LEO [3]

8.7K 417 0
                                    

Mentari bersinar dengan arogan di langit pagi ini. Membuat beberapa sinarnya menembus masuk ke dalam kamarku. Aku terpaksa terbangun dari tidurku yang sangat lelap ini. Oh please, ini hari Minggu, kenapa kamu bersinar terlalu cepat matahari?!

Aku beranjak menuju kamar mandi, lumayanlah, air yang terasa dingin ini sepertinya sanggup membawa semangatku untuk kembali bangkit. Pukul 06.30, aku turun ke bawah. Bisa kulihat sosok mama yang sedang menyiapkan sarapan untuk kami. Dengan semangat aku turun ke bawah, nasi goreng yang mama masak selalu terasa mantap di lidah.

"Pagi Ma." Sapaku sambil mengecup keningnya.

"Selamat Pagi sayang," balas mama. "Hari ini kamu mau kopi, susu atau teh?"

"Teh mungkin." Jawabku.

Mama berbalik menuju dapur untuk membuatkan minuman. Aku mengambil sendok yang sudah mama sediakan di sebelah piring nasi gorengku dan mulai memakannya. Sudah kubilang nasi goreng buatan mama itu sangat enak.

"Gimana perkembangan di LC Nak?" tanya mama yang tiba-tiba sudah ada di sampingku bersama dengan dua gelas teh yang ada di sampingnya dan di sampingku.

"Yah, lumayanlah Ma. Mulai banyak yang datang."

"Lalu di kampus?"

"Sama seperti biasanya," jawabku sekenanya. "Mama nanti jadi ke rumah temen Mama?"

Mama mengangguk, "Tapi sebelumnya, kita periksa rumah yang di Sudirman ya."

"Sudah selesai Ma?"

"Kemarin sih Pak Gimi nelpon Mama, katanya selesai mungkin dalam waktu dua minggu lagi. Terus Mama disuruh liat ke sini, memastikan ada yang kurang atau tidak sebelum finishing."

"Nanti mau berangkat jam berapa memang Ma?"

"Jam sepuluh."

- - - - - - - - - - - - - - - - -

Di sinilah aku sekarang, di rumah lama kami yang ada di daerah Sudirman. Rumah tempat aku dulu dibesarkan hingga menginjak bangku SMP. Rumah di mana dulu aku, mama, dan papa masih bisa berkumpul menjadi sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia.

Mungkin aku lupa bercerita, papaku sudah tiada. William Carl, itulah namanya. Mata hazel yang aku miliki memang keturunan dari papa. Kemampuan berbahasa Jermanku juga karena papa pernah mengajarinya selama dia hidup, tentu saja papa adalah orang Jerman, hanya tidak murni karena Ibunya orang Jerman dan Ayahnya orang Inggris. Papa bertemu mama yang asli orang Indonesia ini, saat mereka berdua sedang mengenyam pendidikan di Universitas. Mereka akhirnya menikah setelah kenal selama dua tahun dan di tahun berikutnya Mama mengandungku di rahimnya. Aku lahir dan menikmati indahnya dunia ini bersama keluarga, tapi Tuhan mungkin menginginkan yang lain karena ia memanggil papa untuk bersamaNya melalui sebuah kecelakaan pesawat terbang. Berawal dari situlah aku berjanji untuk terus mandiri dan membahagiakan mama yang sekarang sudah semakin tua.

"Gimana Ma? Masih ada yang kurang?" tanyaku.

Mama menggeleng, "Enggak sih, sudah lumayan sesuai ekspetasi Mama."

Aku hanya mengangguk, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

"Menurut kamu warna cat apa yang bagus untuk rumah ini?"

Aku memandang mama, "Kuning."

Mama tersenyum, "Kamu sama ya Nak seperti Papamu."

- - - - - - - - - - - - - - - - - - -

"Kita mau kemana sih Ma?" tanyaku sambil tetap fokus dengan kemudi yang sedang kupegang.

"Ke rumah temen Mama-lah, kan Mama udah bilang." Jawab mama.

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang