Cahaya ke-66

474 31 19
                                    

"Mereka keluarga Hazel, Ma. Ayah, bunda, juga Aya. Hazel nggak mau kehilangan salah satu di antaranya ...."

Lagi, lagi, dan lagi.

Entah sudah berapa ratus kali rangkaian kalimat yang menjadi misteri itu terus terngiang di telinganya, menciptakan tanda tanya besar yang terus mendesak ketidaksabaran Jessica atas penjelasan Hazel.

Ya, kala itu sahabatnya belum mau berbagi titik terang meski sudah jelas-jelas ia tepergok mengatakan rahasia yang ... ah, sudahlah, terlalu pelik untuk dijabarkan.

Namun yang jelas Jessica tidak pernah menduganya, tidak pernah terbayang akan mendengar secara langsung untaian kata bernada gundah dari bibir sahabatnya tentang Cahaya.

Tentang pernyataan yang menegaskan kalau Diego dan Selena adalah keluarganya.

Bukankah Edgar dan Rania adalah papa dan mamanya? Lalu, apa maksud perkataan Hazel waktu itu?

Memikirkannya membuat Jessica terpaku cukup lama pada langit biru di atas sana.

Ia refleks mengetuk-ngetukkan kaki di tanah berumput sembari terus memutar otak selama menunggu kedatangan seseorang yang menemuinya memang untuk membahas hal itu.

"Jess?"

"Eh?" ucapnya yang sedikit terlonjak dari posisi nyamannya. "Zel?"

"Udah dari tadi?" Anak itu bertanya seraya mengambil tempat di sebelah Jessica.

Ia menggeleng pelan, diam sejenak, menyelisik air muka Hazel dari samping.

Cowok itu tampak tenang, menatap lurus ke depan, sesekali mengembuskan napas panjang yang sarat akan rasa lelah. Dan Jessica mengerti itu.

"Aku harus mulai dari mana?"

Hazel menoleh sendu, bertanya pada orang yang balas melempar tanda tanya besarnya keluar.

"Siapa kamu sebenernya?"

Cowok itu memandang Jessica lekat-lekat.

Ditelannya ludah yang serasa berubah menjadi gumpalan batu, susah sekali masuk akibat mendengar pertanyaan singkat yang menjurus telak pada masalah keluarganya.

"Samudra ...," lirih cowok itu kemudian. "Samudra Alfa Aldebaran."

Refleks Jessica membulatkan matanya.

Aldebaran. Marga yang sama dengan milik Cahaya.

"Ja---jadi ... kamu ...," ucap Jessica bergetar.

"Iya, aku Samudra. Samudra yang mereka kira meninggal delapan belas tahun lalu," akunya.

"Dan aku ... aku bukan Hazelo Denatta. Hazel yang seharusnya kamu kenal ... udah nggak ada."

Demi Tuhan, Jessica ternganga dibuatnya. Segera ia menutup mulut, berusaha meredam keterkejutan atas hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Namun sia-sia, dengan mudah indra penglihatannya berkhianat begitu saja.

Pandangannya yang berangsur mengabur---disusul dengan gemetar bibir di balik punggung tangannya---tak lagi bisa Jessica sembunyikan dari sosok sahabat kecilnya.

Cahaya [COMPLETED]Where stories live. Discover now