SENI, DAN KEBODOHAN-KEBODOHAN YANG DILEMBAGAKAN

1.2K 11 0
                                    

Belajar seni di Indonesia sebagai orang awam, dan seseorang yang berkuliah di bidang seni sendiri, dijamin bisa depresi atau bosan. Seni berada di wilayah yang sama mengerikannya dengan sastra. Tapi lebih mengerikan lagi. Seolah seni susah beranjak dari kepentingan lingkaran seniman itu sendiri.

Dibuat untuk seniman. Dipamerkan untuk seniman. Dan diperbincangkan di kalangan seniman itu sendiri. Yang lainnya, tak layak dipedulikan. Itulah seni yang nyaris aku kenal sehari-hari.

Tingkah laku berkesenian yang pernah aku lihat. Membuat orang-orang awam menjadi bodoh dan keterlaluan dihina berulang-ulang. Terlebih seni yang bernama seni rupa, patung, instalasi, video, grafis, kontemporer dan lainnya. Adalah seni-seni yang membuatku sendiri sering dihina secara telak berulang-ulang. Membuatku tetap bodoh dan bodoh walau memasuki berbagai macam galeri dan pembukaan acara kesenian berulang kaki.

Kesenian di Indonesia, terlebih Jogja, dimanjakan dengan hal-hal yang tak banyak dimiliki oleh ranah kesusastraan. Galeri seni yang luar biasa banyaknya, yang tidak hanya untuk pameran tapi memudahkan dalam memperkenalkan banyak hal, diskusi, tukar pemikiran dan suatu tempat yang jelas ada dan mudah dicari. Jika orang awam ingin tahu sedikit soal seni, mereka hanya tinggal bergegas ke galeri yang ingin dituju. Tapi, diskusi atau memperkenalkan bentuk-bentuk kesenian, aliran kesenian, wacana kesenian, apa itu seni dan lainnya, sangat jarang terjadi. Lubang besar yang hingga hari ini susah dijembatani oleh galeri seni manapun kecuali hanya sekedar bersifat mendadak, ketika ada sesuatu dan lainnya.

Galeri seni, seniman dan lainnya yang menyediakan waktunya untuk memberikan pertukaran gagasan, pemikiran, dan mencoba lebih dekat ke orang awam, sangat sedikit. Diskusi, bedah karya, atau apa pun itu, jumlahnya tak sebandingkan dengan jumlah galeri, seniman, dan pameran yang ada. Sehingga, orang macam aku, dan anak seni itu sendiri, sangat dirugikan. Seniman senior pun sejujurnya akan sangat rugi dan banyak tertinggal akan perkembangan yang lainnya.

Kurator yang kurasinya sekedar memberi kata pengantar. Dan dikatalognya, hanya sekedar basa-basi sepele. Lalu apa yang didapat dari katalog dan pembukaan pameran seni kecuali kebodohan-kebodohan baru?

Jarang ada kuator dan katalog yang mendedahkan karya seniman panjang dan lebar. Sejelas-jelasnya atau sedikit jelas. Seolah-olah para kurator sedang menutupi dirinya sendiri dari ketidakmampuan mereka mendekati dan memahami karya yang sedang dikuratorinya, selama kita berada di pameran seni. Berapakah katalog seni atau kurator menulis hal semacam ini; oh, lukisan ini sangat kuat terpengaruh dengan abstrak lirik ditambah sedikit kuasan black-impressionism. Dan karya yang satu ini, sangat dekat dengan Picasso dan Cubismenya. Hanya saja, ada jejak kuasan Affandi di dalamnya. Dan karya menarik satu ini, rasanya terpengaruh dengan Naive Art yang jarang sekali dipakai seniman Indonesia.  Oh, ini bernuansa Pop dan sangat dekat dengan Andy Warhol dan teman-temannya. Tapi lebih dekat dengan gaya England dari pada Amerika. Ditambah sentuhan kelokalan. Yang ini, jelas, terpaut kuat dengan Cubisme. Tapi kalau diamati lebih dekat lagi, lukisan ini condong ke arah Purisme. Dan lukisan yang lainnya memiliki kadar Surealisme yang kental. Tapi teraduk dengan ekspresionisme.

Dan apakah ada katalog dan kurator yang rela mendidik orang yang nantinya akan datang kesenian acara kesenian dengan membuat katalog semacam ini; beberapa lukisan, seperti lukisan ini dan ini, sangat kuat dipengaruhi oleh gaya Cobra yang lahir dan hidup di Paris dan Amerika Utara antara tahun-tahun 1984 sampai 1951. Beberapa punggawanya semacam Lucebert, Constant, Karel Appel, dan beberapa lainnya. Mereka mengombinasikan surealisme dan romantisme alam. Jika orang tak jeli. Akan menganggapnya sebagai abstraksionisme. Karena salah satu di antanya, Jean-Michel Atlan, juga salah seorang penggerak Lyrical Abstraction. Yang lahir, tentunya di Paris.

Dan hal semacam itu, yang tak usah aku tambah uraian lagi, sangat jelas. Kurator, katalog seni, dan seniman sendiri tak merasa berkepentingan di situ. Apakah mereka terpengaruh kuasan, ide, gagasan, entah Affandi, Sudjojono, Nasirun, Joko Pekik dll, jarang dijelaskan. Dan tipe-tipe perbedaan teknik, kuasan, warna dan lain-lain, jarang dan sedikit sekali ditemukan di dalam katalog. Jadi saat aku masuk pameran seni, yang aku bisa hanya meraba-raba, macam orang buta idiot yang terus dibiarkan buta dan idiot.

Dan tentunya, yang ada hanyalah jualan seni. Karena kurator jarang menempatkan diri sebagai kritikus seni. Kritikus seni dan filsuf seni sendiri sama langkanya dengan kritikus sastra. Kesamaan mereka, akan dibenci habis-habisan.

Sebuah pameran seni yang seolah ramai dan sukses. Kemungkinan besar mereka yang datang tak tahu apa-apa perihal karya dan wujud seni yang dipandanginya. Dan seniman tak sadar diri, bahwa keramaian itu hanya diisi oleh orang-orang yang idiot seni. Apakah, selama ini para seniman juga merasa tak terhina dan muak jika seringkali mengadakan pameran, yang datang hanyalah orang-orang yang buta total terhadap kesenian? Terlebih seni lukis yang lebih sering dipamerkan?

Tapi seniman juga tak bisa marah. Mereka juga, keabaian mereka, yang membantu menciptakan masyarakat yang bodoh dan juga buta seni. Sama halnya kritikus sastra dan sastrawan yang membiarkan pembaca Sastra Indonesia menjadi bodoh dan tak berkembang.

Hal yang lebih parah lagi, adalah susahnya mencari buku-buku yang berkaitan erat dengan kesenian. Terlebih di toko-toko buku. Dan jika ada, harganya luar biasa mahal. Atau sangat sedikit.

Beberapa waktu yang lalu, aku senang mendapatkan buku biografi Sudjojono yang diterbitkan oleh KPG. Dan buku kecil tipis keluaran Kanisius, Apa Itu Seni? Cukup membantu. Dan buku dengan muka buku indah kebiruan yang dicetak Marjin Kiri, Kurasi dan Kuasa, cukup memberi gambaran mengenai dunia kuratorial di Indonesia. Lalu, ada buku Martin Suryajaya, Estetika, yang jelas akan sangat membuat malu orang seni. Kenapa bukan mereka yang membuat? Dan buku itu mahal. Diterbitkan terbatas di dunia buku indie. Tentunya, orang akan susah mencarinya, dan tak semua orang yang suka seni dan seniman memiliki banyak uang. Tapi, nanti aku akan membeli buku itu. Karena aku belum jatuh sangat miskin.

Ada buku Jogja Agro Pop, yang memberikan wawasan sedikit kesenian di Jogja dan yang berkaitan dengannya. Sayang, buku semacam ini, dan lainnya, disimpan rapat di galeri seni yang mencetaknya atau di kalangan para seniman sendiri. Buku-buku Katalog Seni Rupa Indonesia atau Jogja. Buku-buku Biennale Jogja dan semacamnya, tersimpan rapat dan hanya berputar di kalangan seniman, galeri seni, atau sekedar masuk jadi onggokan kata-kata dan kertas di Indonesia Visual Art Archive.

Bagaimana orang awam akan tahu seni, dan mahasiswa seni akan berkembang cepat dalam seni dan menghindari plagiarisme jika para seniman, kurator, kolektor, dan pencinta seni tak merasa berkepentingan untuk membuat seni menjadi dunia sehari-hari masyarakat Indonesia? Salah satunya dengan membuat buku-buku itu bisa dinikmati masyarakat luas dan ada di toko-toko buku umum; Gramedia, Toga Mas, periplus, Gunung Agung dan lainnya. Tak hanya berputar di toko buku Indie yang jelas sedikit yang akan melirik, tahu dan berminat. Terlebih jika mahal pada akhirnya. Yang sejatinya harganya bisa ditekan. Atau, menekan pemerintah untuk membuat buku menjadi murah agar seniman tak punya alasan mengeluh bahwa masyarakat tak menyukai seni. Sama halnya di dunia sastra yang sastrawannya mengeluh masyarakat tak menyukai sastra.

Jadi jujur saja, selama ini aku bagaikn idiot yang kesana-kemari melihat acara seni tapi bagaikan ditonjok-tonjok setiap waktunya. Para seniman harus mulai belajar dari para sastrawan untuk menerbitkan buku-buku seni secara luas dan menjadi milik umum. Seperti buku Lust for Life yang menceritakan Van Gogh. Dan segera mungkin menerjemahkan buku yang menceritakan Monet dan istrinya. Tentunya, buku-buku tentang seniman lainnya. Tentunya yang ada di indonesia juga. Semisal esai yang ditulid Nirwan Dewanto akhir-akhir ini oleh penerbit Oak. Itu pun terbatas di Toga Mas kalau tak salah. Kalau tidak, para seniman dan mereka yang berkepentingan dengan seni. Akan terus melembagakan kebodohan masyarakat perihal seni. Dan merayakan kebodohan yang ada di dalamnya.

Termasuk membuatku terus-menerus bodoh dan idiot.
Dan kesenian macam itu, benar-benar merendahkan kecerdasan orang Indonesia jika masih menuntut masyarakat untuk memahami dan mencintai seni sementara mereka tak berusaha mati-matian mendekatkan seni ke masyarakat luas.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now