan diri tanpa penyesalan sedikit pun bahwa dia mencaci maki orang tanpa sebab yang jelas. Biarlah. Aku juga tak marah. Hanya saja, ingin sekali rasanya menggeleng-gelengkan kepala dengan cukup keras. Jika orang semacam ini menjamur di Indonesia, pantaslah negara ini akan kesulitan berkembang.

Lebih baik aku mengurusi diriku sendiri lebih dulu, meneruskan beberapa naskahku, dan mencari makan. Itu jauh lebih penting dengan manusia yang kelebihan moral di kepalanya. Jika dia masih tak terima, biarkan dia datang padaku, mari berdiskusi di depan umum. Siapa tahu kita bisa menjadi seorang kawan pada akhirnya. Jika tidak, setidaknya, kita sudah mencoba bersikap sedikit dewasa bukan? Itu jauh lebih penting dari semua hal yang mungkin.

Atau jika dia masih tak terima, harusnya dia berani menantangku secara intelektual. Tapi toh, saat aku tantang secara intelektual pun sikapnya nyaris seperti anak kecil. Apa yang bisa diharapkan?

Hari ini Jogja kembali hujan. Aku sedang menunggu buku Into Thin Air dan Into The Wild dari Jon Krakauer sampai di kamarku. Ada sesuatu yang ingin aku capai sebelum aku mati. Terlebih bagi filsafat lingkungan yang jarang diperhatikan orang di negara ini.

Dan waktunya untuk sedikit merenggangkan badan dan menikmati suasana Jogja. Menyelesaikan Touching the Void dari Joe Simpson, jauh lebih menarik dari pada mengurusi perempuan yang kelebihan moral di kepalanya.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang