Cahaya ke-60

427 32 71
                                    

Pagi hari, tepat pukul tujuh di mana matahari mendadak berseri setelah sejam lalu hujan mengguyur seisi kota.

Hawa dingin yang tadinya menyergap, kini mulai tergantikan dengan kehangatan dari pancaran sinar yang menerpa jendela besar kamar bernomor genap itu, 74.

Tirainya yang disingkap memberi kesempatan pada warna kuning keemasan sang surya untuk menerabas kacanya yang bening, membuat separuh ruangan serempak berbayang.

Syahdunya suasana kamar ditambah pemandangan asrinya rerumputan yang masih basah di luar sana memancing gadis yang sedang berbaring rileks di ranjang jadi tergerak untuk beranjak duduk, perlahan.

Netra cokelatnya ia arahkan pada kaca jendela yang embunnya berangsur memudar. Sekilas bibirnya tampak tertarik ke atas.

Cahaya terpaku pada halaman belakang rumah sakit yang luas itu, lekat.

Tampak di kejauhan beberapa pasien sedang berjalan-jalan didampingi suster atau anggota keluarga, pasti sedang mencari udara segar.

Namun bukan itu yang menjadi fokusnya, melainkan sebuah pohon yang tertanam di ujung sana.

Pohon mangga dengan batang besar kokoh berpayungkan dedaunan lebat dengan satu-dua anak tengah menunjuk ke dahannya sukses membawa Cahaya pada memori di mana keakraban itu masih terasa kental.

Sayangnya kini semuanya berubah, suka menjadi duka.

Mengembuskan napas sekali, Cahaya lantas beringsut menepi, berusaha meraih gagang nakas di samping ranjangnya, membuka salah satu laci berisikan benda dari seseorang yang menjadi alasannya merasakan kehilangan.

Mengembuskan napas sekali, Cahaya lantas beringsut menepi, berusaha meraih gagang nakas di samping ranjangnya, membuka salah satu laci berisikan benda dari seseorang yang menjadi alasannya merasakan kehilangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cahaya tersenyum, balik merebahkan tubuh yang belakangan ini terasa semakin manja, sedikit-sedikit letih.

Dielusnya pipi boneka penguin yang sempat Selena buang karena kesal, tapi Cahaya pungut lagi setelah mendengar ucapan Cantika kemarin.

Alhasil, bundanya itu kian tidak paham jalan pikiran Cahaya.

Sehebat apa manusia yang sanggup membuat putri bungsunya tidak bisa mengabaikan segala perasaan yang selalu orang-orang agungkan---cinta?

Namun memang, melupakan tidaklah semudah itu. Butuh waktu lama, dan sepertinya Cahaya sendiri masih enggan meninggalkan semua memori yang pernah tercipta bersama Dewa.

Dalam hati gadis itu berdoa, berharap ada keajaiban yang dapat memutar ulang waktu, mengembalikan keadaan seperti semula di mana segala ikatan masih baik-baik saja.

Tidak jauh-jauh, cukup sebatas toko kue Selena, bersama Dewa yang duduk menatapnya cemas.

Ah, andai saja masa bisa ia atur sesuka hati, Cahaya pasti langsung pergi ke sana, membuka seluruh tabir kebohongannya, dan ia yakin, Dewa tak akan pernah sekecewa sekarang.

Maaf ..., batinnya dengan mata terpejam sembari memeluk boneka penguin itu erat-erat.

Cklek!

Cahaya [COMPLETED]Where stories live. Discover now