REHAT DARI SASTRA. KEMBALI KE KOTA

304 4 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jika kita menganggap semuanya dalam keadaan baik-baik saja dan tetap beraktivitas seperti biasa, berarti kepekaan kita terhadap alam sudah hilang.
Nirwono Joga
Iwan Ismaun
RTH 30%!

Lebih dari setengah populasi dunia tinggal di kota. Pada 2050, kota mungkin dibanjiri oleh dua per tiga orang di bumi.
National Geographic Indonesia
Maaf, Tak ada gambar indah untuk perubahan iklim.

Sastrawan hanyalah sebagian kecil dari benang kehidupan yang hidup, tinggal, dan mengambil manfaat apa yang terdapat di dalam kota bersama-sama dengan yang lainnya; presiden, pejabat negara, artis, dokter, arsitek, agamawan, seniman, politikus, negarawan, penyair dan lainnya. Mereka semua dihidupi dan mengambil manfaat dari kota yang mereka tinggali. Tapi, mereka lupa. Kota tak akan mampu berdiri tanpa daerah-daerah yang memasok segala kebutuhan, bahan mentah, pangan, dan segala jenis barang jadi yang tentunya diambil jauh dari kehidupan perkotaan. Dari beras, gandum, minyak, hingga bahan bakar, listrik dan internet. Secara tak langsung, warga kota bertanggung jawab terhadap daerah-daerah jauh yang mereka hisap untuk mempertahankan gaya hidup masyarakat perkotaan dan perorangan. Tanpa daerah pemasok, yang seringkali mereka acuhkan dan abaikan. Warga kota akan mengalami masa-masa tersuramnya. Kesadaran akan tanggung jawab daerah yang jauh, selama ini belum terlalu terlihat, bahkan ada bagi warga yang tinggal dan menetap di perkotaan-perkotaan besar di negara ini.

Dan sastrawan, adalah salah satu yang harus lebih peka terhadap hal ini. Tapi, akhir-akhir ini, aku malah melihat wajah sastra yang buruk. Kepekaan dalam sastra kian menurun. Cerminan dari masyarakat yang kehilangan kepekaan terhadap alam dan lingkungan sekitarnya.
Dan, yah, setelah beberapa waktu aku melakukan kritik di dalam tubuh sastra dengan cara menghubungkan sastra dengan banyak hal. Aku rasa, saat ini sudah waktunya bagiku untuk kembali ke kajian perkotaan. Kajian yang jelas-jelas sangat menjengkelkan. Tak terlalu banyak kajian mengenai kota. Terlebih yang modern atau sekarang ini. Semua buku yang aku miliki dan lihat, seringkali hanya sampai seputar tahun 70an ke bawah. Dan lebih banyak lagi di awal abad-20. Atau bahkan malah terhenti di abad 18. Bisa dibilang, kajian kota adalah wilayah suram di negara ini. Tak banyak orang mau melakukannya.

Kalau dipikir-pikir, dari sekian banyak kajian perkotaan yang ada, entah penulis luar atau pun dalam negeri. Jakartalah yang masih menjadi favorit. Menjengkelkan memang. Apakah Indonesia itu hanya sekedar Jakarta? Sedangkan kajian mengenai kota-kota lainnya, luar biasa sedikit. Jika ada pun ditulis dengan luar biasa mengerikan.

Luar biasa susah mencari buku menyoal Bogor. Bandung. Semarang. Surakarta. Surabaya. Malang. Bahkan Jogjakarta sendiri, yang jelas-jelas harusnya memiliki lebih banyak buku yang menyoal kota itu layaknya Bali. Ya, selain Jakarta, Bali-lah yang paling banyak ditulis. Seolah-olah Indonesia itu hanya terdiri dari Jakarta dan Bali. Mengerikan memang. Atau lebih tepatnya mengenaskan.

Selain kajian kota sudah berada dalam tahap tersuram. Para penulisnya, kebanyakan, menuliskannya dengan gaya akademis membosankan. Semisal buku-buku menyoal Jogja dari Komunitas Bambu dan berbagai terbitan Ombak. Membuat sudut pandang kajian perkotaan semakin susah dinikmati anak-anak muda yang hari ini lebih menyukai jalan-jalan, menonton film, bermusik ria, dan segala hal ringan tapi tetap memiliki isi. Dan seandainya pun ada buku terlihat akademis, sedikit sekali yang mampu menghibur kecuali memang buku-buku penulis asing yang tebal, luas cakupannya, dan enak dibaca. Ada beberapa buku penulis Indonesia yang cukup menyenangkan yaitu, Batavia 1740 karya Windoro Adi. Beberapa lainnya, tergeletak di galeri-galeri seni dan susah diakses masyarakat luas.

Sebagai anak muda, membaca buku akademis tebal, atau kecil membosankan, kaku, dan kehilangan imajinasi. Bagaikan dipaksa membaca sebuah buku mengenai kerja rodi. Menyebalkan. Dan banyak penulis Indonesia menuliskannya dengan gaya paling menyebalkan, sangat tak enak dibaca, direnungkan, bahkan tak menumbuhkan  perasaan untuk menjelajahi. Dan salah satu yang paling menyebalkan adalah buku-buku gaya backpacker tanpa otak dan imajinasi mengenai masa depan. Ditulis hanya untuk sekedar bersenang-senang, informasi hotel, jalan, transportasi, dan sedikit penjelasan mengenai tempat.

