ERA DIGITAL (INTERNET)

645 5 0
                                    

Buku cetak membuat orang terfokus pada suatu hal tapi membatasi banyak hal lainnya. Terutama jumlah pembaca dan bagaimana gagasan menyebar. Buku cetak bestseller, selaku apapun tak akan mencapai sepuluh juta kopi dalam sekali waktu dalam tataran lokal. Bahkan di atas satu juta pun adalah hal yang luar biasa. Penjualan dan lamanya habis, membuat gagasan dan penyebaran isi juga tersendat dan sangat lamban. Di era digital ini, ketika seorang pengarang membatasi dirinya dan karyanya tersebar dalam dunia internet secara bebas dan gratis. Itu berarti sang pengarang kemungkinan menggantungkan seluruh atau separuh hidupnya dalam proses tulis menulis. Atau dia tak punya banyak hal untuk mengatasi keterbatasan dirinya. Ambil contoh, dia menulis untuk mendapatkan hak cipta dan intelektual serta royalti. Dia menulis sungguh-sungguh untuk mendapatkan hal itu. Di lain sisi, dia bisa menulis berbagai pikiran dan sudut pandang dia dengan bebas dan menyebarkannya secara gratis di internet. Seperti halnya para jurnalis, musisi, dan lainnya. Tapi, seberapa banyaknya orang semacam itu ada? Jumlahnya masih sedikit. Terlebih ketika sudah mengacu pada hak cipta dan gagasan penting yang menjadi tumpuan hidupnya.

Aku mengalami sendiri apa yang aku sebut dilema ilmu pengetahuan atau penyeberan gagasan. Di lain sisi, internet membantuku menyebarkan gagasanku dengan sangat mudah dan terus menerus bisa diakses selama listrik dan internet masih ada dengan kecepatan tinggi, dan murah. Berbeda dengan buku yang harus membayar dan terbatas jumlahnya. Di lain sisi, apakah aku harus terus menerus menggratiskan semua yang aku tulis, dan seluruh gagasan kasarku yang harusnya bisa aku optimalkan menjadi karya utuh yang bisa memberikanku royalti dan semacamnya?

Hampir semua penulis dan pekerja kreatif biasanya menyimpan habisan-habisan rempah atau gagasan kasarnya agar tidak diketahui publik. Kerena gagasan itu penting baginya untuk mendapatkan pengakuan dan kemakmuran. Aku mendobrak tabu ini dengan terang-terangan. Terlebih di tempatku berada.

Aku membanjiri dunia Maya dan dunia nyata dengan gagasan-gagasan kasarku yang berlimpah agar dibaca atau dikembangkan orang lain dengan sebebas mungkin. Apakah aku rugi? Aku jawab tidak. Aku masih memiliki luar biasa banyak gagasan. Karena keterlaluan banyaknya, aku bisa dengan aman memiliki banyak gagasan yang belum diketahui orang lain dan bisa aku kembangkan menjadi buku utuh versi cetak yang layak jual. Walau entah kapan itu. Dan aku bisa mengembangkan lagi gagasan kasarku yang aku sebar gratis sebebas yang aku mau. Aku bisa membuatnya versi cetak atau digital dan mendapat keuntungan. Di lain sisi aku memiliki kebebasan luar bisa untuk tidak membatasi pikiranku dan gagasan kasarku di ruang publik tanpa takut disalin, dijiplik, atau diotak-atik orang lain. Di sisi lain, aku bisa mengembangkannya menjadi buku khusus yang lebih baik dan lebih layak. Inilah yang aku sebut kebebasan berekspresi dan berkarya tanpa takut kehilangan banyak hal; dari mulai prinsip hingga ketidakmampuan lagi berkarya karena seluruh gagasan telah dicuri orang.

Aku adalah monster hidup bagi orang yang memiliki gagasan terbatas dalam otaknya. Tak seorang pun yang bakal bisa mencuri seluruh gagasanku karena keterlaluan banyaknya. Terlebih gagasan yang masih ada dan tersembunyi dalam otakku.

Aku sedang membaca dua buku cukup penting mengenai era digital, yang berbicara mengenai kreativitas, pembajakan atau penyalinan dan bagaimana sebuah kreativitas dan gagasan bisa dihentikan, dihalangi, atau gagal menyebar dan macet. Dua buku itu adalah Memuliakan Penyalinan dan Budaya Bebas. Dan orang harus mengerti posisiku sebagai generasi internet atau multitasking. Di mana aku bisa menulis, membaca, berpikir, merenung, dan semacamnya sambil bermain games, mendengarkan musik, melakukan perjalanan, kegiatan sosial, atau berolahraga dan banyak hal lainnya. Dan di era internet hari ini, di mana era perpustakaan dan buku cetak dalam kondisi yang tergempur dan semakin banyak ditinggalkan. Segala sesuatu yang terhubung dengan kemudahan lewat internet akan bertahan sangat lama dan mudah sekali menyebar, ditemukan, dan diterima. Sisi lainnya mudah ditolak, dihapus, atau diabaikan. Untuk berada di era semacam ini, apa yang harus dilakukan oleh kita yang hidup sebagai pekerja kreatif atau intelektual? Beberapa jawabannya sudah ada di kedua buku yang sedang aku baca. Lalu ada contoh nyata dari semua itu dan apa yang aku lakukan selama ini; Kunci, sebuah lembaga budaya di Yogyakarta menggratiskan buku atau menjualnya dalam versi cetak. Dan menggratiskannya dalam versi elekronik dalam bentuk e-book. Itulah yang seharusnya, mulai sekarang menjadi norma dunia kreatif dan intelektual kita hari ini. Tapi di negara ini dan negara lainnya, hal semacam itu masih rentan dan sangat dikhawatirkan akan mengurangi penjualan buku cetaknya. Terlebih bagi mereka yang menciptakan karya itu beserta yang menaungi penerbitan atau perusahaan yang meluncurkan sebuah barang inovasi dan semacamnya.

