LEO [33]

9.3K 348 13
                                    

Seluruh badanku terasa pegal. Seharian memeriksa modul bertumpuk dari kelas para direktur yang mengambil kursus bahasa Jerman. Kelas itu memilih aku untuk menjadi tutor mereka, karena katanya lebih enak dibimbing dengan pemilik langsung.

Oh ya, apakah aku sudah pernah cerita?

Delapan setengah bulan yang lalu, atau tepatnya sebulan setelah konflik tentang kecemburuan Hera denganku berakhir, istriku dinyatakan hamil oleh dokter. Yah, kalian tau lah kalau kami sudah ber iya iya ria. Berita itu benar-benar membuatku bahagia, rasanya seperti terbang ke angkasa bersama paus raksasa. Hera pun yang semula ragu untuk berbadan dua selama masih menempuh kuliah senang mendengar pernyataan dari dokter. Keraguannya hilang dan sekarang dia malah enjoy saja dengan keadaannya.

Euforiaku masih berlangsung sampai sekarang, bahkan aku sudah tidak sabar menunggu kelahiran bayi kami.

Telfon kantor berdering, aku menekan tombol untuk menerima panggilan yang sudah pasti dari sekretarisku.

"Ya?"

"Pak saya Nanda, maaf menganggu, tapi Nona Hera sudah menunggu anda di ruang kami."

"Kenapa tidak langsung disuruh masuk?"

"Nona Hera menolak, katanya ingin Bapak yang keluar."

"Baik, saya akan keluar."

Aku beranjak dari kursi dan berjalan keluar ruangan. Beberapa langkah yang aku butuhkan dan aku dapat melihat istriku yang duduk bersama dengan orang yang belakangan ini kupercayakan untuk menjaga istriku di saat aku tidak bisa berada di sisinya. Orang itu adalah Althaf Alghifary.

"Siang Althaf." sapaku terlebih dulu menyapa Althaf.

"Siang Pak, maaf tiba-tiba ke sini. Ada yang merengek minta di antar ke sini sama saya." jawabnya sambil nyengir.

Aku melirik ke arah Hera, ia sedang menatap sebal ke arah Althaf. Aku mengulas senyum.

"Makasih ya Thaf sudah mau antar Hera." ucapku.

"Sama-sama Pak, kan Bapak udah minta saya dan Shilla buat jagain Kak Riana," jawabnya. "Saya pamit ya Pak. Permisi."

"Ayo masuk," Aku mengajak Hera untuk masuk ke dalam ruanganku. Aku mendudukkannya di sofa ruanganku. "Mau yogurt?"

Ia menganguk senang. Aih, belakangan ini aku semakin suka dengan sifat manjanya. Kuulurkan sebotol yogurt untuknya dari kulkas ruanganku, ia menerimanya dengan senang. Kuhempaskan tubuhku di bagian sofa yang kosong disebelahnya.

"Ke sini ada perlu apa sayang?"

"Memangnya ke sini harus ada perlu?"

"Yaa enggak sih, tapikan nanti kamu bisa Mas jemput. Kasian nanti kamu capek kalo ke sini."

"Aku kan mau ketemu Mas lebih cepet." Ia menyandarkan kepalanya di depan dadaku.

"Kangen hm?"

Gerakan naik turun kepalanya mewakilkan kata Ya darinya.

"Jagoan Ayah yang kangen mau ketemu." tambahnya lagi. Ugh, rasanya aku benar-benar seperti melambung ke udara. Pegalku langsung terasa hilang.

- - - - -

"Mas.... Uh, sa...kit...."

Rintihan dari Hera membuatku terbangun dari tidur, kulirik jam dinding pukul dua pagi.

"Mas... Leo...."

Kunyalakan lampu, seluruh wajah istriku sudah penuh dengan peluh. Ia terus memegangi perutnya. Astaga, astaga apa yang harus aku lakukan.

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang