Cahaya ke-47

492 45 75
                                    

Bebas. Bebas. Bebas.

Satu kata yang sejak dua hari terakhir mengisi pikirannya setelah mimpi buruk selama tujuh hari tujuh malam sembari bersemadi untuk mencari wangsit tentang bagaimana cara cepat agar otaknya mampu menghafal ribuan kata dalam waktu seminggu saja.

Walau ia harus mengorbankan jam tidurnya sehingga kantung mata tak dapat ia tolak---singgah di sana sampai tubuhnya mendapat istirahat yang cukup, tapi Cahaya bersyukur.

Usaha kerasnya membuahkan hasil meski nyaris membuat gadis itu menangis di depan Miss Ambar karena otaknya mendadak mati ketika tes sudah separuh jalan---efek gugup.

Cahaya lega, Miss Ambar pun bangga kemampuan berbahasa anak didiknya terpompa lebih jauh lagi.

Meski begitu, sampai lulus Cahaya tidak mau menerima hukuman semacam itu lagi. Menyiksa, tahu.

Ia sampai benar-benar memasang papan kecil sebagai pengingat buku tugas Miss Ambar di depan pintu kamarnya. Hahaha.

Kini Cahaya bisa tertawa lepas, puas dengan dirinya sendiri. Ditambah selembar kertas yang baru saja ia terima, hatinya pun kian berbunga-bunga.

"Dewa, liat!" Cahaya terang-terangan memampangkan kertas bertuliskan 84 itu di hadapan pacarnya.

Demi melihat berapa hasil ulangan kimia kapan hari yang baru dibagikan, cowok itu meraih kertas Cahaya, lalu tersenyum menatapnya---setengah bangga pada Cahaya, setengah lagi bangga pada dirinya sendiri. Hahaha.

"Mau hadiah apa?"

Cahaya yang duduk merapat sambil ikut memandang kertas bergaris itu mendongak. "Kok aku? Kamu yang berhasil bikin nilai aku sebagus itu, harusnya kamu yang aku kasih hadiah."

"Mau hadiah apa?" ulangnya lebih tegas, membuat Cahaya menghela napasnya sendiri. Ia pun berpikir.

"Nggak lagi pengen apa-apa."

Dewa menyapu wajah Cahaya dengan binar mata seperti tengah menyelidik, kemudian bibirnya mengukir sebuah senyum miring.

"Jalan-jalan, gimana?"

Jalan-jalan? batin Cahaya dengan mata kian membulat. Tertarik sangat.

"Mau! Mau!" Mungkin saking tertekannya, Cahaya sampai lupa kalau ia pernah mengidam-idamkan hal itu.

Dan karena sekarang Dewa telah mengingatkannya, maka antusiasnya pun mulai terpancing keluar. "Nanti malem, ya!"

Dewa menggeleng. "Besok."

"Loh ...," lirih Cahaya memelas.

"Besok malem aja, lo pasti masih capek."

Ia menerawang wajah Cahaya, senti demi senti. Dewa yakin, Cahaya masih haus tidur---meski nyatanya hadiah jalan-jalan mampu membangkitkan energinya mencapai tingkat seratus persen.

"Aku nggak capek, kok. Aku baik-baik aja. Liat, nih." Cahaya mulai berdiri, memutar tubuhnya sekali, lalu kembali duduk---mulai bergelayut di lengan Dewa, manja.

"Nggak papa, kan? Ayooo ..., kamu tau sendiri, udah lama aku pengen itu. Lagian besok, kan, libur. Aku bisa istirahat sepuasnya, sampe hari Minggu malah."

Dewa membuang napas. "Tapi---"

"Nggak ada tapi-tapian. Nanti malem. Mau, yaaa ...," pintanya. "Kalo nggak mau, nanti aku jalan sama Hazel aja. Selingkuh."

Cahaya mulai mengancam asal, di mana itu sangat-sangat tidak menyenangkan bagi Dewa---sekalipun mereka hanya berstatus adik-kakak belaka.

Tapi siapa juga yang bisa memastikan jika di kemudian hari tak terjadi aksi tikung-menikung?

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang