LEO [13]

5.8K 334 4
                                    

Berusaha untuk lebih menerima pernikahan ini sepertinya agak sulit untukku. Aku tidak pernah berpura-pura. Aku selalu melakukan apa yang aku suka dan sekarang aku harus memulai kepura-puraan itu demi terbiasa membina sebuah rumah tangga yang harmonis.

"Yo, bentar deh Mama mau bicara." Mama tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjaku dan duduk di atas sofa biru tua yang nyaman yang ada di dalam ruang kerjaku.

"Ada apa Ma?" Aku mengalihkan pandangan dari laptop yang menampilkan beberapa dokumen yang baru saja dikirimkan pegawai dari Leo's court. Kemudian beranjak duduk di sebelah Mama.

"Rumah yang di Sudirman sudah jadi dan bisa ditempati." Ucap Mama.

"Lalu rencananya mau disewakan berapa Ma?" Tanyaku kemudian.

Mama menggeleng. "Rumah itu gak akan Mama sewain, rumah itu untuk kamu dan Hera tempati." Jelasnya yang membuatku agak terkejut.

"Gausah Ma, Leo tetap di sini aja. Mama kan sendirian nanti jadinya."

"Mama gak sendirian, nanti Mama minta Tante Gaisha buat pindah ke sini. Dia udah setuju kok, biar Gaisha sama Wira yang nemenin Mama di sini."

"Gak usah ngerepotin mereka Ma. Leo tetap di sini kok."

Lagi-lagi Mama menggeleng. "Mama yang maksa kamu untuk pindah ke sana, titik."

"Mama ngusir Leo ceritanya?"

"Bukan gitu Nak. Mama cuma mau merealisasikan keinginan Papa kamu buat ngasih rumah itu kalo kamu udah menikah."

"Mah gak usahlah...."

"Gak ada tapi-tapian Yo. Mau gak mau, kamu harus mau karena Mama maksa!"

Aku mendengus pasrah. Sepertinya memang harus seperti ini jadinya.

- - - - - - - -

"Assalamualaikum...."

Suara salam terdengar dari arah ruang tamu. Tak berapa lama kemudian muncul Hera dengan wajah lelah. Sepertinya dia terlalu memforsir tubuhnya menjelang UAS ini. Ia meraih tanganku lalu menciumnya. Dengan nafas yang terdengar lelah, ia duduk di sampingku.

"Makan sana." Suruhku kepadanya.

"Nyuruh makan apa nyari ribut."

Walaupun ia hanya bergumam, aku masih bisa mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menggeleng. Gadis yang sulit untuk diperlakukan dengan manis sepertinya.

Aku kembali fokus kepada layar televisi yang sedang menampilkan sebuah iklan tentang produk makanan. Channel tv lokal sangat membosankan.

"Aduh!" Telingaku habis kena jeweran maut dari Mama. Kenapa sih Mama ini? Kok tiba-tiba aja jewer aku. "Ma sakit...."

"Temani Hera makan, baru Mama lepas tangan Mama dari telinga kamu."

Ampun, ampun Mama. Aku bukan anak kecil lagi.

"Biar aja dia makan sendiri." Aku masih berusaha untuk melepaskan 

Mendengar jawabanku tadi Mama semakin menarik telingaku. Bener deh sakit banget!

"Aw iya ampun. Leo ke sana!"

Aku segera menarik diri dari hadapan Mama, itu lebih baik daripada telingaku harus merasakan betapa sakitnya jeweran Mama. Begitu sampai di dapur, aku melihat Hera yang sedang menikmati makanannya. Aku menghampirinya lalu duduk di kursi sebelahnya.

"Ra saya mau makan."

Hera hanya melirikku sekilas. Kemudian ia kembali sibuk dengan makanan di atas piringnya.

"Istriku... Suamimu mau makan." Ulangku yang membuatnya berdiri sambil berdecak sebal. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan sebuah piring, ia meletakkannya di atas meja dan kini ia kembali menikmati makanannya.

"Ehm, sekalian diambilin maksudnya."

Hera berdeham kesal. Ia bangkit dengan gerakan dihentakkan. Dengan sedikit kasar ia menyendokkan nasi ke dalam piringku. "Mau pakai lauk apa?" Ia bertanya dengan nada tinggi.

"Samain sama kamu aja."

Ia mendelik dan menyendokkan daging dendeng balado juga telur dadar. Setelah itu ia kembali duduk dan memakan makanannya. Aku tersenyum melihatnya. Aku menyantap makanan yang ada di piringku.

"Ehm..." aku berdeham. Mencoba mengalihkan fokua Hera dari makanan. "Hera...."

"Apa lagi sih Pak?" Aku menggeleng dengan senyuman. "Ada apa Leo?" Hera mengulang pertanyaannya.

"Saya ada berita baik dan buruk untuk kamu. Mana yang mau kamu dengar duluan?"

"Baik dulu aja."

Aku berdeham, kemudian menatap Hera. "Kita tidak perlu berpura-pura harmonis lagi," Hera terdiam memandangku balik. Menunggu kelanjutan dari ucapanku. "Berita buruknya adalah, kita akan pindah rumah."

Kedua bola mata Hera melotot. Aku yakin. Sebentar lagi nafsu makannya hilang.

"Pindah ke mana? Ke rumah Bunda?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Pindah ke rumah kita."

"Kita?"

Dari nada suaranya, ia sangat terkejut.

"Iya. Kamu, aku. Anda, saya. Kami. Kita. Gue, elo. Apapun itu deh!" Balasku.

Ia menghentakkan nafas. Segera ia bangkit berdiri dari kursi meja makan. Lalu ia pergi begitu saja meninggalkan makanannya yanf masih bersisa di atas meja.

- - - - - - - -

Alhamdulillah bisa ngepost juga... mohon maaf kalau di bagian ini sedikit, sekarang udah mulai sibuk ujian. Saya minta doanya buat readers supaya saya dilancarkan segala proses ujiannya *aamiin*

Jangan lupa tebaran vote dan kritik saran lewat commentnya masih ditunggu. Jangan jadi pembaca gelap, gaenak nanti matanya rusak.

Haha, sampai ketemu di part selanjutnya yaa. Jangan lupa mampir di cerita saya yang lainnya.

Danke :D

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang