Cahaya ke-38

643 62 62
                                    

"Bener, kamu nggak mau sarapan dulu?"

Dewa menggeleng yakin.

Ia mau langsung berangkat ke sekolah saja.

Bukannya masih marah atau tidak suka masakan buatan Shareen, tapi entah kenapa ia jadi ingin pergi lebih cepat dibanding biasanya.

"Dewa pamit, Ma." Anak itu mencium tangan Shareen, disusul elusan lembut di kepalanya.

"Hati-hati, ya."

"Iya, Ma."

Setelah mengindahkan nasihat Shareen, Dewa langsung menuju Black dan segera menancap gas.

Masih jam enam kurang, kemungkinan lima menit lagi ia sudah sampai di sekolahnya, mengingat kondisi jalanan jam segitu masih sepi.

Dan yang bisa ia lakukan sepagi itu di sekolah ... ya tidur. Entah di rooftop atau di kelas, ia masih belum tahu.

Yang ia tahu saat ini adalah sesuatu tengah membuntutinya di belakang.

Sekilas, Dewa menoleh cepat. Namun tak ditemukannya apa-apa. Ia mendengus.

Apa mungkin hanya perasaannya saja?

Selangkah demi selangkah ia tapaki hingga sampai di lantai tiga, lantai para penghuni jurusan IPA. Sepertinya ia beristirahat di kelas saja.

Namun sebelum itu, Dewa mendadak menghentikan langkah.

Perasaannya kian risau. Hati kecilnya bilang, ada sesuatu yang terus mengikutinya sampai sana. Tapi entah apa itu, ia tidak tahu.

Dengan sikap waspada, ia kembali berjalan perlahan.

Sempat dikejutkan dengan kelebatan orang di belakangnya yang tidak sengaja terpantul kaca mading membuat Dewa semakin yakin, seseorang itu yang sedari tadi mengikutinya.

Maka ia memutuskan untuk berjalan lebih cepat. Bukan agar lekas sampai di kelas, tapi supaya ia segera mengetahui siapa yang pagi-pagi begini kurang kerjaan dengan mengekorinya sepanjang parkiran sampai lantai tiga.

Persis ketika Dewa melihat belokan, ia langsung mengambilnya dan bersembunyi di balik dinding yang sedikit menjorok ke dalam.

Pandangannya terus fokus, ia lebih dari sekadar penasaran dengan orang misterius itu.

Dan begitu netranya menangkap sesosok manusia berjaket abu-abu dengan tas biru muda yang gerak-geriknya sangat mencurigakan, Dewa langsung menyerangnya dan tanpa ampun membenturkan tubuh kecil orang itu ke dinding.

"Aukh!!" pekiknya membuat Dewa yang terperanjat itu langsung mundur selangkah dan membiarkan orang dengan suara familier itu lepas dari kuncian tangannya.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ia bergerak menyingkap tudung abu-abu yang menutupi kepala berambut kecokelatan dengan wajah mengernyit itu.

Matanya terbelalak. "Cahaya?!"

Gadis itu jadi merasa sebal. Masa datang-datang langsung disambut seperti itu?

"Kenapa kamu nyerang aku, sih? Sakit, tau," protesnya sembari mengusap-usap lengan yang sempat Dewa kunci mati. Sedikit nyeri.

"Lo ... ngapain?!"

Cahaya membenarkan posisi berdirinya menjadi lebih tegak sebelum menjawab, "Kan, aku sekolah di sini, Dewa."

"Tapi lo ... di Bandung ... sekolah di sini ...?"

Satu embusan napas dapat Dewa dengar dari gadis yang masih saja membawa efek hangat pada dirinya. Padahal ia sudah bertekad melupakannya.

Cahaya [COMPLETED]Where stories live. Discover now