Memang, pencurian gagasan dan kreativitas menjadi masalah besar dari dunia modern kita yang semakin berbasis digital dan internet. Kita membajak habis semua yang bisa kita bajak; dari mulai nyanyian, lagu, musik, MP3, film-film, isi berita di internet atau koran berbasis kertas, buku-buku, percakapan iseng di kampus dan cafe-cafe, ruang publik, membajak karya orang lain yang tidak mengenal kita dan tanpa sepengatahuan mereka adalah pekerjaan kita sehari-hari. Kita membuat logo perusahaan. Karya ilmiah. Inovasi. Desain baju hingga pesawat terbang, nyaris semuanya hasil dari membajak atau mencuri. Dalam garis kasarnya, kita semua adalah pencuri. Atau penyalin dan pembajak menurut dua buku yang kini sedang aku nikmati.

Entah dia beragama atau tidak. Berperikemanusiaan atau psikopat. Kita tidak luput dari proses saling menyalin dan curi mencuri. Meniru adalah keahlian manusia dan makhluk hidup yang paling dasar.

Dan yang paling sering kita tiru dan curi adalah norma, hukum, dan segala hal yang berbentuk aturan; agama, tuhan, hingga norma sosial masyarakat. Kita meniru habis-habisan tingkah laku Buddha, Yesus, hingga Muhammad. Dalam hal ini saja, kita sudah tidak asli. Apalagi jika kita melanjutkannya dalam hal ideologi, fakta-fakta yang kita terima, dan segala hal yang kita jadikan topangan hidup dalam berpikir dan bertindak. Terlebih meniru tokoh yang kita kagumi. Pernyataan yang mengatakan bahwa keaslian itu ada, adalah sesuatu yang rentan dan nyaris mustahil di era sekarang ini. Kecuali hanya sekedar klaim berdasarkan hukum dan aturan-aturan dalam maayarakat.

Aku juga termasuk dalam kategori pencuri sehari-hari yang diamini dan ditopang oleh sekian banyak pencuri lainnya. Tanpa mencuri karya milik orang lain, aku akan menghabiskan luar biasa banyak uang untuk bisa mengakses ke semua hal yang ada dan aku inginkan. Dari mulai buku bajakan, Mp3, hingga komik dan ilmu pengetahuan yang ada. Bahkan, banyak buku bagus yang aku miliki adalah hasil dari tindakan mereka membajak yang dilakukan oleh para penerbit besar maupun kecil.

Membajak bisa berarti salah juga benar dan bermanfaat. Tergantung dalam posisi mana, alasan, dan aturan mana kita berada di dalamnya.

Dan yang lebih penting, internet membawa kita pada kebebasan berekspresi dan seberapa jauhkah, kita memiliki mental yang kuat untuk berada di dalamnya. Ketika orang yang berkomentar dan membenci kita bisa dengan mudahnya menyerang kita secara langsung. Lalu, di tengah konsumerisme yang mewabah, berarti penjiplakan dan peniruan secara massal terjadi setiap harinya. Apakah membatasi diri dengan mengurung gagasan dan karya kita sebagai hak milik dan kita simpan rapat-rapat, sebagai suatu tindakan tercela atau layak untuk dikecam? Ataukah kita harus masih melindungi berbagai macam karya dan gagasan kita dengan sederet hak cipta, paten, dan hak kekayaan intelektual? Yang berati kita membuat ilmu pengetahuan, penyebaran gagasan, inovasi, dan penemuan tersendat-sendat?

Hal semacam itu sangatlah rumit. Aku sarankan membaca buku Memuliakan Penyalinan dan Budaya Bebas untuk memikirkannya sendiri dan mencari jalan keluar sendiri. Yang bisa aku katakan sebagai jalan tengah adalah, ketika seseorang dalam keadaan miskin dan nyaris menggantungkan hidupnya dalam proses mencipta dan berkarya, bolehkan dia kita beri penghormatan dengan hak cipta dan intelektual yang ia punya. Tapi ketika ia sudah dalam taraf kaya raya dan sangat berkecupukan. Tidakkah sudah saatnya karya dan segala jenis gagasan bisa digratiskan dan sebarluaskan ke ranah publik?

Tapi, banyak orang lebih sangat menyukai monopoli dan terus menerus memperkaya diri. Yah, itulah salah satu yang menyebabkan segala jenis gagasan dan ilmu pengetahuan sulit berkembang dengan baik dan cepat. Dan itu juga salah satu cerminan bahwa kita lebih menyukai diri kita sendiri, egois, dari pada yang selama ini kita gembar-gemborkan sebagai sosok yang berkemanusiaan dan baik hati. Entah dalam lingkup aktivis, pengusaha, intelektual, negarawan, pejabat pemerintah, maupun warga biasa.

Dalam dunia digital dan internet yang  berkembang secara luas dan menjamah anak-anak kecil yang baru bisa berpikir. Masihkah kita menganggap internet sebagai sesuatu yang kualitas dan keberadannya lebih rendah dari pada dunia cetak dan objek utuh dunia nyata?

Mulai sekarang kita harus berani berkata dalam diri kita sendiri bahwa internet telah menjadi dunia nyata sebagian dari kita sehari-hari. Kita lebih sering hidup di dunia Maya dari pada menenggelamkan diri dalam dunia nyata yang mulai renggang dan menakutkan. Ekspresi dunia nyata kita lebih banyak tunduk dan seperti budak dari pada bebas dan bersenang-senang dalam mengungkapkan siapa diri kita dan apa yang kita inginkan dan butuhkan di dunia ini.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now