MENUNGGU PERTANGGUNG JAWABAN PEMENANG LOMBA BESAR DAN BERGENGSI

151 5 3
                                    

Sama seperti Einsten yang pernah bilang, bahwa dirinya bukan tidak mampu melakukan sesuatu yang dia ingin wujudkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sama seperti Einsten yang pernah bilang, bahwa dirinya bukan tidak mampu melakukan sesuatu yang dia ingin wujudkan. Tapi karena keterbatasan waktu, sarana, dan kesempatanlah yang membuatnya tak bisa menjadikan apa yang seharusnya bisa dia selesaikan dan menjadikannya kenyataan.

Di Indonesia, kau mungkin heran, kenapa di saat banyak orang memiliki kesempatan, sumberdaya, tubuh, pikiran, dan jiwa yang cukup sehat, sedikit sekali yang menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan agak bisa dikagumi?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dia tidak menginginkannya atau menganggapnya tak penting. Kedua, dia sangat tak berbakat atau kemampuannya hanya biasa-biasa saja. Atau malah terlampau biasa. Ketiga, pada dasarnya dia memiliki bakat dan kemauan, tapi tak memiliki gagasan besar ke depan. Atau bisa dibilang, orang berbakat atau brilian yang biasa-biasa saja. Keempat, dia memiliki bakat, kejeniusan, keberanian, kemauan, dan segala yang dimiliki para orang besar tapi dia tak memiliki banyak kesempatan untuk mewujudkannya.

Aku akan menghindari membahas orang-orang sains atau ilmuwan yang hidupnya kembang-kempis di negara ini. Walau beberapa di antara mereka memiliki bakat dan kemampuan di atas rata-rata dan bisa melampaui para ilmuwan di luar negeri. Mereka terbentur biaya yang besar, sikap iri yang lainnya, dan dana penelitian yang susah dijelaskan akal sehat. Aku akan membicarakan sastra, yang sebenarnya tak perlu membutuhkan banyak hal untuk menghasilkan sesuatu yang besar.

Berbeda dengan sains, yang membutuhkan uang rata-rata di atas 100 juta pertahun: minimal dan hanya sebatas berlari di rimba teori, belum saat praktik dan lab. Dan tahun berikutnya harus memiliki uang pendanaan lagi dan lagi. Sastra hanya membutuhkan 5-20 juta pertahun untuk menghasilkan karya yang kualitasnya cukup luar biasa dan selesai seketika. Dan jika dia adalah peneliti, guru besar, dosen, orang asli suatu daerah yang didik secara budaya dan sejarah sejak kecil, atau memiliki bidang profesional bertahun-tahun, bahkan dalam satu bulan, tak perlu uang terlampau banyak, dia harusnya bisa menulis karya sastra yang cukup hebat. Dan uang 100 juta, bagi para ilmuwan peneliti tak ada artinya. Di sastra, uang sebesar itu bisa menghasilkan beberapa masterpiece dalam beberapa tahun.

Jika itu adalah penelitian yang intensif, uang 50-100 juta cukup layak menghasilkan karya besar dunia. Tapi jika itu karya abstrak, tidak terlalu sibuk dengan penelitian lapangan, teori, dan lain sebagainya, uang 2-5 juta atau 10 juta sudah menghasilkan karya yang benar-benar bagus dan berbeda. Maka pertanyaannya, kenapa para pemenang lomba-lomba besar, yang berhadian 5-25/50 juta rupiah, setelah memenangkan lomba dan uang hadiah, biasanya malah menulis karya yang jauh lebih buruk?

Kemungkinan besarnya, banyak sastrawan muda kita memang tidak berbakat. Bukan kategori jenius. Atau memang hanya terlampau biasa-biasa saja. Bisa jadi, tidak punya keinginan berkembang atau melampau generasi terdahulu. Atau tak punya malu terhadap dirinya sendiri dan para sastrawan lain, para pembaca, penulis, dan orang-orang di sekitarnya.

Bayangkan, memenangi uang lomba 15-25 juta, kemenangan bergengsi, lalu setahun kemudian hanya menghasilkan sampah, karya yang lebih buruk, atau sangat diluar harapan. Jika dia tak sedang sakit parah, uang digunakan pengobatan orang tua, kejiwaan buruk, atau uang hilang mendadak. Maka dia memang penulis yang buruk.

