MENJADI BURUH ITU TAK MENARIK

114 12 0
                                    

Di Indonesia, hidup yang agak menyenangkan adalah menjadi pengusaha dan koruptor. Sisanya, seperti halnya menjadi buruh, sangatlah tak menarik.

Menjadi buruh sangat identik dengan kerja kasar, keras, sikap tunduk demi kemapanan anak istri, dan alibi kemiskinan. Atau lebih tepatnya alibi tersakiti karena kalah bersaing dan gagal menjadi kejam dalam percaturan ekonomi.

Kenapa buruh begitu banyaknya? Karena mereka mewariskan sikap buruh mereka dan budaya buruh mereka kepada anak-anaknya. Ditopang oleh nilai agama untuk tetap hidup, berkeluarga, dan bekerja. Maka, generasi buruh-buruh baru tanpa kesadaran batas diri bermunculan, membengkak, menghasilkan buruh-buruh baru yang jumlahnya tak terkira. Yang tentunya siap sedia digunakan oleh negara, para pengusaha, pedagang, dan politikus. Juga, para buruh murah nan banyak ini, sangat berguna bagi orang-orang kaya untuk menikmati status, barang murah, dan segala hal yang dibuat oleh para buruh.

Pada dasarnya, menjadi buruh tak menarik. Kecuali buruh bergaji tinggi, yang masih bisa cukup memapankan diri, kaya, dan juga, harus mengawasi buruh-buruh lainnya untuk tetap bekerja dan miskin. Atau setidaknya untuk sedikit mapan dan terus bekerja agar aliran uang terus mengalir ke saku dan rekening.

Dalam dunia ekonomi, contohnya kecilnya saja pasar. Seseorang tidak membeli barang atas dasar empati. Tapi lebih berdasarkan harga murah. Tak peduli itu nenek-nenek yang hampir mati dan sekarat. Jika harga barangnya mahal, para buruh, petani, orang miskin itu sendiri, apalagi orang kaya berkecukupan, akan mengabaikannya.

Semenderita apa pun dirimu jika barang jualanmu sedikit lebih mahal. Para pembeli dari berbagai latar belakang profesi dan status, akan lebih banyak mengabaikanmu.

Seorang nenek usia 80 tahun yang menjual tahu tempe dengan harga lima ratus atau seribu rupiah lebih mahal dari penjual di sekelilingnya. Akan cenderung diabaikan oleh para mahasiwa, dosen, guru, pekerja pabrik, pengusaha, tukang parkir, ibu-ibu dari berbagai kalangan ekonomi, seniman, sastrawan, intelektual, aktibis, sampai pemuka agama pun sangat lebih menyukai harga murah.

Saat seseorang lebih setia membeli harga murah tanpa peduli kondisi si penjual secara psikologis, fisik dan ekonomi. Maka ia mendukung pemiskinan berkelanjutan. Jika yang menjual barang murah meriah itu sejak awal memang orang miskin, sakit-sakitan, sekarat, atau orang tua yang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Akhirnya berjualan seadanya untuk menopang hidup. Dan para pembeli memaksanya untuk terus menjual barang dagangnya dengan harga murah agar dirinya, tentunya, tidak bisa lepas dari kemiskinan itu. Dengan terus menerus miskin, maka, harga murah akan terus tersedia.

Sayangnya, para pembeli jarang berpikir semacam itu. Apalagi pembeli kaya raya. Para buruh saja juga jarang berpikir semacam itu di saat mereka membeli barang dan makanan. Dalam dunia yang hampir setiap hari orang tidak peduli latar belakang dan perjuangan hidup orang lain. Menjadi kelas miskin, tersingkir, buruh rendah, sangatlah tak menarik.

Karena banyak pihak, dari kalangan orang miskin sendiri ditambah golongan orang kaya, akan sama-sama memeras keringat dan perjuangan hidupmu. Demi segala yang murah dan terjangkau. Para buruh memeras buruh lainnya. Orang-orang kaya memeras sesamanya dan mereka yang lebih bodoh, miskin, dan tak memiliki banyak kekuatan untuk melawan.

Hanya saja, menjadi pebisnis dan orang kaya jauh lebih nikmat dari pada orang miskin dan buruh yang beragama dan takut kaya karena hasil dari yang tak baik. Atau orang-orang yang terlalu bermoral, jatuh dalam dilema nilai-nilai agama dan kemanusiaan, yang akhirnya kalah bersaing dengan para pengusaha, orang kaya baru, dan berbagai jenis manusia yang melakukan segala macam cara untuk memapankan diri.
Dalam pencarian kemapanan dan kekayaan, kata halal adalah kata yang tak lagi mungkin. Mereka yang terjebak dalam dilema halal dan haram akhirnya sering berakhir menjadi buruh atau orang miskin. Atau saat kaya, juga malah menindas dan memelihara orang miskin agar gaya hidup tetap mewah, aman, dan sangat kekinian dalam gaya.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now