MEMBELA BUNUH DIRI

336 6 0
                                    

Waktu itu 2014, sosok yang aku kagumi dalam hal perfilman memilih membunuh dirinya sendiri karena tak tahan lagi dengan depresi yang selama ini dia derita. Kabar yang aku tahu, dia memiliki bipolar yang sama denganku. Dia adalah Robin Williams. Saat itu, aku selalu berpikir, nasib diriku bisa jadi sama dengannya. Berkali-kali aku mengutarakan niatku ingin bunuh diri secara terang-terangan. Tapi hal itu selalu ditahan oleh pikiran-pikiran rasionalku yang mengatakan, tunggu, kau harus berkarya dan menghasilkan sesuatu lebih dulu. Setelah itu, kau boleh melakukannya. Namun, kemarin, aku mendapatkan informasi yang sama mengejutkannya, kematian yang sama, bunuh diri, yang dilakukan oleh orang yang aku kagumi, yaitu Chester Bennington. Aku mengenal Chester dan Linkin Park ketika masih berada di sekolah menengah pertama, dengan lagunya yang paling terkenal waktu itu, In The End. Kali ini, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku akan membunuh diriku sendiri saat aku berada di puncak karirku, atau malah, sebelum hal semacam itu ada dalam kamus singkat hidupku?

Beberapa bulan terakhir aku melihat kematian demi kematian karena kasus bunuh diri. Dosen ITB, seorang laki-laki yang menggantung dirinya sendiri di facebook, dua perempuan di Bandung, dan anak kecil yang menabrakkan dirinya ke rel kereta. Banyak orang menertawakan. Menganggapnya konyol. Masuk neraka. Dan menjadi bahan candaaan. Dan lebih banyak lagi, orang tak menganggapnya penting dan sangat begitu mudahnya diabaikan. Dan hal itu pun terjadi pada diriku. Bahkan orang-orang sangat antusias menyuruhku mati. Menyemangatiku untuk melakukan bunuh diri. Atau menertawakanku dan mengabaikan keinginanku begitu saja. Hal semacam itu dilakukan tanpa keinginan untuk membantu masalah utamaku. Atau tahu, kenapa aku ingin melakukannya. Karena aku sangat tahu betul perasaan diabaikan begitu saja dan dicemooh saat serius mengungkapkan keinginanku bunuh diri untuk terhindar agar aku tak menjadi sangat kejam atau di saat-saat depresi melandaku. Aku mendekati kasus bunuh diri dalam sudut pandang yang berbeda dari orang-orang.

Bunuh dirilah. Jika itu memang jalan keluar terakhir. Bila memang, sudah tak ada lagi manusia yang memiliki empati padamu. Dan segala cara sudah kamu lalui. Bunuh dirilah. Orang akan mengecammu. Menganggapmu konyol. Tapi orang-orang itu tidak pernah merasakan kehidupan dan perjuanganmu mempertahankan hidup. Tidakkah yang melakukan bunuh diri adalah dirimu, bukan mereka? Kenapa mereka sok tahu, sok baik, sok bersikap menghujat, di saat kamu belum mati, kamu diabakan begitu saja? Banyak, dan luar biasa banyak, orang-orang semacam itu yang aku tahu setiap hari. Karena aku adalah pengamat tingkah laku, jiwa, dan pikiran manusia. Seorang psikolog dalam artian kasar. Aku tahu, inti dari manusia-manusia di masaku. Dan aku sangat tahu, karena aku juga penderita gangguan jiwa yang diabaikan sangat terang-terangan oleh segenap orang yang mengaku dirinya penyair, sastrawan, agamawan, orang-orang berhati baik, mereka yang merasa membela hak asasi manusia, mereka yang berjuang demi kemanusiaan, mereka yang mengaku dirinya aktivis, dan mereka yang mengaku dirinya orang-orang tak bersalah.

Saat kita sudah tak lagi bisa menahan diri untuk melakukan itu, membunuh diri sendiri, untuk apa kita menahannya? Untuk apa kita mengurusi orang-orang itu? Saat kamu sudah mati, hujatan mereka tak berarti apa-apa. Ungkapan bela sungkawa dan segenap topeng empati mereka hanyalah omong kosong. Dan suatu ketika, saat kita sudah merasa cukup dengan kehidupan kita sendiri. Maka, mati di tangan sendiri jauh lebih baik dari pada mati di tangan orang lain yang sok waras dan berkemanusiaan. Ya, aku rasa seperti itu.

Siapa tahu, beberapa tahun lagi, giliran aku yang melakukannya bukan? Dan kemudian kamu?

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang