Bab 18

1K 151 11
                                    

"Ma... Udah.." rasanya (namakamu) mulai kehabisan akal membujuk ibunya yang sejak tadi tidak berhenti menangis. Sejujurnya (namakamu) tidak begitu peduli karena dia tau jika air mata yang di keluarkan ibunya hanyalah air mata palsu dan sebagian dari aktingnya yang seharusnya sudah di anugerahi hadiah piala Oscar itu.

(Namakamu) merasa tidak enak pada Rike. Raut wajah terpukul yang tergambar jelas di wajah wanita itu jelas bukan akting apalagi kepura-puraan. Rike jelas benar-benar shock dan ibunya semakin memperburuk keadaan.

"Ma.. ini nggak seperti yang mama bayangkan, aku sama Iqbaal nggak pisah ranjang," (namakamu) menelan ludahnya paksa dan melirik Iqbaal lewat sudut mata.

Laki-laki itu bergeming dan hanya terpaku menatap ke wajah ibunya, Rike.

"Terus kenapa barang-barang kamu ada di kamar tamu??!" Sentak Ariana di sela tangisnya yang masih berderai.

"Mama bener-bener nggak ngerti apa yang kamu pikirin. Sekarang jawab mama, sejak kapan kamu pisah ranjang sama Iqbaal?"

Pertanyaan itu membuat kedua bahu (namakamu) kian melunglai. Wajahnya semakin memelas. "Ma.. udah aku bilang aku nggak pisah ranjang sama Iqbaal, aku cuma.." (namakamu) menggantung kalimatnya. Berfikir keras.

"Apa?! Kamu apa?!"

"Itu barang-barang aku yang kemarin!" (Namakamu) nyaris berseru begitu menemukan jawaban yang dia rasa amat begitu pas. Secercah harapan kembali bersinar di matanya. "Kemarin yang waktu aku main ke rumah mama, aku bawa beberapa barang-barang aku kan? Karena di kamar udah penuh sama barang-barang yang nggak sempat di tata, aku taruh koper aku di kamar tamu,"

Mama Ari menaikkan alis curiga. Bunda Rike menatapnya dengan sorot memastikan.

"Aku nggak bohong ma, lagian buat apa sih aku pisah ranjang sama Iqbaal, Iqbaal kan suami aku... Iya kan baal?" (Namakamu) menggeser duduknya semakin berdekatan dengan Iqbaal lantas memeluk lengan laki-laki itu dan menyandarkan pipinya.

Tetapi raut wajah kedua wanita di depannya masih saja tampak di liputi keraguan sehingga (namakamu) harus meneguk ludah, menguatkan batinnya sendiri kemudian tersenyum amat sangat manis. "Aku nggak mungkin kan biarin suami aku tidur sendirian tiap malem?" Jari-jari (namakamu) menyusup ke sela-sela jari Iqbaal. (Namakamu) menggenggamnya dan meremasnya lembut.

Remasan yang kemudian berubah sedikit kencang saat Iqbaal tak kunjung bereaksi atau sekedar ikut berpartisipasi dalam usaha meyakinkan ibu dan ibu mertua itu.

Iqbaal menoleh dengan raut wajah bingung. (Namakamu) memelototinya samar, bibirnya berkomat-kamit memberi instruksi. Sesekali (namakamu) akan mengerucutkan bibir, seperti membuat gestur ingin mencium.

Iqbaal terkekeh geli tanpa sadar. Apa perempuan ini ingin Iqbaal menciumnya? Baiklah. Iqbaal akan mengabulkan permintaannya.

Iqbaal mengulurkan tangan menarik tengkuk (namakamu). Laki-laki itu menempelkan bibirnya di atas kening (namakamu) agak lama.

Seketika wajah-wajah yang sejak tadi di liputi keraguan itu luntur dan sirna. Kedua wanita yang menjadi ibu mereka itu kini sama-sama mengukir senyuman lebar.

"(Namakamu), sudah menjadi istri yang baik. Dia menjalankan setiap tugasnya termasuk... ehm, melayani aku setiap malam."

Kepala (namakamu) nyaris meledak mendengar kalimat Iqbaal. Namun perempuan itu tetap memamerkan senyum lebarnya dan bahkan tertawa di hadapan ibu mereka.

*

(Namakamu) menghempaskan tubuhnya dengan kencang ke atas tempat tidur. Tangannya menggapai boneka beruang coklatnya yang tergeletak di dekat bantal dan mendekapnya sembari memperhatikan mamanya memenuhi lemari pakaian (namakamu) dengan barang-barang perempuan itu yang belum sempat di tata.

After Marriage Where stories live. Discover now