Cahaya ke-61

400 32 22
                                    

Tok! Tok! Tok!

"Zel ...."

Terdengar suara yang menyuruhnya masuk, jadilah Rania memberanikan diri memutar kenop pintu, menghampiri putranya yang sedang sibuk menata meja belajar.

Beberapa buku ia ambil, lalu ditumpuk sesuai besarnya, berjajar rapi sama seperti sebelum Hazel memberantakkannya demi keperluan ujian.

Selesai membersihkan bagian itu, ia pun berlanjut pada sebuah benda di atas kasurnya---tas hitam---yang kemudian ia isi dengan laptop.

Hari ini Hazel memang ingin membawa benda satu itu ke rumah sakit. Malam minggu, ia menjanjikan Cahaya menonton Doraemon selepas makan.

Kangen, aku gadis itu kapan hari.

"Sayang, kamu yakin mau tetep pergi?"

"Harus berapa kali Hazel jawab pertanyaan Mama?" Cowok itu dengan santai menyampirkan tasnya di pundak, menatap Rania yang air mukanya tampak kurang nyaman.

"Zel ..., kamu tau papa orangnya gimana. Sejak hari itu dia mulai curiga," peringat Rania.

"Dan lagi kamu nggak bisa terus-terusan alesan belajar kelompok. Lama-lama papa pasti nggak akan percaya."

Demi mendengar nasihat mamanya, Hazel mengembuskan napas.

"Ma, nggak usah khawatir. Hazel bisa urus semuanya."

"Ck. Gimana Mama nggak khawatir? Kalau sampai kamu ketauan pergi ke rumah sakit lagi, semua fasilitas kamu bakal dicabut. Kamu bakal kesusahan nantinya.

"Dan kalau papa sampai tau kamu jadi pendonor buat Aya, Mama bener-bener nggak bisa bayangin kedepannya gima---"

"Ssstt ..., yang tenang, dong, Ma. Semuanya pasti baik-baik aja," desis Hazel, mengusap lengan Rania. "Papa mungkin bisa ambil fasilitas aku, tapi papa nggak bisa ambil kebebasan aku.

"Udah, ya. Hazel berangkat dulu."

Diciumnya tangan Rania sebelum keluar kamar, sedikit terkejut mendapati Edgar berdiri tepat di samping pintu kamarnya, melipat tangan di depan dada dengan tatapan yang begitu dingin.

Rania bahkan nyaris memekik saking kagetnya. Untung berhasil ia redam.

"Kamu mau ke mana?" Edgar langsung mengajukan tanya, menyelisik setiap raut yang Hazel tunjukkan.

"Besok Journalizer ada jadwal liputan, Pa. Hazel harus kasih breafing," jelas anak itu sembari mencium tangan Edgar, mencoba bersikap biasa saja.

"Hazel berangkat dulu, Pa, Ma," pamitnya sebelum berlalu, tidak menyangka bahwa sesaat kemudian Edgar mulai tergelak sumbing.

"Kamu jangan coba-coba bohongin Papa, Zel. Kamu pergi pasti mau temuin anak itu lagi, kan?"

Refleks Hazel berhenti. Hampir saja ia bersorak senang andai kata Edgar memang benar-benar tidak mendengar percakapannya dengan Rania tadi.

Namun nahas, takdir tidak memihaknya kali ini. Sial, Edgar pasti sudah tahu semuanya.

Entah ini salahnya atau salah Rania yang tidak bisa menahan ucapan, tapi yang jelas, berbohong akan sangat sia-sia sekarang.

"Hazel, kan, udah bilang dari awal, selama Papa nggak punya alesan yang kuat buat jauhin Hazel sama Aya, Hazel bakal tetep temuin dia."

"Papa punya alasan, tapi kamu nggak pernah nurutin apa kata Papa." Edgar menyalahkan Hazel, di mana itu berhasil memancing putranya untuk lanjut menanggapi.

"Tapi alasan Papa sama sekali nggak masuk akal. Aya anak baik, Hazel tau itu."

Pria itu menggeleng. "Kamu nggak tau, Zel. Dan kamu nggak akan paham gimana perasaan Papa setiap kamu terus dekat-dekat anak itu dan keluarganya!"

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang