Part 31

1.1K 148 14
                                    

Langit-langit kamarnya adalah pilihan yang tepat untuk menghindari sepasang mata yang tidak berhenti mencari-cari nya. (Namakamu) memilih untuk menatap langit-langit kamarnya daripada menatap mata Iqbaal hanya karena tiba-tiba saja ia tidak bisa mengendalikan detak jantungnya. (Namakamu) merasa gila sekaligus frustasi karena debaran di balik rongga dadanya yang terasa seperti tabuhan drum dan sekali lagi (namakamu) tidak bisa mengendalikannya.

Aneh, ini kali kedua ia merasa begitu gugup berhadapan dengan Iqbaal. Kali pertama saat ia menikah dengan laki-laki itu? Bukan. Itu adalah saat makan siang pertama mereka di salah satu restoran yang di pilih Iqbaal dan tidak sengaja seorang gadis kecil muncul di tengah-tengah acara makan siang itu.

(Namakamu) masih ingat hari itu adalah saat yang paling menegangkan dalam hidupnya. Saat yang tidak terlupakan karena kejadiannya terasa aneh dan ganjil. Bukan kah ia sudah sering berhadapan dengan Iqbaal? Bukankah ia sudah sering pergi berdua saja dengan laki-laki itu? Namun hari itu tanpa bisa mencegah, jantungnya bekerja layaknya seekor kuda di arena pacuan, seperti kereta yang bekerja di luar kendali, seperti gasing yang berputar tak tentu arah.

Dan sekarang (namakamu) harus kembali merasakannya. Untuk alasan yang lagi-lagi tak terselami, (namakamu) kembali kehilangan kendali atas detak jantung miliknya sendiri. Kala objek yang membuat badai di balik dadanya itu mendekat, menduduki tepi ranjang yang sama dengan dirinya, kala tangan laki-laki itu terulur meraih kalung liontin yang ada di genggaman tangannya, kala kulit mereka bersentuhan dan memicu reseptor geli lewat ujung jarinya, (namakamu) reflek menggeser tubuhnya menjauh.

Iqbaal menoleh dengan raut bingung yang menghiasi wajahnya. Laki-laki itu memainkan ujung kalung liontin di tangannya namun dengan tatapan yang tidak beralih dari (namakamu). Laki-laki itu terus menatapnya dan semakin dalam tatapan laki-laki itu semakin jantung (namakamu) ingin meledak.

Udara tiba-tiba terasa begitu tipis, (namakamu) bahkan hampir tidak lagi merasakan elemen itu di sekitarnya. Ia merasa sesak, bukan karena sesuatu yang menyedihkan melainkan sebuah dorongan dari rasa yang baru tercipta di dadanya, yang meletup-letup dalam jumlah yang tak terbatas.

"Kenapa nggak pulang?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir laki-laki itu langsung membuat kedua lutut (namakamu) lemas.

Kenapa ia tidak pulang? Haruskah (namakamu) menjawabnya dengan jujur? Bahwa setelah perceraian mereka, perempuan itu merasa bersalah, kebenciannya pada Iqbaal telah lenyap, lalu dia bingung harus bersikap bagaimana didepan laki-laki itu sehingga ia memutuskan untuk membuat repot keluarga temannya.

"Lo bilang setelah..." Iqbaal melirik ke arah pintu yang setengah terbuka, memastikan tidak ada orang yang bersembunyi di balik sana dan mencuri dengar pembicaraannya dengan (namakamu). Tak di sangka saat mengatakan nya, lidah Iqbaal justru terasa keluh, kata itu bukan kata yang ingin dia ucapkan saat ini.

"Kita harusnya bersikap seperti biasa kan?"

(Namakamu) meneguk ludah. Tangannya meremas bed cover nya dengan kencang. Bibir bawahnya tergigit kencang.

"Lo bener-bener nggak suka ya sama gue?" Sejak tadi Iqbaal memperhatikan (namakamu), saat perempuan itu menggeser duduknya menjauh darinya dan terus bergerak-gerak gelisah di sampingnya seolah perempuan itu tidak nyaman dengannya, Iqbaal jadi bertanya-tanya apakah perempuan itu masih membencinya? Apakah dia tidak ingin Iqbaal mendekatinya? Apakah dia merasa jijik padanya?

Baru kali ini (namakamu) menoleh namun kepala Iqbaal sudah terkulai ke bawah. Satu helaan napas berat meluncur dari bibir laki-laki itu. Wajahnya terlihat begitu keruh, seolah masalah yang di hadapinya amat begitu rumit. "Kita bicarain aja ini sama orang tua kita, nggak perlu ada yang di tutupi lagi, gue nggak mau lo semakin membenci gue, besok biar gue yang ngomong ke nyokap lo,"

After Marriage Where stories live. Discover now