SE 30 || Opa?

10.9K 982 11
                                    

"Nyonya" panggil bi Idah kepada Alliqa yang sedang menatap layar laptopnya di ruang santai lantai dua rumahnya.

"Ya? Ada apa, bi?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya yang terus menatap layar laptopnya yang menampilkan foto kecil Ara.

"Di bawah ada tuan Fatir, nya." jawab bi Idah.

"Papa?" tanyanya memastikan. Bi Idah hanya mengangguk lalu pamit kembali.

Wanita itu tersenyum mendengar papanya datang ke rumahnya. Setelah kejadian 11 tahun lalu, kedua orang tuanya enggan mengunjungi rumahnya. Ia tahu jika mereka juga sama kecewanya dengan keputusan yang ia ambil. Tapi kali ini, setelah sekian lama, akhirnya papanya datang mengunjunginya.

Dengan cepat wanita itu turun menghampiri papanya. Ia mempersiapkan senyum lebarnya untuk menyapa papanya.

"Papa?" panggilnya sendu penuh kerinduan kepada papanya yang sedang duduk menyeruput kopi yang di siapkan untuknya.

Papanya mentapnya datar sebentar lalu kembali menyeruput kopinya yang sempat tertunda karena panggilan Alliqa.

Mata Alliqa berkaca-kaca melihat respon papanya yang begitu dingin padanya. Wanita itu memalingkan wajahnya untuk menghapus air matanya.

Alliqa duduk di sofa yang bersebrangan dengan Fatir. Wanita itu menatap setiap pergerakan papanya.

Ia tersenyum sendu lalu menundukkan kepalanya. Dadanya sesak, mengingat kedua orang tuanya bersikap dingin kepadanya gara-gara keputusannya 11 tahun lalu yang menyebabkan cucu pertamanya hilang entah kemana.

"Maafin Liqa, pah." ucapnya dengan suara parau dan kepala menunduk.

Fatir masih mempertahankan wajah dinginnya menatap putri sulungnya yang menunduk. Ia tahu putrinya itu menangis. Tapi kekecewaannya begitu besar hingga egonya berpihak untuk memberikan pelajaran kepada putrinya yang gegabah dalam memilih keputusan.

"Saya datang bukan untuk mendengar permintaan maafmu! Saya mencari Alifka." ucapnya dengan nada dingin dan formal.

Air mata Alliqa luruh mendengar ucapan papanya yang sangat formal, padahal berbicara padanya yang jelas-jelas adalah putrinya sendiri.

Alliqa menghapus air matanya lalu menatap papanya dengan senyum manis, walau lagi-lagi air matanya meluruh tanpa izin.

"Alif lagi liburan bareng Elsa, pa."

"Dimana?"

"Liqa juga gak tahu, Elsa sama Alif gak ngasih tau Liqa." Fatir mengangguk-anggukkan kepalanya lalu bangkit merapikan kemeja dan juga jas yang di kenakannya.

"Papa sudah mau pergi?" tanya Alliqa lirih. Fatir hanya berdehem lalu melangkahkan kakinya.

Tapi baru beberapa langkah di belakang Alliqa, langkahnya terhenti karena ucapan Alliqa.

"Apa sebegitu bencinya papa sama Liqa sampai nada berbicara papa begitu formal?" tanya Alliqa lirih menatap punggung papanya yang masih terlihat kokoh walaupun sudah tidak muda lagi.

"Aku ini anak papa, bukan rekan bisnis papa. Apa papa pikir hanya papa yang terluka dengan perginya Ara?" Fatir masih diam di tempatnya berdiri, sedangkan Alliqa sudah bercucuran air mata.

"Nggak, pa! Aku yang paling terluka disini! Aku yang mengandungnya dan berjuang melahirkannya! A-"

"Tapi kau sendiri yang membuat putrimu pergi!! Apa sekarang kalian sudah menemukannya? Bahkan tanda-tanda keberadaannya saja kalian tidak tahu!!" potong Fatir dengan tatapan tajam ke arah Alliqa.

Alliqa memalingkan wajahnya ditatap seperti itu oleh papanya sendiri. Kemana papanya yang dulu menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang? Rasanya begitu sakit melihat orang yang dulu memandang dengan tatapan teduhnya kini menatapnya tajam.

"Iya! Aku tahu keputusanku salah! Dan karena itu putriku sendiri pergi! Tapi apa pernah papa mendengar alasanku mengambil keputusan itu?! Tidak, kan?!" ucapnya menahan emosinya agar tak meluap kepada papanya sendiri.

Fatir terdiam di tempatnya menatap Alliqa. "Dari dulu Liqa mau menjelaskannya sama papa dan juga mama, tapi kalian tidak pernah memberikan kesempatan! Kalian merasa hanya kalian yang sedih karena kehilangan cucu kalian! Nyatanya aku yang paling terluka, pa! Aku!" ucap Alliqa sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Kalian tidak tahu, bagaimana hidup aku selama 11 tahun ini hanya dihantui rasa bersalah! Aku yang paling bersalah! Karena aku, putriku sendiri pergi! Dari dulu memang hanya aku yang salah!" ucapnya dengan tangisan pilu. Tatapan tajam Fatir perlahan mereda melihat tangis putri sulungnya begitu memilukan.

"Keputusan yang aku ambil untuk menyelamatkan anak-anakku memang salah! Karenanya putriku pergi!!" pekiknya dengan tangisan yang semakin kencang. Fatir dibuat membeku di tempatnya dengan ucapan putrinya.

"Aku salah mengambil langkah memasuki industri hiburan! Seharusnya dari awal aku tidak masuk dalam dunia itu! Karena pekerjaanku sendiri, rumah tanggaku di ujung tanduk!"

"Apa maksudmu?" kening Fatir berkerut tak mengerti dengan ucapan Alliqa.

Alliqa terkekeh miris mengingat kejadian itu. "Pekerjaanku—

Mohon maaf mengganggu aktivitas membaca kamu🙏🏻

Sebagian cerita ini telah di hapus demi kepentingan penerbitan🙏🏻

Kalau kalian pengen cerita lengkapnya, silahkan tunggu pre-order bukunya.

Info lebih lanjut mengenai kapan PO-nya berlangsung, silahkan pantau cerita ini terus atau ig aku @nurarifani_ dan ig penerbitnya @nezhapublisher

Sampai bertemu dengan Ara / Aquinsha Arala Wilbert versi cetak👋🏻

Side Effect [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt