SEANDAINYA TAK ADA HUJAN, DAN AIR

943 14 4
                                    

Hujan.
Adalah hal paling penting yang ada di bumi.
Menciptakan laut yang mendinginkan bumi dan memberi kita oksigen yang bersih. Menumbuhkan pepohonan dan tanaman yang sangat penting bagi tanah, menyimpan air, meneduhkan hewan, serangga, manusia dari panas yang menyengat. Dan tentunya, untuk tumbuh berkembang dan meneruskan hidup. Tanpa hujan, tak akan ada aliran sungai. Tak akan ada air. Tak akan ada apa pun di bumi ini. Tak juga cinta dan kasih sayang. Cinta kasih membutuhkan air untuk mempertahankan keberadaanya. Tanpa hujan. Tanpa air. Kedamaian bisa runtuh. Konflik antar binatang dan manusia semakin lebih sering terjadi. Dan dunia yang kita kenal menjadi gersang. Mati.

Benua es kutub utara dan selatan, membutuhkan siklus musim dan iklim. Dan hujan, berada di antaranya. Tanpa hujan dan air di seluruh dunia dan hanya ada panas matahari. Perputaran waktu berhenti. Dan hari ini, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Membuatku agak kesal sebelum berhenti sejenak dan merenung; tak ada yang salah dengan hujan. Dirikulah yang terlalu menuntut dan egois. Mengingkan alam setiap harinya seperti kehendakku yang sempit.

Aku pun menunggu hujan. Menikmati membaca Albert Camus, Mati Bahagia, yang cukup absurd dan menenangkan. Ada nada lembut dari novel itu yang melembutkanku pada langit yang beranjak sore. Suara guntur masih bersahutan. Sesekali gerimis menyeka rerumputan, tanah, dedauan, ranting, jalanan berbeton, genting rumah dan diriku sendiri.

Banyak hal yang terjadi malam ini, yang, jika aku menuruti diriku yang lainnya, yang liar, ganas, dan hitam. Mungkin aku sudah menuliskan sesuatu yang sangat mengerikan. Tapi, sore ini, ada kelembutan dalam diriku yang datang dari hujan dan alam.

Tentunya, aku masih cukup sebal. Malam ini, aku berharap bisa ke Surakarta dalam bedah novel Martin Suryajaya, Kiat Sukses Hancur Lebur. Ah, sayangnya, langit masih gelap. Udara dingin masih menyelimuti. Dan jejak angin masih kentara di ujung daun-daun. Sebuah pertanda, hujan belumlah tuntas benar.

Hujan.
Banyak orang membenci hujan karena alasan yang tak terhitung jumlahnya. Bisnis. Kuliah. Kencan. Ke kantor. Ke pusat perbelanjaan. Acara seni.  Bermain. Ke perpustakaan. Toko buku dan baju. Atau sekedar melepas lelah dan berwisata. Dan hujan, sering dianggap sebagai pengganggu dan dibenci.

Hujan,
Tak tahu kenapa ia selalu dibenci. Bahkan ketika manusia menyebutnya banjir, banjir bandang atau genangan air.

Ah, apa jadinya, seandainya aku menulis dan berbicara dengan kelembutan semacam ini? Mungkin banyak orang yang akan menyukaiku. Ah, sayangnya, aku hidup sebagai seorang filsuf. Dan para filsuf seringkali terlalu keras terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

Melihat awan cumolonimbus atau nimbostratus, akan memperlihatkanmu bahwa hujan akan segera tiba. Mungkin. Dan kau juga perlu mempelajari skala beaufort, untuk mengukur kecepatan angin. Tapi, jika kau pemalas dibidang hitung, pakailah perasaan, intuisi dan imajinasimu. Lihatlah gerak angin. Seberapa cepatkan angin bagi kulit dan inderamu. Dan, apakah daun-daun bergoyang ribut, cabang-cabang kecil bergerak, air beriak, atau, angin sudah mulai menghancurkan sekeliling.

Sayangnya, aku seringkali lupa membedakan awan rendah, sedang dan tinggi. Tentunya, beserta nama-nama mereka, yang kadang terasa indah tapi juga menyebalkan untuk diingat. Oh ya, kau juga harus sedikit-sedikit memelajari gerak-gerik hewan dan burung. Karena sebagian  mereka peka terhadap kedatangan hujan. Semua, aha, seringkali menyelamatkanku dari kehujanan di jalanan. Tentunya tak selamanya. Karena aku masih manusia.

