20-Secret

79 11 0
                                    

Happy reading:)

Setiap orang punya masalalu kelam sesuai porsinya masing-masing,
entah itu gue, lo, ataupun mereka.
~Auristella Grizelle

***

Seakan tersambar petir yang amat dahsyat, Stella terduduk lemas dirumput yang sengaja ditanam di taman tempat biasa Stella menunggu temannya, hujan.

Berbagai tatapan tertuju kearahnya. Entah itu tatapan aneh, iba, heran, penasaran, dan sebagainya. Stella tidak peduli dengan asumsi orang-orang yang berlalu lalang itu.

Saat ini yang Stella butuhkan adalah hujan. Stella ingin sekali menunggu temannya yang sangat mengerti akan dirinya itu.

Sudah lama Stella tidak menunggu hujan, bahkan untuk menyapanya saja Stella sudah jarang. Stella seakan melupakannya.

Didunia ini, hanya hujan, air mata, dan dirinya sendirilah yang paling mengerti akan Stella. Ingin sekali Stella pindah ke planet dimana hanya dirinya seorang diri yang tinggal disana. Tanpa ada satupun teman.

Rasa sakit yang enam tahun lebih dia rasakan, kini seolah mencuat, tergabung dengan rasa sakit yang kini datang dari orang yang paling dia sayangi. Semua datang secara bertubi-tubi, tanpa memperdulikan kondisi Stella.

Jika ditanya apa yang membuat Stella kembali down seperti ini, jawabannya masih sama. Apalagi jika bukan karena anak dari wanita murahan itu? Zeline Zakeisha.

Dimata Ayahnya, Stella mungkin seperti anak pungut. Ayahnya sangat membela Zeline mati-matian, padahal disini, Zeline adalah penyebab terjadinya semua ini.

Plakkk!!!

Sebuah tamparan mendarat dipipi mulus Stella. Panas, perih, sakit, marah, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Ini tidak untuk yang pertama kalinya, tetapi untuk yang kesekian kalinya. Stella mengelus pipinya yang mampu membuat hatinya remuk berkeping-keping.

"Stop, Mas!!! Udah, berhenti sakitin Stella!" lerai Sheila. Isak tangisnya terdengar sangat menyayat.

Sheila menopang tubuh Stella yang hampir terhuyung kelantai. Dia memeluk Stella erat, semata-mata untuk memberi kekuatan pada Stella.

Tapi, naasnya, Stella sudah terlanjut kalap. Dia menepis Bundanya kasar. Melihat perlakuan Stella terhadap Sheila, Afsheen tidak kunjung diam.

Saat Afsheen hendak menampar Stella lagi, Stella tertawa hambar. Dia menatap tajam Ayahnya tanpa rasa hormat sedikitpun. "TAMPAR, YAH!! TAMPAR STELLA!!!" tantangnya membuat Afsheen mengurungkan niatnya.

"Haha, bahkan Anda tidak layak disebut sebagai seorang Ayah." sinis Stella membuat amarah Afsheen semakin membuncah.

"Dimata Ayah, Bunda, dan semua orang, Stella itu gak pernah bener. Stella selalu salah dimata kalian semua!!!" Stella menumpahkan emosinya saat itu juga.

"Apa Ayah, tahu? Stella tersiksa selama enam tahun lebih, APA KALIAN PEDULI?! APA KALIAN TAHU?!" bentaknya sembari mengusap air matanya yang terus bercucuran deras itu dengan kasar.

"Apa Stella bukan anak Ayah? Kenapa Ayah selalu gak adil saat memperlakukan Stella dengan Zeline?! APA STELLA BUKAN ANAK KANDUNG AYAH?! JAWAB YAH!!!!" Stella mengguncang-guncangkan tubuh Ayahnya.

Afsheen membeku. Baru kali ini dia melihat Stella semarah ini. Ini baru pertama kalinya Stella menumpahkan isi hatinya. Afsheen tertegun. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

***

Seorang anak SMA yang kini mengemban beban semua keluarga besarnya, mengacak rambutnya frustasi.

Angga selalu berusaha untuk terbiasa dengan kesehariannya ini. Dia tidak seperti remaja pada umumnya. Sudah dari beberapa tahun yang lalu dia menggantikan tugas Ayahnya untuk mengurus perusahaan keluarga Kusuma.

Bayangkan, remaja seumurannya saja menghabiskan waktu mereka hanya untuk bersenang-senang. Tetapi, Angga? Lihat saja dia sekarang, berkutat dilayar laptop, ditemani bertumpuk-tumpuk berkas perusahaan.

Angga melonggarkan dasinya yang agak mencekik lehernya itu. Angga menghela nafasnya lelah sembari memijit pelipisnya.

"Banyak banget, gak kelar-kelar lagi." keluhnya sambil membolak-balikkan beberapa berkas itu.

Tak ambil pusing, Angga beranjak dari ruangannya, dia meninggalkan perusahaannya selepas minitip pesan kepada sekretarisnya kalau dia hendak pergi keluar untuk menenangkan pikirannya walau hanya sejenak.

Angga memincingkan matanya saat melihat ada sesosok gadis yang akhir-akhir ini selalu sukses membuat pikirannya gelisah.

Saat Angga berdiri tepat didepan gadis itu, dia berjongkok menatapnya dengan intens. "Hei!" panggilnya seraya memegang kedua pundaknya.

Tidak mendapat respon apapun dari gadis itu, Angga mendengus kesal. Baru kali ini dia dikacangin sama makhluk seperti ini.

"Auristella." panggilnya berusaha untuk tetap bersabar.

Rambut panjang Stella yang tergerai indah membuat wajah Stella tertutupi dengan sempurna.

Andai semua orang tahu alasan Stella memanjangkan rambutnya itu agar bisa menutupi wajahnya yang sedang bersedih, atau bahkan menangis. Mungkin mereka akan sedikit mengerti dan tidak memaksa Stella untuk memotong rambutnya terus-terusan.

Angga menyibakkan rambut Stella kebelakang, lalu mengangkat dagu Stella keatas dengan jemarinya. Melihat mata Stella yang berkaca-kaca, rasanya Angga ingin membunuh siapa saja yang menjadi penyebab Stella menangis.

Dengan erat, Angga memeluk tubuh gadis mungil itu. "Siapa yang bikin lo kaya gini?" tanya Angga cemas.

Isakan Stella semakin kencang didalam pelukan Angga. Rasa nyaman menjalar keseluruh tubuhnya. Stella tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa mengatakan, "thanks, Ngga. Lo selalu ada disaat gue lagi difase gak berguna sekalipun." ucap Stella miris.

Yang Stella inginkan saat ini padahal Gara, bukan Angga. Tetapi, justru malah Angga yang selalu datang disaat-saat seperti ini.

"Gue ngerti apa yang lo rasain, gue pernah diposisi lo. Ada gue, lo bisa cerita kapan pun lo mau." tutur Angga membuat tangisan Stella semakin deras.

Rasa nyaman seperti ini, sering Stella rasakan ketika sedang bersama Gara dulu. Kini, justru terulang lagi dengan orang yang berbeda, yaitu Angga.

Terima kasih untuk orang-orang yang selalu menjadi alasan gue tetap bertahan hidup sampai saat ini.

***

Salam sayang,
Chyni_Ar

AURISTELLA (LENGKAP)Where stories live. Discover now