EKA KURNIAWAN JOURNAL

472 2 0
                                    


Barangkali memang perlu lebih banyak novel untuk mengolok-olok orang-orang intelek,  ujar Eka Kurniawan dalam jurnalnya A Cup of Rage, Raduan Nassar.  aku rasa, aku akan mendukung hal semacam itu dengan sangat antusias. apalagi kalau Eka menuliskannya. seandainya Eka berpikir beberapa kali untuk menuliskannya. biarlah kelak aku saja, jika masih beruntung hidup beberapa tahun lagi.

dan malam ini aku kembali membaca jurnalnya Eka Kurniawan dan Goenawan Mohamad, setelah sekian lama tak membacanya karena banyak hal di kepala. dan akan sangat menyenangkan jika Eka sesekali, menulis karya yang sedikit kelam, dalam artian keluar dari beberapa karya dia yang lebih bersifat lokal. apa ada yang salah dengan kelokalan? tidak. jelas tidak. Eka bagus di situ. dan tentunya, dia punya bakat untuk bercerita atau mendongeng. kadang pernah berpikir, mungkin Eka akan sangat bagus membuat karya berbentuk fabel. sedangkan kritikku mengenai beberapa karyanya, lebih ke arah nihilistik, memandang dia sebagai seorang ayah dan lainnya. sedangkan kali ini, aku menggunakan sudut pandangku yang lain. lebih tepatnya, hanya sekedar membaca beberapa jurnal dia. dan memandang Eka dari sudut lainnya.

**

buku Eka pertama yang aku punya adalah Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. buku lama, sudah kumal, dan sekarang entah hilang kemana; dicuri orang aku rasa. yah, entahlah, padahal aku belum menyelesaikan membacanya. dan sekarang otakku sudah dipenuhi banyak hal. terlalu banyak bahan bacaan itu seringkali mirip penjara. 

membaca karya Sastra Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak tapi isinya biasa saja, benar-benar melelahkan. dan akhir-akhir ini aku semakin malas membaca Sastra Indonesia. kecuali esai, kritik, atau jurnal pribadi. dan kali ini, aku ingin membaca hal-hal yang tak tertulis di buku-buku. walau hanya beberapa.

**

ketika membaca-baca jurnal Eka, beberapa waktu yang lalu, aku menemukan kata-kata yang aku sukai darinya; Kita juga sering bertanya, bukan karena ingin mengetahui jawabannya, tapi karena hidup kita membosankan dan tak ada yang bisa dilakukan. Seperti bagaimana kita meributkan sesuatu, bukan agar orang lain mendengar apa yang kita katakan (kita sadar kebanyakan orang tidak mendengar, mereka asyik dengan suara ribut mereka sendiri), tapi agar ada yang mengisi kebosanan kita. Mengisi ruang kosong alam semesta kita. Setidaknya jika tak berhasil menghancurkan dunia, kita tak hanya diam menunggu dunia menghancurkan kita.

dan kata-kata, atau kalimat lainnya; Para bajingan di sejarah kesusastraan selalu merupakan orang-orang kesepian yang mencoba memahami dunia dengan cara mereka, dan brengseknya, sebaliknya dunia terbata-bata untuk memahami mereka. Meskipun begitu, sekali pukul, ia merayakan kehidupan kita yang membosankan ini, yang gemar meributkan hal-hal trivia, hal remeh-temeh yang bahkan kita sadari tak penting-penting amat untuk hidup kita, tapi kita ributkan karena ... hidup kita membosankan dan tak ada hal lain yang bisa dikerjakan!

membayangkan Eka menulis novelnya, dengan tulisan macam itu, aku rasa, cukup menyenangkan untuk dibayangkan. benar-benar sangat menyenangkan. mungkin orang akan tiba-tiba merasa aneh, atau terkejut, jika kelak Eka menulis yang berbeda dari apa yang hari ini lebih banyak dikenal. dan, dia memiliki beberapa gaya berbeda. aku yakin dia bisa, asal tidak terlalu memikirkan pembacanya yang hari ini terbiasa dengan beberapa buku terdahulunya.

**

membaca jurnal Eka, sama dengan melihat sedikit perjalanan hidupnya sehari-hari, yang tak lepas dari buku, film, perjalanan-perjalanan dan renungan-renungan. itulah yang menarik dari jurnal, catatan harian atau pribadi, esai, dan semacamnya yang lebih pada kehidupan pribadi atau sangat subyektif. dalam kesibukan, Eka masih menyempatkan diri untuk membaca dan menuliskan hasil dari bacaanya walau seringkali hanya pendek. tapi setidaknya, bisa sedikit menghindar dari kelumpuhan ingatan atau amnesia. mencatat, menuliskan apa yang pernah dialami, terlebih yang bersifat intim, masih belum menjadi hal yang biasa di negara ini. 

Saya? Saya pengin melihat karya saya bersanding di rak buku dengan penulis-penulis kesayangan saya. Cita-cita saya tampak dangkal dan tolol, tapi sulit melakukannya. Setiap kali saya menyandingkan buku saya di samping buku-buku itu, saya merasa buku saya tak pantas berada di sana. Mungkin saya harus mencoba meletakkan buku saya di sisi buku-buku itu, terus-menerus selama 10.000 jam? Mungkin. Mungkin. Sebab saya yakin, 10.000 jam melakukan ketololan juga bisa berhasil membuat saya lebih tolol berkali lipat, dan sejujurnya, saya sering melakukan hal itu, tulis Eka, dalam sisi lain yang tak akan pernah tampak di toko-toko buku atau karya-karyanya. 

**

apakah aku membenci Eka Kurniawan? 

tidak. jelas-jelas tidak. dan aku tak pernah membenci siapa pun yang pernah aku kritik. walau pun beberapa yang aku tulis adakalanya terasa meledak-ledak. itu bagian dari sisi lain yang memandang dunia dari sudut lainnya. atau, lebih bersifat meminta pertanggung jawaban intelektual dan merasa sedikit ngeri dengan negara yang hampir memiliki segalanya, tapi kita, masih tak mampu menulis lebih bagus lagi. dalam artian banyak, apa yang aku tulis, juga menohok dan aku tunjukkan ke diriku sendiri.

mungkin ada beberapa orang, terlebih penggemarnya, yang merasa aku membenci sangat Eka Kurniawan. dalam kenyataannya, aku tak pernah membencinya sama sekali. aku hanya mengandai sebuah dunia, di mana kita, bisa bebas dan dewasa saling memberi saran, mengkritik, mencaci yang layak dicaci, dan terbuka atas semua hal itu, dan mau untuk berubah. sebentuk sikap kedewasaan yang jarang ada di dunia kita. bahkan, diriku sendiri masih memiliki banyak anak kecil yang sangat perasa.

apa aku membenci Eka? tidak. bahkan, kali ini, aku cukup menikmati jurnalnya.

**

tanggung jawab penulis ya bikin karya bagus,  ucapan Eka dari mulut Dag Solstad yang disunting. kalau dipikir-pikir, selama ini aku belum sama sekali menulis sebuah buku pun yang agak layak. setidaknya berwajah menjual. dan sialnya, masih tak terlalu merasa ingin. Eka sendiri, kalau aku lihat, hanya dia sendiri karyanya yang agak dikenal orang kalau aku sekedar mengintip di bookstagram orang-orang berwajah mancanegara. bisa dibilang, untuk saat ini, Eka lah yang cukup dikenal dan harus kita, dan aku akui, banyak direview dan dapat tanggapan internasional (walau tentunya, beberapa buku dari penulis lainnya). masalah bagus tidaknya atau hal-hal yang melatarbelakanginya, kita bisa baku hantam kata-kata dan pemikiran bukan? 

**

dan tulisan ini, aku akhiri dengan kalimat Eka dalam In Praise of Shadows, Junichiro Tanizaki;  Saya rasa penulis harus lebih banyak menghasilkan karya semacam ini, menjelajahi satu tema dalam satu buku utuh, jangan cuma riang dan merasa cukup dengan bunga rampai esai dan pikiran sejengkal-dua jengkal. yah, aku rasa, kalimat terakhir dari Eka ini, dan banyak dari kita, bisa sedikit merenungi diri. aku juga merasa, selama ini aku hanya membangun sebuah fragmen layaknya Goenawan Mohamad. dan karena alasan-alasan tak menentu, tak pernah mampu membuat karya yang cukup utuh dan memuaskan. yah, setidaknya, kita masih bisa merayakan dan mampu sedikit menuliskan apa yang ada di kepala kita. semacam jurnal Eka Kurniawan. selagi kita masih hidup dan kelak sekedar menjadi yang terlupakan.

dan akhirnya, mengutip Karen Armstrong dalam Menerobos Kegelapan, menulis merupakan sebuah proses yang menakutkan, sukar, melelahkan, karena Anda tidak pernah mengatakan dengan tepat apa yang Anda inginkan. 

kita semua melakukan itu. siapa pun. itulah kenapa, dunia manusia, adalah dunia kesalahpahaman. begitu juga dengan sastra. kritik sastra dan yang berkaitan erat dengannya. 


ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now