BERBAHAGIALAH MELIHAT ORANG-ORANG MATI

1.1K 49 3
                                    

Jujur aku akui,  aku senang melihat orang-orang mati.
Untuk apa berpura-pura membenci kematian dan
Mengasihiani orang-orang yang sekedar kita bicarakan?

Berapa banyak kita menolong, langsung, orang yang
Pura-pura kita kasihani selain sangat sedikit?

Dari yang sedikit itu, kebanyakan adalah orang-orang
Terdekat kita dan kita kenal.
Ah betapa mengerikannya manusia!
Betapa!

Dan kita masih berbicara tentang kemanusiaan
Setiap hari, ya setiap hari

Padahal mereka yang sangat menyukai kematian
Lebih dari siapapun! Lebih dari siapapun!
Manusia-manusia iblis yang mengaumkan bau tuhan
Dari mulut mereka yang rusak

Banjir. Gempa bumi. Gunung meletus. Teror alam. Badai. Hanyalah siklus. Kita membenci kematian di dalamnya. Tapi anehnya kita tidak membenci diri kita sendiri sebagai orang gagal dan pandir.

Kita, orang-orang yang tak mau mengakui bahwa kematian itu menyenangkan. Kita melihatnya setiap hari di televisi. Membacanya di kolom berita. Menyaksikannya langsung tepat di depan mata kita sendiri. Oh, tidak, sekian banyak kematian, bencana alam dan manusia setiap hari, toh kita masih menikmati hidup. Bersenang-senang dengan kematian orang lain dengan membaca buku, bermain futsal, memakan kenikmatan di cafe dan restoran, tertawa cekikikan di grup-grup dan ruang-ruang publik, mengumpat saat macet melanda dan senang bahagia kalau jalanan lebar dan lancar. Dan lupa bahwa kematian orang lain membantu ia hidup nyaman dan penuh suka cita nyaris setiap harinya. Oh ya, setelah banjir melanda, gempa melanda, segala bencana, toh banyak dari kita tak lansung datang ke tempat kejadian. Membantu secara langsung. Kita hanya berpura-pura menaruh simpati. Bahkan orang yang sudah mati karena bencana pun sudah tahu bahwa setelah kenyang dengan sedikit simpati diri kita, kita pun menyaksikan film-film yang kita kagumi, menikmati alun musik dan lupa terhadap dunia lainnya. Bahkan banyak dari kita pun lebih sibuk dengan pekerjaan, mengajar, meneliti, mencari uang, kesenangan diri sendiri, dan nyaris tak melakukan apa-apa.

Kadang aku ingin melihat, orang-orang yang berkata dirinya baik itu, setelah melakukan sandiwara simpati yang jauh dari empati dan tindakan. Bergegas menjadi aktivis lingkungan. Mencegah banjir demi masyarakat. Ya, mengorbankan dirinya sendiri dan itu berarti melepas banyak kenyamanan yang hari ini ia nikmati. Atau dia serius bekerja, sangat keras, lalu uang yang ia miliki, ia donasikan seperemat atau separuhnya untuk lsm, atau organisasi penanganan bencana dan pegiat lingkungan. Oh, dan itu harus seumur hidup. Harus tak ada perasaan lelah dan mengeluh.

Orang yang bersimpati, atau berempati, tidak akan sekedar prihatin melihat banyak kematian di layar kaca dan pojok berita. Lalu setelah itu masuk kuliah dengan tenang, mengajar sebagai seorang guru yang seenaknya, menggodai perempuan-perempuan dengan riang, sibuk dengan dagangan dan bisnisnya sendiri, oh, mementingkan skripsi melebihi tuhan dan kemanusiaan yang memanggil, dan nyaris tak gila dan tetap waras dan banyak keceriaan di dalamnya, mengingat, setiap harinya, di seluruh dunia, kematian adalah peristiwa sehari-hari. Dan jika semua orang terus hidup, mereka mengeluh.

Mengeluh macet. Mengeluh mati lampu. Mengeluh kekurangan air bersih. Mengeluh pekerjaan yang susah dicari. Mengeluh udara yang panas. Mengeluh bahan pokok, makanan, bensin naik. Oh, mengeluh, mengeluh, terus mengeluh. Ketika semua orang terlalu lama hidup dan terus menerus beranak-pinak, segalanya sesuatunya akan berkurang: kualitas tanah, air, pertanian, bahan bakar minyak, gas, dan listrik kita, yang entah sudah berapa juta orang yang kita bunuh karena kesenangan kita akan listrik.

Atau mungkin sebagian orang terlalu lugu. Terlalu pintar menyembunyikan maksud hidupnya. Dan selalu bertopeng di ruang-ruang publik. Atau banyak orang adalah pengecut. Dan orang-orang gagal. Dan mungkin mereka orang-orang yang benar baik. Hingga setiap hari lebih memilih membeli bensin premium yang merusak daripada berjalan kaki. Oh, pertamax juga bensin. Jadi tak ada minyak bumi yang bagus dan layak, yang berbau tuhan dan kemanusiaan. Dan anehnya, orang-orang yang baik hati ini, masih menyalakan televisi. Membeli terus gadget dan jenisnya yang menebangi hutan, mencemari sungai, bahan-bahannya terbuat dari konflik di ujung afrika yang berdarah, atau papua yang tertindas habis-habisan. Ke mal, ya ke mal dengan perasaan puas dan berbinar. Secara tak langsung membantu berdirinya mal. Menghabiskan cadangan akuifer bawah tanah. Menurunkan tanah dan menaikkan permukaan laut. Menebangi pohon-pohon. Sejak kapan mal bertengger di atas kayu-kayu yang masih hidup layaknya tarzan dan peterpan? Oh, orang yang masuk ke mal, mengaguminya, memasuki bioskopnya, membeli buku, baju, aksesoris, atau sekedar bersenang-senang di dalamnya, tidakkah ia juga menciptakan banjir? Kesemrawutan? Dan juga kematian-kematian? Banyak mal, perumahan, jalan raya, dan segala yang orang kota nikmati, banyak darinya berasal dari penggusuran manusia, pohon-pohon, dan hewan-hewan yang jumlahnya. Ah, mengagumkan.

Oh, ya kita berbaju. Dari mana baju itu? Dan kemanakah arah limbah baju itu? Oh, kita tiap hari memakan sampah. Oh, lalu di mana kita membuangnya? Apakah kita bertanggung jawab terhadap sampah yang kita buang dan tadinya miliki? Dan ya, ada banyak koruptor dan orang jahat di atas sana! Ah, tidakkah banyak kita lebih sibuk di cafe, kuliah, berpacaran dan membangun rumah tangga? Dan rasa-rasanya banyak kita tak berkepentingan mengurusi orang-orang yang dianggap jahat itu. Oh, tidakkah mendiamkan juga termasuk kejahatan? Dan, para koruptor itu memakan uang jalan, uang,mengurusi sampah, uang pelestarian hutan dan satwa, uang untuk, ya, yang sering kita bilang rakyat. Oh tidak, orang-orang baik ini, masih tak melakukan apa-apa. Hidupnya masih terlalu banyak untuk dirinya sendiri. Dan katanya dia mencintai orang-orang, kemanusiaan, dan ah, baik hati.

Sayangnya aku orang jahat. Dan sangat jahat. Hidup selalu di atas penderitaan orang lain.

Dan, oh ya, ada orang-orang baik yang berceloteh riang dan tak sadar diri. Dan aku ingin melihat seberapa baikkah mereka. Seberapa cintakah mereka terhadap manusia. Besok, mungkin, aku akan melihat mereka mengadvokasi orang tertindas yang entah siapa, membantu menyadarkan pemerintah, menanami pohon-pohon kembali, menjadi pembela lingkungan. Dan oh ya, jangan menggunakan listrik, gadget, bensin, motor, mobil, atau segala yang berbau produksi industri kecuali buatan sendiri yang sangat aman dan tak berpotensi menyebabkan banjir.

Karena aku orang jahat dan ingin melihat orang baik bekerja, siapa di antara kalian yang akan aku catat sebagai orang baik hingga sampai aku mati? Dan tolong, serius menjadi orang baik. Dan jangan mengeluh. Mengeluh sedikit saja dan keluar dari garis kebaikan itu. Akan aku coret setiap nama yang awalnya berani menggerakan bibir dan mulutnya: "aku mencintai kemanusiaan". Dan semacamnya.

Ah, ternyata aku menulis terlalu pendek. Tak apalah.



ESAI-ESAI KESEHARIANWhere stories live. Discover now