12-Strict Parents

109 12 14
                                    

Happy reading:)

Gulita seakan mengerti
apa yang ku rasakan saat ini.
Sunyi, membuatku mengerti
bahwa aku hanya seorang diri
~Auristella Grizelle

***

Didalam keluarga yang ramai ini, terasa sepi untuk seorang Auristella. Setiap hari Stella hanya bisa mengalah dan mengalah.

Bolehkah Stella membenci dirinya sendiri atas semua kejadian yang menimpa dirinya saat ini? Jika iya, Stella akan sangat senang. Tetapi, jika tidak, mungkin Stella akan semakin tersiksa.

Bukan apa, walaupun terlihat kuat dari luar, Stella itu pribadi yang sangat rapuh. Silahkan saja semua orang memakinya bersamaan, menghujatnya, atau bahkan sampai men-judge-nya. Stella tidak akan peduli.

Jika ditanya kelemahan Stella apa, jawabannya masih saja sama. Dari kecil sampai sebesar ini, kelemahan Stella ada tiga didunia ini. Keluarganya, sahabatnya, dan orang yang dia cintai.

Mereka semua bahagia. Tapi, bukan Stella yang menjadi alasan mereka tersenyum senang, tertawa lepas, atau bahkan bersyukur.

Zeline Zakeisha. Alasan terbesar kedua orang tuanya tertawa lepas. Padahal, dulu... Entahlah, Stella benci mengingat semua kejadian itu.

Remaja seusianya yang kini mampu merebut dan menggantikan posisinya itu, sukses membuat Stella hancur, Stella sangat benci kepadanya, Stella ingin balas dendam dan menghancurkannya.

Iri? Dengki? Siapa sih anak yang tahan diperlakukan seperti ini? Dianggap seolah-olah tidak ada padahal jelas adanya.

"Ayah, Bunda, Mama." rengek Zeline manja membuat Stella semakin muak saja.

Disini, Stella seperti orang asing. Kapan Stella lulus sekolah? Kuliah? Dan bekerja? Stella ingin cepat-cepat lepas dari belenggu ini.

"Iya, sayang." sahut mereka bertiga kompak.

Telinga Stella rasanya sangat pengang mendengar sahutan ketiga orang tadi. Bahkan, Stella sudah hampir tidak pernah bermanja ria didalam pelukan Ayah dan Bundanya.

"Kak Stella udah berani pacaran." adunya berbohong.

Apa katanya barusan?! Fitnah! Bahkan, Stella sama sekali belum pernah pacaran, karena dia sedang menunggu cinta pertamanya. Dan apa kata Zeline barusan? Stella pacaran? Minta diapakan anak brengsek itu.

Mata Stella melotot. "Apa kata lo?! Pacaran?! Gue gak pernah pacaran!" sarkas Stella.

Siapa sih yang terima difitnah seperti itu oleh muka dua seperti Zeline? Entah fitnah apalagi yang akan Zeline lontarkan dari mulut busuknya itu.

"Udah, sayang, jangan kasar aish." ucap Sheila menenangkan Stella.

Sepertinya Stella sedang sangat emosi. Dia tidak bisa diperlakukan seperti ini terus menerus. Ingin sekali Stella pergi dari rumah ini. Tetapi, Stella masih memikirkan resiko apa saja yang akan Stella terima jika dia melancarkan niatnya itu.

"Tapi, beneran, kok." Zeline memainkan rambut pirangnya yang sepunggung itu menggunakan jemarinya yang lentik. "Kakak lagi deket sama Kak Angga, kan? Cowok kelas XI Mipa 1?" tanya Zeline memastikan.

Konspirasi apalagi ini yang dicetuskan oleh mulut anak sialan itu? Stella sangat muak! Demi apapun, Stella sangat muak!

"Tahu apa, lo, hah?! Anak kecil gak usah sok tahu! Sukanya nyebar berita hoax aja lo kerjaannya! Gak disekolah, gak dirumah, campurin hidup gue mulu perasaan! Hidup lo kurang bahagia apa gimana, hah?! Setelah ngerebut kasih sayang Ayah sama Bunda gue, lo kurang puas?! Lo itu gak ada bedanya sama penjilat!!!!!" cerca Stella tanpa peduli dengan respon Ayah, Bunda, dan Mama tirinya.

Salah siapa dari tadi membuat Stella jengkel. Stella benci semua orang yang ada dirumah ini kecuali Sheila. Rumah ini penuh drama, sejak ada dua pemeran antagonis didalamnya.

Plakk!!!

***

Sejak kejadian semalam, Stella mengurung diri didalam kamarnya. Dia tidak mau keluar kamar, tidak mau makan, minum, atau bahkan berangkat ke sekolah.

Kejadian ini selalu Stella alami saat kecil hingga saat ini. "Stella sayang, makan, yuk." bujuk Sheila seraya mengetuk pintu kamar anaknya berulang kali.

Hening.

Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Ini titik dimana Stella benar-benar jengah dengan segala ketidak tahanannya terhadap situasi dirumah ini.

Andai ada orang yang bisa menemani Stella dikala terpuruk, mungkin semua itu adalah gelap gulita dan sunyi. Mereka membuat Stella menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang diri.

Jendela dan gorden kamar Stella, sengaja Stella tutup agar cahaya tidak bisa menembus dari arah sana. Ponselnya pun, sengaja dia silent.

"Gara, I need you here." lirih Stella dengan suara parau.

Matanya sembab akibat air mata yang tak kunjung berhenti. Ternyata mata Stella menyimpan banyak air mata yang sengaja tidak ia tumpahkan selama ini.

Sakit. Disaat tidak ada satupun keluarganya yang mau mengerti dirinya. Semalam, Stella dimarahi habis-habisan. Karena siapa lagi jika bukan karena Zeline Zakeisha.

Semua masalah Stella, ada karena Zeline. Ibarat Stella yang sedang berlari mengejar kebahagiaannya, Zeline adalah batu yang selalu menghambat laju Stella.

"Mungkin, gue hanyalah peran figuran, didunia yang kejam ini." serak Stella dengan suara yang masih tersisa.

Isak tangis Stella semakin kencang, saat siang dengan cepatnya berganti menjadi malam. Jika semudah itu siang berganti, kenapa Stella tak kunjung menjadi terang? Kenapa dia selalu menjadi petang? Bahkan, dialur hidupnya yang amat kejam.

Ucapan Ayahnya semalam, membuat Stella sangat sakit hati. Bukan! Lebih tepatnya, bantahan Stella kepada Afsheen.

Setiap kali Stella membantah ucapan kedua orang tuanya, Stella selalu merasa sangat sakit hati. Bagaimana tidak? Stella sangat menyayangi kedua orang tuanya, walaupun mereka sepertinya sudah tidak menganggap keberadaan Stella lagi.

"Gara." panggil Stella sembari menggenggam kalung pemberian Gara.

Disaat begini, Stella masih saja memikirkan Gara. Stella ingin bersandar, bercerita, bahkan memeluk erat Gara sekarang juga.

"I miss you so much, Gara." ungkap Stella.

Andai saja Stella bisa memutar waktu, andai saja dia bisa kembali ke masalalu, andai saja dia bisa mencegah kepergian Gara. Aish... Stella hanya bisa berandai-andai.

Look at really, Stell. He's gone. Dan sampai detik ini, lo masih saja menyesali semua yang telah terjadi. Payah!

Munafik jika Stella bersikap seolah-olah dirinya baik-baik saja tanpa Gara. Hidupnya semakin hancur, setelah kepergian Gara.

Mungkin, ibarat bulan yang kehilangan seluruh bintang. Sepi, hanya ada dirinya seorang yang menerangi bumi.

***

Salam sayang,
Chyni_Ar

AURISTELLA (LENGKAP)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin