Epilog

738 36 29
                                    

Pagi tak pernah terasa seistimewa ini, pun dengan mentari, sinarnya tak pernah seberseri ini.

Meski derasnya hujan semalam menyisakan dedaunan basah serta genangan air di sana-sini, tapi tampaknya hari ini langit akan secerah musim semi.

Setidaknya itu satu-satunya hal yang bisa disimpulkan gadis bergaun putih selutut yang tengah berjongkok di halaman samping sembari menghirup dalam-dalam aroma di sekelilingnya.

Cahaya memejamkan mata, tersenyum begitu indra penciumannya dirasuki bebauan dari tanah lembap, juga wangi bunga-bunga cantik Selena yang tengah mekar sempurna.

Mereka yang berwarna-warni itu seolah tahu, hari ini adalah hari bahagia--meski secuil getir masih keluarga itu rasakan diam-diam.

Jujur, Cahaya sendiri juga sering merasa hampa sejak kejadian tujuh bulan silam di mana separuh semangatnya terenggut paksa bersama kepergian seseorang.

Sejak surat itu ia terima, Hazel sempurna menghilang dari dunianya. Tidak bisa dihubungi, tapi Jessica meyakinkan, sahabatnya itu pasti baik-baik saja.

Demi mengenangnya, Cahaya membuang napas. Gadis itu merindukannya. Sungguh.

Kabar terakhir yang Cahaya dapat, 'dia' sudah kembali, membuatnya berharap kalau-kalau lelaki itu akan datang dan menepati janji.

Namun, mengapa sampai sebulan berlalu, ia tak kunjung menampakkan diri?

"Lagi mikirin apa, sih?"

Cahaya yang mendengarnya spontan terperanjat, nyaris jatuh terduduk dan mengotori gaunnya kalau saja cowok yang menyapa tidak segera menahan dengan kedua tangan.

"Ih, Dewa!" ketusnya yang segera berdiri, takut mantan kekasihnya itu iseng melepas pegangan. "Ngagetin, tau!"

Mendengarnya, Dewa terkekeh. "Sok lo. Mentang-mentang baju baru, dari London, jadi emosian."

"Iiiihh! Apaan, siiih!!" sergah Cahaya tidak terima, kesal dan melampiaskannya dengan pukulan bertubi-tubi--yang Dewa suka.

Jadi, alih-alih merasa kesakitan, ia malah tertawa geli.

Dewa bersyukur, walau status mereka masih abu-abu, setidaknya apa yang ia jalani bersama Cahaya saat ini tidak berubah dari kebiasaan mereka dahulu.

Ia betul-betul menikmati momen yang tercipta setiap kebersamaan itu ada. Dewa tidak akan menyia-nyiakannya lagi, itu janjinya. Bukan pada Cahaya, tapi pada dirinya. Pada hatinya.

"Nyebelin! Kamu nggak bosen, ya, usilin aku dari kemaren!" protes anak itu, tetap melancarkan serangan-serangan fisik terhadap Dewa.

"Stop! Stop! Cahaya, stop!" titah laki-laki itu, mulai berusaha menghindar. Ternyata lama-lama sakit juga. "Sto--akh!"

Dewa mengerang.

Tiba-tiba saja ia menepi, berpegangan pada dinding. Beberapa detik setelahnya, ia pun berjongkok, mengernyit sembari memegang dada kirinya, bekas terpukul Cahaya.

"De--Dewa ...?" kata gadis itu, mengikuti pergerakan cowok di dekatnya. "Kenapa ...?"

Dewa tidak menjawab. Ia menunduk lemas, membiarkan Cahaya tanpa mendapat satu pun jawaban selain gelagatnya yang mengkhawatirkan.

"Sa--sakit, ya ...?" Cahaya bertanya, panik mulai menjalarinya, takut Dewa celaka, padahal niatnya hanya bercanda.

Netranya yang semula berbinar ceria, kini padam dalam sekejap, bahkan Cahaya bisa merasakan pandangannya memburam menyaksikan akibat dari perbuatannya tadi.

Cahaya [COMPLETED]Where stories live. Discover now