KAMI PARA FILSUF

325 2 0
                                    

Jangan panggil kami sastrawan. Karena sastrawan lebih mudah berhenti dan mencoreng wajahnya dengan rasa damai saat berada di sebuah jalan yang kita sebut sebagai permulaan. Terlalu banyak sastrawan di negara ini. Begitu juga penyair dan para seniman yang memuja kata damai di masing-masing sisa kehidupannya. Hingga pada akhirnya, segala jenis penciptaan tak lebih hanya sekedar terapi yang memuaskan rasa yang cepat menguap di dalam diri kita. Obat bius jangka pendek yang mudah dikunyah dan dihirup, yang esok harinya, saat fajar kembali bangun dari tidurnya, kita membutuhkan obat bius jenis baru.

Orang-orang mengunyah puisi dan novel serta berbagai karya seni hanya untuk sebuah hiburan singkat sehari-hari. Dalam psikologi keseharian, semua itu, tindakan membaca, mencipta, melukis, dan menonton, merasakan, membayangkan, berpikir, dan merenung hanya selalu untuk saat ini dan esok hari, demi ketenangan hidup dan pengusir bosan dalam menghadapi kehidupan yang meledak dalam yang tak mudah dimengerti. Di masaku hidup, sastra jatuh menjadi sekedar pemuas hasrat sementara, layaknya seks singkat dan makanan ringan yang memuaskan lidah kita akan sesuatu yang nikmat tapi mudah berakhir dalam satu hari saja. Begitu juga seni.

Tiba-tiba, antara sastra, karya seni, seks, komik, film, musik pop, hingga makanan sampah di pusat-pusat ibu kota, menjadi semakin mirip dan tak lagi bisa dibedakan dalam tujuan dan cita rasanya. Semua itu ada, hanya demi mengusir celah kosong dalam jiwa dan hidup manusia yang penuh dengan ketidakpastian. Semua itu berubah menjadi sekedar cabang psikologi, psikoterapi dan apa yang aku sebut sebagai psikologi keseharian.

Orang membaca novel layaknya menguyah permen dan nasi berlauk sekali makan. Kemudian, yang terjadi sekedar pengulangan. Sama halnya dengan jiwa bermasalah yang membutuhkan psikolog dan psikiater untuk menjalani hidup yang lebih tenang dan normal. Para pembaca, penikmat seni, dan para penciptanya, tak lebih hanya sekedar para pasien yang membutuhkan ketenangan lewat kata-kata, sapuan kuas, gambar, dan alunan nada orang lain atau respon timbal balik, untuk menjalani hidup tenang dan normal.

Di abad ini, nyaris kebanyakan dari manusia, terserap dalam lingkaran besar semacam itu.

Sejak Zarathustra milik Nietzsche, apa yang terjadi dalam filsafat, hanya penambahan-penambahan kecil yang tak mengubah dan menyeleseikan inti dan pusat filsafat yang hidup dalam kepala manusia. Semua orang yang membaca Nietszche, harus malu dan benar-benar merasa sebagai orang tak berguna, ketika melihat dunia sehari-sehari kita tak lain bukan hanya kalimat-kalimat dari buku-buku yang Nietzsche tulis. Bagi para filsuf, hal semacam ini sangat mengganggu dan benar-benar sangat menghancurkan. Nyaris sama halnya saat Andy Warhol mengeluarkan Brillo Box dan Arthur C. Danto mengumunkan mengenai berakhirnya seni. Dan di abad ini, Tim mengubah Vermeer menjadi kematian besar bagi dunia seni yang sudah tak lagi menawarkan hal yang menakjubkan. Sama halnya, saat filsafat semakin kehilangan dirinya di dunia di mana orang-orang hanya menginginkan masa kini dan segala misteri tak terlalu penting dibandingkan kepuasan akan benda-benda penerus hidup.

Sastra nyaris hancur total di masaku hidup dan berubah sekedar menjadi pusat dokumen buruk dari aktivitas manusia pada suatu masa dan alat praktis dari psikologi keseharian. Sastra tak lain bukan, berakhir menjadi sekedar cabang dari psikologi dalam dunia psikoterapi. Dekadensi yang sangat mengerikan, mengingat seni, sains, dan yang lainnya mengalami perendahan yang nyaris sama. Tapi kehancuran terbesar di zaman kita, dimulai saat puisi dan para penyair kehilangan keagungan dan gumpalan kedalaman mereka. Saat suara mereka tertelan oleh dunia yang semakin tersebar dan ilmu pengetahuan yang kian murah. Puisi, sebanyak apa pun dibuat, tak lagi memiliki apa yang pernah dulu dimilikinya. Penyair pun menjadi hal yang sudah usang dengan keberadaan yang semakin tak begitu penting. Begitu mudahnya puisi dihidangkan dan dikunyah. Sampai manusia nyaris lupa apa puisi itu dan untuk apa sebenarnya keberadaannya di dunia ini.

Di sebuah dunia, masyarakat, dan negara, di mana para sastrawan, penyair, seniman, dan para pemikir semu begitu mewabah dan menempati terlalu banyak ruang. Yang terjadi adalah dunia yang hari kita kenal. Di mana para filsuf berada? Dari ribuan sastrawan, terdapat nol hingga satu filsuf saja yang hidup di antaranya. Keberadaan filsuf, orang-orang macam kami, benar-benar nyaris punah dan tersingkir sedemikian mengerikannya. Kenapa hal ini terjadi?

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now