Kita kekurangan sebuah buku mengenai perkotaan, yang penulisnya seolah-olah hidup di dalamnya dan mengajak kita ikut serta menelusuri apa-apa yang dibicarakan, dilihat, dan direnungkannya. Buku-buku semacam itu, akan susah diperoleh lewat kajian akademis yang kaku dan menekan imajinasi serta perasaan. Dan anehnya, jarang penggiat, pemerhati, dan penulis studi, kajian atau hal-hal mengenai kota menyadari kondisi semacam ini.

Kita sedang dihadapkan  dengan generasi yang mudah bosan dan jarang memiliki kemampuan membaca yang kuat. Satu-satunya cara, untuk membangkitkan studi perkotaan bisa diterima sangat luas adalah dengan gaya penulisan perjalanan seperti yang kita lihat di National Geographic maupun Traveler. Atau, buku-buku perjalanan yang setara dengan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss dan The Geography of Genius. Atau kita bisa mengikuti jejak Agustinus Wibowo dan menerapkannya di kota-kota di Indonesia.

Sebuah buku perjalanan kritis dan berwawasan, yang aku sebut dengan cara berpikir Ideapacker.

Kenapa harus kota?
Kenapa bukan alam lebih dulu?

Penduduk kotalah, yang akan menentukan masa depan negara ini, bahkan dunia menuju ke arah kehancuran maupun keadaan seimbang dan harmonis. Cara hidup, berpikir, berkarya, bersosialisasi, beragama, berpolitik warga kota, akan memiliki dampak luar biasa terhadap masa sekarang dan masa depan segenap provinsi, daerah, kota kecil, pedesaan, dan kawasan adat, hutan, dan cagar alam yang dilindungi.

Hancurnya hutan Indonesia, karena gaya hidup dan pola pikir warga kotalah yang mengijinkannya. Kenapa suku dayak dan Papua terlunta-lunta di tanah mereka sendiri. Karena warga perkotaan, terlebih di Jawa dan Jakartalah yang menginginkannya. Kenapa banjir, rob, penurunan tanah, panas lingkungan bertambah, kemacetan, dan hunian yang tak lagi nyaman. Semua itu warga kotalah yang menginginkan dunia semacam itu. Dan lebih parahnya, warga kota mengajari penduduk di pedesaan dan pelosok, mengikuti gaya mereka yang kotor, bersampah, dan menjauhi lingkungan.

Jika Indonesia ingin menjadi negara yang maju dan beradab. Maka warga kota harus beradab lebih dulu. Tak seperti sekarang, yang, astaga, sampah di mana-mana, sungai cemar dan kotor, kemacetan merajalela, perkampungan kumuh menjadi hal yang biasa, orang-orang bodoh perkotaan bertambah tiap harinya. Dan yang paling menyebalkan, gaya warga kota yang merasa lebih hebat dan tinggi dari pada yang berasal dari daerah dan pedesaan. Padahal, dengan banyaknya orang terpelajar, mengurus kota saja tak becus.

Apa yang masih bisa kita banggakan, ssbagai warga sebuah kota? Selain menyebarkan keburukan kita lewat pendidikan, televisi, dan koran-koran setiap harinya?

Dan sayangnya, banyak sastrawan di Indonesia tak memiliki kepekaan berpikir semacam ini. Jika sastrawan dan seniman saja mirip warga kota kebanyakan. Apa yang harus kita perbuat? Yah, kita ajari para sastawan untuk belajar berpikir dan merasa. Mungkin itu cara menarik. Karena ego kebanyakan orang yang hidup di dunia sastra luar biasa tinggi. Mungkin mereka akan merasa terhina dan direndahkan lebih dulu. Karena kebanyakan mereka sudah hina. Kita hina berkali-kali pun rasanya tak masalah.

Beberapa hari, minggu atau satu bulan ke depan, aku akan rehat sejenak dari sastra. Rehat menuliskan berbagai opini lewat tulisan seperti biasanya. Aku ingin menyelesaikan membaca buku Nirwono Joga lebih dulu; RTH 30%!, GERAKAN KOTA HIJAU, dan MEMETAKAN "HIJAU" KOTA. Dan majalah National Geographic Indonesia yang menumpuk belum aku baca. Juga buku-buku yang menyoal perkotaan; entah itu lewat perjalanan, kenang-kenangan, atau yang lebih akademis. Kota dan lingkungan beserta kaitan dengan yang lainnya, itulah yang akan kembali aku masuki.

Yah, untung-untung, pikiranku untuk berhenti dari semua keinginan hidup bisa sedikit terobati. Dan rasa-rasanya, kecemasanku pun sama saja. Tak pernah hilang dan berhenti. Setidaknya, aku ingin lagi, melihat capung berkeliaran, berkejaran, atau hinggap di sebatang kayu, ranting, atau rerumputan.

Kota yang hanya diisi manusia itu terasa membosankan dan terlihat menyedihkan. Dan sastra buruk pun berteriak-teriak setiap harinya.

ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now