BERHENTILAH MENJADI AKTIVIS

172 8 10
                                    

Akhir-akhir ini aku tengah membayangkan, apa jadinya jika seluruh aktivis dalam segala bidang di seluruh dunia mengambil cuti menjadi aktivis selama dua sampai lima tahun atau berhenti secara total secara serentak? Apakah masyarakat di seluruh dunia akan siap? Terlebih, apakah masyarakat  di negara kita ini sanggup kehilangan seluruh aktivisnya secara mendadak?

Sejujurnya masyarakat secara luas membutuhkan para aktivis sekedar sebagai sapi perah. Kita cukup menengok Soe Hok Gie sampai Wiji Thukul untuk sekedar mengingatkan diri, bahwa menjadi aktivis sudah tak lagi menarik. Aktivis sinonim dengan subsidi gratis ke masyarakat secara luas, yang sejujurnya sangat abai, cuek, tak peduli, dan nyaris tak memandang para aktivis itu sendiri. Dalam sejarah negara ini, sedikit dari kita yang benar-benar menghargai perjuangan para aktivis dan menjadi aktivis sejujurnya adalah aib.

Banyak aktivis yang sejak awal kuliah menggebu-gebu ingin melindungi rakyat; entah rakyat siapa dan yang mana. Menyerahkan dirinya untuk keluar masuk rapat, membicarakan ketidakadilan dan kemanusiaan, berbaris di jalanan menuntut hak masyarakat secara luas, dan rela tidak makan, tidak kuliah, menghancurkan masa depannya sendiri demi rakyat yang nyaris tak memikirkan dirinya sama sekali.

Beberapa orang memang memiliki kecenderungan untuk memikirkan orang lain secara lebih instens dikarena ajaran keluarga, lingkungan, atau pengalaman hidup. Itulah sebabnya, saat banyak dari mereka terlanjur terseret dan menjadi aktivis sejak awal kuliah, biasanya mereka terlalu menggebu-gebu dan sangat idealistik, melupakan diri sendiri, dan rela sakit dan dianggap aneh oleh sskitarnya. Dan mayoritas besar aktivis di negara ini diisi oleh orang-orang dari keluarga miskin, pedesaan, dan susah secara ekonomi. Mereka getol ingin bertindak dan merasakan gairah luar biasa saat tahu bahwa kemungkinan mereka bisa mengubah sesuatu di sekitar mereka. Saat tahun demi tahun berlalu, mereka harusnya cukup sadar diri, bahwa banyak dari teman-teman seperjuangannya akhirnya putus kuliah, kehabisan uang, kesusahan membeli buku baru, tak mampu membeli baju, dan harusnya dia juga sudah tahu saat tengah mengadakan rapat atau berjalan di tengah aspal yang memanas dengan menggengam spanduk tuntutan dan tuntutan. Sebagian besar teman seperjuangannya nyaris serupa; Berwajah kuyu. Sepatu bolong dan kumal. Pakaian tak menarik dan itu-itu saja. Rambut acak-acakan. Kulit gosong dan tak terawat seperti anak jalanan. Sama-sama kesusahan makan. Dan sama-sama terlihat seperti gembel tulen dan pekerja bangunan dari pada orang-orang yang tengah sibuk berada di mal dan cafe-cafe.

Jika kamu lihat dari dekat, banyak aktivis di seluruh Indonesia terlihat lebih mirip gembel dan sangat jauh dari kata terawat dan enak dipandang. Kenapa? Karena mayoritas besar mereka memang berasal dari keluarga tak mampu dan sebagian besar uang yang dimiliki habis untuk organisasi dengan cara tidak merawat diri sendiri. Pernahkah saat demo berlangsung, kamu melihat para aktivis di seluruh Indonesia terlihat sangat enak dipandang, elegan, seperti saat kamu melihat orang-orang di bioskop, mal, cafe, galeri seni, dan tempat-tempat mahal lainnya? Tidak bukan? Seolah-olah para aktivis adalah mereka yang identik dengan segala yang kumal dan tak terawat. Ya karena ekonomi mereka kebanyakan memang lemah. Itulah sebabnya mayoritas besar aktivis terlihat acak-acakan dan tak menarik secara visual.

Semua itu berarti mengindikasikan, bahwa mayoritas besar kelas menengah-atas dan elite, tak memiliki ketertarikan menjadi aktivis dan tak punya keinginan terlibat di dalamnya. Banyak orang, dari teman sekelas, para anak muda sebaya di kampus, dan orang-orang secara umum, lebih suka menghabiskan diri untuk belajar, sibuk di cafe, bersenang-senang, dan memfokuskan diri untuk meniti karir politik, bisnis, atau akademik-profesional. Menjadi aktivis bukanlah keinginan umum orang-orang kaya. Dan para orang tua beserta pendidikan kita juga tak menganjurkan kita untuk menjadi aktivis. Jika ada seorang dari keluarga kaya masuk dalam dunia aktivis (jumlah mereka tak terlalu banyak), dia masih memiliki cukup banyak uang untuk melakukan sesuatu di kemudian hari seperti pindah kuliah, kuliah lagi, cuti, dan masih bisa melanjutkan masa depannya tanpa banyak halangan karena memang dari keluarga mampu. Tapi bayangkan, anak-anak dari keluarga miskin, yang keluarganya sangat ingin anaknya sukses secara karir tapi malah terjerat dengan dunia aktivis sehingga nilai kuliah buruk, telat lulus, dan putus di tengah jalan karena kehabisan uang? Sementara mayoritas besar temannya di kampus nyaris tak peduli dengan keadilan, kemanusiaan, pendidikan murah, dan lain sebagainya, fokus hanya untuk mendapatkan nilai baik, lulus, kerja atau berprestasi. Harusnya dia sadar, selama ini, segala yang diperjuangkannya sebenarnya hanya untuk mempermudah dan mensubsidi mayoritas besar manusia yang tak peduli itu. Saat para aktivis menuntut uang pendidikan turun. Yang mendapatkan keuntungan paling besar adalah mereka yang setiap hari tengah sibuk bercinta, bersenda gurau di cafe, dan menghabiskan banyak uang untuk belanja dan kongkow-kongkow. Saat para aktivis yang kekurangan makan, membeli buku nyaris tak mampu, dengan pakaian kumal tak terawat, dan peralatan elektronik serba jadul itu menuntut keadilan dengan tema apa pun di jalanan, di mana panas matahari, hujan, badai, sampai letusan senapan para polisi mereka hadapi. Sebagian besar orang di negara ini tengah asyik dengan dunia kesenangan mereka masing-masing. Sebagian dari mereka kuliah dengan pakaian, buku, tubuh, dan gadget mahal setiap harinya tanpa mau tahu apa yang terjadi dengan dunia di sekitarnya. Sebagian lagi sibuk dengan kerja mereka masing-masing, mencari uang, dan berharap mendapat kenaikan pangkat. Sebagian lainnya sibuk berpergian, berplesir menghabiskan uang, dan keluar masuk berbagai negara. Sebagian lainnya sibuk berbisnis, mencari prestasi, dan cukup jika sudah berada di pemerintaha atau jadi pejabat negara atau memiliki posisi penting secara ekonomi dan sosial di masyarakat sekitarnya. Tapi cobalah sekarang berpikir ulang, setelah bertahun-tahun kalian jadi aktivis dan membela orang banyak yang kalian andaikan itu, berapa banyakkah mereka yang kini sudah sukses dan berkecukupan yang mendatangi kalian atau tempat organisasi kalian bernaung dan memberi bantuan berupa uang, tempat tinggal, atau alat-alat penting yang seharusnya kalian miliki?

Berapa banyakkah pengusaha dan orang sukses di negara ini yang membantu kalian membayar kontrakkan rumah, membayar air PDAM, membayar listrik, membayar segala keperluan kalian dalam beroganisasi sehingga idealisme kalian masih terjaga dan segalanya menjadi jauh lebih mudah? Atau adakah dari orang-orang kaya di negara ini yang membantu para aktivis, atau kalian dalam keperluan sehari-hari yang serba kekurangan? Jawabnya jelas, lebih banyak tidak.

Kalian selama ini menghabiskan hidup untuk memperjuangkan hal-hal yang pada akhirnya, bagi banyak orang di negara ini menganggapnya tak ada. Mayoritas besar manusia di negara ini tak merasakan dibantu oleh para aktivis sehingga mereka tak merasa berkepentingan dan berterimakasih. Inilah sebabnya para aktivis juga tak banyak dihargai dan dihindari karena mayoritas besar orang kaya dan sukses tak pernah merasa dibela dan diselamatkan. Jadi saat kalian nyaris menderita dan kelaparan saat tengah menuntut bahan pangan murah, bahan bakar terjangkau, pendidikan gratis, sampai gaji yang harus naik, lingkungan bersih, listrik subsidi dan lain sebagainya itu, yang mana sebagian besar tuntutan kalian berhasil dan kini dinikmati oleh semua orang. Mayoritas besar orang yang menikmati sukses tuntutan kalian itu tak merasa dibantu sama sekali. Banyak dari mereka malah tak tahu kalau kalian yang telah melakukannya. Sebagian besar lainnya tak peduli. Sebagian lainnya menganggap semua itu kerja pemerintah jadi segala perjuangan melelahkan itu selalu berakhir sebagai kinerja pemerintah. Inilah alasan yang membuat mayoritas orang di negara ini, yang berkecukupan, tak ingin membantu para aktivis dalam hal keuangan, alat-alat, atau akses infrastruktur dan lainnya. Malah lebih sering mencemooh para aktivis sebagai aib, susah diatur, tak tahu malu, liar, dan seringkali dengan nada mencemooh. Seolah-olah menjadi aktivis itu hal yang hina dan mengganggu ketenangan umum.

Saat bentrokkan dengan aparat terjadi atau kerusuhan tak terelakkan menyeruak di lapangan aksi. Mayoritas besar masyarakat akan menghakimi para aktivis, yang mayoritas mahasiswa sebagai biang onar, anarkis, tak terdidik, dan brutal. Nyaris tak ada sama sekali penghormatan dan rasa berempati. Masyarakat luas tak menyukai kalian. Pada dasarnya mereka merasa tak dibantu oleh kalian. Dan sebagian yang tahu, hanya sekedar memanfaatkan kalian untuk kepentingannya sendiri. Jadi, tolong, mulai sekarang, berhentilah jadi aktivis. Berhentilah menjadi aktivis secara serentak.

Entah kalian aktivis lingkungan, aktivis pedestrian dan pejalan jaki, aktivis buruh, aktivis mahasiswa, aktivis hukum, aktivis rakyat kecil, aktivis kemanusiaan dan sebagainya. Berhentilah menjadi aktivis. Atau cutilah menjadi aktivis secara serentak selama dua sampai lima tahun. Bukan berarti aku menganjurkan menghapus kemanusiaan dan idealisme kalian. Aku hanya ingin kalian sekali-kali menghukum masyarakat yang kalian bela dengan cara absen total selama beberapa tahun saja. Tidakkah selama ini masyarakat tak merasa berkepentingan dengan para aktivis dan tak merasa dibantu? Maka, mundurlah sejenak, amatilah, dan lihat, jika seluruh aktivis berhenti atau cuti bersama serentak selama beberapa tahun ke depan dan lihatlah apa yang akan terjadi dengan negara, masyarakat, lingkungan, dan ruang yang ada.

Jika saat cuti tengah berlangsung dan kamu melihat orang-orang mengeluh panas, banyak lubang di jalan, banjir besar terjadi di mana-mana, tanah longsor, kebakaran hutan, jalan berlubang, korupsi, macet, harga bahan bakar, makanan, dan material rumah mahal. Biarkan saja. Kini, mulailah urus dirimu sendiri. Carilah prestasi. Uang. Status sosial. Dan hal-hal lainnya yang menjadi umum dan dikejar oleh masyarakat. Amati dan lihatlah, apa yang akan terjadi jika kamu dan seluruh aktivis yang ada berhenti berusaha membela dan mempedulikan orang-orang dalam skala luas. Orang-orang yang pada dasarnya, tak merasa dibantu dan dibela oleh dirimu.

Itulah cara terbaik untuk melihat dan menyadarkan masyarakat luas akan arti pentingnya para aktivis. Terapi kejut semacam itu, bagaikan subsidi yang dicabut secara besar-besaran. Kalian selama ini membantu mensubsidi mereka dengan tenaga dan pikiran. Sehingga membuat segala sesuatunya jauh lebih mudah dan terkendali. Tapi jika kalian berhenti mendadak secara serentak, pasti akan ada sesuatu yang menarik. Sesuatu yang jelas-jelas sangat menarik dan menggairahkan.

Memikirkan dunia, di mana para aktivis berhenti serentak menjadi aktivis. Mungkin akan menjadi setara dengan krisis politik dan ekonomi terbesar dalam sejarah manusia. Rasa-rasanya, kalian harus benar-benar mencobanya.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now