Dan yang sering menyebabkanku kehujanan adalah keinginan untuk menentang alam atau memaksa diri dari tanda-tanda yang hadir. Semisal, aku berpikir, mungkin aku akan kehujanan di tengah jalan jadi lumayan mencapai setengah jalan yang ingin aku tuju. Atau aku terlalu bosannya di kamar, ingin keluar, dan tak peduli jika hujan akan sangat deras. Walau akhirnya sering menyesal saat sudah terlanjur basah kuyup seperempat jalan. Keadaan lainnya adalah alam yang kadang tak bisa aku tebak. Tentunya, ini sering terjadi. Angin bersifat tenang. Tak ada mendung. Matahari cerah-cerahnya. Tiba-tiba hujan jatuh sangat keras dan cepat di jalan. Membuat basah kuyup seketika. Yah, seperti itulah.

Dan tentunya, hujan  tak salah dengan itu semua.

Apa jadinya, jika hujan yang kita benci, berhenti untuk seterusnya?
Oh, itu sangat buruk. Sebagian besar Afrika, Timur Tengah, Australia, Asia, Amerika, bahkan Eropa pernah merasakannya. Tanpa hujan dari mulai hitungan bulan sampai bertahun-tahun. Dan itu sungguh menyedihkan. Di saat itulah, hujan di rasa sangat penting. Kita, sebagai manusia, baru menyadari betapa pentingnya air.

Tanpa air, aku tak tahu kita akan makan apa?
Kita tak bisa menumbuhkan tanaman pangan. Sawah dan ladang mengering dan tererosi. Tanah tak bisa berkumpul dan malah terlalu keras sehingga menolak air yang datang tiba-tiba setelah sangat lama tanah tak bersentuhan dengan air. Dan hewan-hewan yang kita ternakkan, yang dagingnya kita butuhkan, merasa berkentingan dan sangat tergantung dengan air. Begitu juga telur. Hingga air minum kita sendiri. Tanpa air pula. Kita kesusahan memasak apa pun. Kita juga akan susah membersihkan kotoran dari baju yang kita kenakan setiap harinya. Tanpa air, kita akan mudah sakit dan kemungkinan mati. Tubuh manusia terdiri dari air. Menguap menjadi keringat saat melakukan kegiatan. Dan harus diganti oleh air lainnya. Tanpa ada air lainnya, kita mengalami kehausan; dehidrasi. Itu lebih parah dari sekedar tanpa makanan berhari-hari.

Di dunia tanpa air, dunia akan terjerumus dalam perang, kecemburuan, dan sikap keras dan kejam. Tak ada lagi saudara kecuali semacam politik kepentingan sementara. Tanpa air, atau ketika hujan berhenti selama satu tahun saja, kita semua tiba-tiba menjadi jahat. Mental kebanyakan kita tak akan bertahan lama tanpa air. Tanpa air, iman menjadi hal aneh dan ciut. Tanpa air, kemanusiaan kita singkirkan bersama-sama tanpa sadar. Tanpa air. Diri kita seperti kaca. Topeng-topeng kita berhamburan dan lepas satu-satu persatu. Kita mudah marah. Resah. Mengamuk. Dan ketakutan. Air, adalah simbol perdamaian masih bisa berlangsung.

Tapi, hujan dan air juga bisa mengenali siapa kita.
Apakah kita sosok manja. Apakah kita penakut. Apakah kita memiliki penyakit tertentu. Apakah kita orang tak sabaran. Dan sejauh manakah diri kita yang setiap harinya kita tunjukkan ke dunia, tak akan bertahan lama dihadapan hujan dan air.

Orang bisa cepat marah karena hujan. Orang bisa memaki-maki karena air yang menciprat di bajunya. Orang bisa bertengkar karena air yang tak sengaja tumpah dari sebotol atau segelas minuman. Air, dan hujan, bisa menunjukkan seberapa arif dan bijak diri kita.

Hujan dan air, adalah kemewahan yang sepatutnya tak kita benci. Atau kita mencoba sedikit merenung terhadapnya. Berkali-kali, mungkin. Dan saat kematian datang karena hujan dan air, kita bisa lebih tabah dan sabar. Karena hujan dan air, telah melindungi kehidupan kita selama bertahun-tahun lamanya.

Matahari mulai menampakkan dirinya. Suara kokok ayam, bau sisa hujan dan dedaunan, gemerisik benda-benda di sekitarku, memaksaku untuk bangkit, dan berkata, yah, mungkin aku harus pergi menemui si Martin itu. Dan bertanya beberapa hal yang mengganjal di kepalaku.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now