Cahaya ke-13

1.4K 258 145
                                    

Rindu yang paling menyiksa adalah ketika kita merindukan sesuatu di masa lalu. Sesuatu yang hanya bisa kita kenang, tanpa pernah bisa kita ulang.

⚫⚫⚫

Malam ini suasana ramai, suara dentuman kembang api yang menggelegar di cakrawala terus-menerus mengisi telinga gadis dengan baju tidur berwarna biru dengan corak polkadot putih. Ramainya suasana luar berbanding terbalik dengan heningnya kamar yang bernuansa putih dengan tempelan-tempelan gambar hasil karya pemiliknya.

Lap basah berwarna merah jambu dengan gambar tweety masih setia menempel di dahi yang pemiliknya sedang berbaring di tempat tidur seraya memejamkan mata. Sebegitu keras hantaman pintu mengenai dahinya, sehingga ia bisa sampai mimisan begitu. Untung cuma lima belas menit. Karna perjanjiannya, kalau sampai setengah jam belum berhenti, maka Cantika akan menelepon ambulans.

Berkali-kali Arden meminta maaf, membuat Cahaya jadi merasa tidak enak. Anak itu baru berhenti minta maaf setelah Dewa---yang tidak tahan mendengar ocehan Arden yang menurutnya unfaedah---memarahinya, dia bilang nggak usah banyak omong, pikirin dulu kondisi Cahaya. Kalau parah, tinggal tanggung jawab, bawa ke rumah sakit. Selesai.

"Aya, gimana kondisinya? Udah baikan?" Diego masuk ke kamar anaknya sambil membawakan makan malam.

Cahaya mengangguk pelan. Setidaknya tak separah tadi saat di kafenya Arden. Saat itu nyut-nyutannya bukan main.

"Bunda belum pulang, yah?"

"Belum. Bunda bilang pulangnya agak maleman."

"Jam berapa, yah?"

"Palingan sekitar jam sepuluh lah. Soalnya Tante Emira masih di bandara, baru mau take off ke Jakarta."

"Oh."

"Ini, dimakan dulu nasi gorengnya. Biar angetan. Tadi Aya kena ujan, kan?"

Memang, tadi ia sempat kena hujan. Persis saat ia baru melewati portal keamanan komplek. Saat itu hujan turun tanpa basa-basi, langsung deras. Seperti dalam sinetron-sinetron di mana hujannya sangat dipaksakan.

Baru beberapa lahapan, Cahaya sudah merasa kenyang. Mood makannya tiba-tiba menguap, apalagi saat ia mendengar suara dering ponsel yang ada di bantal sebelahnya.

Pasti bunda.

Ia melihat ke layar yang menampilkan nomor tidak dikenal.

Panggilan masuk.

082330214xxx

"Siapa, Ya?"

Cahaya menggeleng pelan, tidak tahu. Ia segera merubah posisi menjadi duduk.

Penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk menggeser opsi jawab. Ia juga mengaktifkan loudspeaker ponselnya agar ayahnya juga bisa mendengar.

"Buruan keluar. Gua ada di depan rumah lo."

Cahaya terdiam. Berpikir sebentar, sepertinya ia kenal dengan suara itu.

Orang di seberang sana mendengus. "Temen sebangku lo."

Panggilan diakhiri.

Cahaya baru ngeh siapa orang itu, persis saat ayahnya bertanya. "Hayo, kok suaranya cowok? Pacar, ya?"

Cahaya menggeleng dengan keras. Ia lupa, di dahinya masih ada lap yang kini berubah tempat menjadi di pangkuannya. "Cuma temen, ayah."

Diego tersenyum. "Udah, temuin sana. Ntar Aya diputusin lagi."

Cahaya memukul lengan ayahnya, "Apa sih, yah?"

Cahaya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang