BUKU BAJAKAN, PENULIS, DAN ORANG MISKIN

537 16 4
                                    

Bertahun-tahun lamanya, aku menganggap membeli buku asli adalah tindakan yang tepat. Isi rakku, yang hampir berisi seribu buku (yang kini habis separuh karena hilang dan aku jual untuk alasan tertentu), tak ada satu pun buku bajakan di dalamnya. Ya, aku masih naif. Perfeksionis dalam buku. Lecet sediki saja aku nyaris tak mau membelinya. Apa lagi buku bajakan?

Pernah aku merasa ngeri dengan salah seorang temanku, yang isi perpustakaannya lebih banyak diisi oleh buku bajakan dari pada yang asli. Karena aku nyaris tak pernah membeli buku bajakan. Aku merasa kecewa. Selain buku bajakan merugikan para penulis. Buku bajakan pun seringkali dicetak dengan buruk, mudah rusak, dan sangat tak menyenangkan dibawa-bawa.

Tapi buku asli, harganya sangat mahal. Waktu itu, di Semarang harga buku adalah yang tertera di Gramedia dan Gunung Agung. Bayangkanlah sendiri rasanya.  Membeli buku waktu itu, sama saja dengan mengurangi kesenangan hidup yang lain. Jogja, masih jauh dari angan-angan. Dunia buku online, masih belum sanggup dibayangkan.

Tapi pikiranku berubah.

Saat membeli buku psikologi perkembangan, yang antara asli dan bajakan nyaris sama saja. Hampir tak ada bedanya. Yang asli sekitar 175 ribu. Yang bajakan hanya 30-40 ribu. Perbedaan yang sangat jauh dengan kualitas yang tak jauh beda. Ada apa ini sebenarnya?

Aku pun membeli yang bajakan. Selain masih butuh buku yang lain, uang tak terlalu banyak pada waktu itu, dan aku dalam kondisi sebal. Kenapa buku bisa semahal itu?

Di Jogja, duniaku berubah habis-habisan.
Buku bajakan tersebar luar di sini. Dan mutu atau kualitasnya, tak kalah bagus dari buku yang asli. Malah, adakalanya lebih bagus dari pada yang asli! Sangat mengejutkan. Dengan harga yang lebih terjangkau dan murah.

Pembajakam buku adalah pemberontakan. Itulah kesimpulanku pada akhirnya nanti.

Di kamarku hari ini, hanya ada beberapa buku bajakan. Padahal aku juga memiliki buku aslinya. Buku asli aku simpan. Buku bajakan, aku corat-coret sepuasnya untuk kegiatan menulis dan berpikir. Walaupun begitu, buku bajakan yang aku miliki masih bisa dihitung dengan jari.

Selama di Jogja, aku hanya memiliki 3 buku bajakan. Semuanya dengan alasan ingin aku corat-coret. Yang lainnya, untuk menduplikat buku asli aku yang sudah sangat langka, yang tak bisa aku corat-coret seenaknya. Jadi, dari pada buku asli aku nantinya rusak, atau terlanjur aku garisi sebagai penanda. Lebih baik aku memfotokopinya satu atau dua ekslempar agar tidak hilang atau yang fotokopian bisa aku gunakan seenaknya. Pada waktu itu, aku memiliki cukup banyak buku langka. Proses inilah, yang membuatku ke arah berlainan.

Lama kelamaan, kesadaranku tumbuh. Kenapa, buku ini, baru dicetak lagi selama lebih dari 15-50 tahun? Itu jelas, nyaris seperempat bahkan belum separuh usiaku. Tidakkah itu berarti, semacam tragedi? Perkembangan ilmu pengetahuan yang tersendat, berhenti, dan baru muncul berpuluh tahun kemudian. Bagaimana masyarakat negara ini bisa berkembang jika buku luar biasa mahal, langka, dan dicetak ulang setelah seperempat abad atau setengah abad kemudian? Bagaimana negara ini mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan, wacana, isu dunia, dan lainnya, jika buku baru dicetak lagi selama itu? Bahkan baru diterjemahkan, dicetak, setelah yang asli terbit 2-10 tahun yang lalu.

Perasaan semacam ini membuatku berang. Sudah susah mencari buku. Mahal. Kalau langka dijual ratusan ribu bahkan jutaan. Bagaimana cara mengakalinya?

Aku pun mengamati buku-buku langkaku. Dari pada buku-buku milikku musnah atau berhenti di rak miliku. Lebih baik, buku ini aku sebarkan. Agar orang-orang juga tahu buku ini ada. Dan mereka yang kesusahan mencari, akhirnya bisa mencarinya. Aku tak tahu itu tindakan buruk atau tidak. Yang jelas, aku lebih sadar diri. Aku tak mau buku ini berhenti di tanganku. Aku tak mau seperti kebanyakan penjual buku langka, yang karena kepentingan dirinya, menyimpan buku itu sendiri. Menjadikannya eksklusif. Susah diraih. Dan sangat tak berkepentingan untuk menyebarkannya.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now