15 juta, jika kamu hidup masih bersama orang tua, tak menanggung kehidupan orang tua, makan gratis, masih diberi kemudahan ini dan itu terkadang malah diberi uang saku. 15 juta bisa digunakan secara total untuk menulis, mencari data, membeli buku, dan lainnya. Itu sudah jauh lebih cukup. Sejujurnya hanya dengan 2-5 juta jika masih hidup bersama orang tua, karya besar yang abstrak, hasil imajimasi, harusnya lahir. Jika kamu hidup dalam kamar kos, perbulan 300 ribu-1 juta. Uang 15-25 juta sudah cukup melunasi biaya kamar selama setahun. Terlebih jika kamar perbulan hanya 300 ribu, kamu bisa mengambil 4 juta dari uang kemenanganmu untuk satu tahun penuh biaya kamar. Sisanya bisa kamu gunain untuk menulis.

Tapi kenapa kebanyakan para pemenang lomba malah setelah itu menulis sedemikian buruk?

Dia memang tidak berbakat dan terlampau biasa saja. Orang tidak berbakat dan biasa saja, mau kamu taruh ke bulan, kamu biayai keliling dunia, hingga residensi ke akhirat. Ditambah memberikan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dia hanya sekedar menulis hal-hal kecil, sepele,buruk, dan tak layak. Cara penulisan dan sudut pandang dunianya akan tetap sempit. Itulah sebabnya kamu bisa mempertanyakan seluruh pemenang lomba besar dan yang telah beresidensi keliling berbagai negara. Bacalah karya sehabis dia memenangkan lomba dan keluar negeri. Jika karyanya buruk. Dia memang tipe orang yang buruk.

Dia pasti menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang dari pada menulis karya berikutnya yang lebih bagus. Itu berarti dia tak menghargai dirinya sendiri. Memandang remeh para pembaca. Menghina sastra secara keseluruhan. Dan bisa jadi, dia tipe orang yang menulis hanya untuk saat ini dan puas mendapat pujiaan sesaat.

Ini agak berbeda halnya di bidang sains. Para mahasiswa atau peneliti yang dibiayai oleh beasiswa atau donatur. Biasanya tak membuang secara sia-sia kesempatan itu dan menghasilkan penemuan atau hal-hal baru yang penting. Kegagalan mereka seringkali karena uang beasiswa tak cukup untuk melanjutkan penelitian atau dana dari donatur dihentikan. Dan bisa jadi karena memilki masalah serius secara mendadak, gangguan jiwa, dan lainnya. Ini sangat bertolak belakang dengan Sastra Indonesia, di mana kebanyakan orang yang memenangkan berbagai penghargaan bergengsi dan residensi kemana-mana malah melahirkan karya-karya yang buruk dan nyaris mengerikan.

Saat ada seorang memenangkan KLA, DKJ, Tempo, atau beresidensi dan mendapatkan undangan ke Ubud, Jerman, atau apa pun yang bergengsi dan berhadiah besar, tahun berikutnya dia harus memiliki karya yang lebih. Jika tidak, seharusnya lebih baik dia tak menerbitkan satu buku pun lebih dulu. Kecuali dia memang tak punya malu.

Tapi saat ada seorang pemenang lomba besar, di tahun-tahun berikut menghasilkan karya menarik, setara, atau lebih bagus. Maka dia memang layak dipuji. Dia menghargai bakatnya. Menghargai kesempatan yang dia miliki dan uang beserta nama yang telah dia menangkan. Dan dia menghargai para pembaca dan sastra secara luas. Tapi jumlah orang tipe ini sangatlah sedikit.

Lebih luar biasa lagi, jika dia tak memenangkan apa pun, hidup serba susah, tapi sangat produktif di kala sakit atau sehat. Maka, biasanya, tipe orang ini, kemungkinan besar jika diberi kesempatan berupa uang, residensi, atau dinaungi oleh seseorang pebisnis yang membebaskannya menulis apa saja. Dia bisa menjadi orang besar. Tapi jelas, tak semuanya. Tergantung mental, bakat, kemauan, kengototan, dan ambisi seseorang itu. Karena banyak orang berbakat menyerah di jalan walau punya semuanya di kehidupannya.

Akhir-akhir kita memang harus mempertanyakan, dikemanakan saja uang berhadiah besar dari lomba-lomba sastra itu? Apakah untuk menghasilkan karya berikutnya yang lebih bagus, bersenang-senang, mencari perempuan, atau habis dalam waktu singkat karena bakatnya memang menyia-nyiakan kesempatan yang ada?

Kita bisa mempertanyakannya dimulai dari sekarang. Dan meminta pertanggung jawaban kenapa sedikit karya bagus yang akhir-akhir ini kita peroleh di rak-rak toko buku. Padahal, sudah banyak hadiah sastra berjumlah luar biasa besar, terbuang sia-sia setiap tahunnya.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now