LEO [5]

6.9K 364 5
                                    

Akhirnya sampai rumah. Setelah menutup pintu mobil dan menguncinya aku berjalan masuk ke dalam rumah. Di belakangku mama mengekori entah dengan pikiran apa yang memenuhi kepalanya sampai membuat dia menatapku seperti itu.

"Yo, Mama mau bicara," tepat setelah aku duduk di sofa ruang keluarga, mama mengangkat suaranya sembari ikut duduk di sebelahku. Aku memandangnya dengan tatapan bertanya. "Kapan kamu mau melamar Hera?"

 "Kok malah melototin Mama sih!" Mama memukul lenganku pelan.

Aku mengerjap dan kembali menatap mama. "Tadi itu, Leo gak serius Ma."

Tiba-tiba mama memandangku galak, kalau bukan di dunia nyata, Mama pasti sudah mengeluarkan tanduk dan wajahnya merah. "Jangan bercanda Leo!"

"Leo gak bercanda Ma, dan Leo juga gak serius dengan ucapan tadi," jawabku. "Cuma usaha mulia untuk tidak membuat cucu Tante Dira menangis."

"Mama tidak mau tau, kamu harus pertanggung jawabkan omongan kamu! Mama harap kamu tidak akan mengecewakan Mama juga Tante Dira!" Mama meninggalkanku.

Sekarang aku hanya bisa diam, merutuki kebodohanku karena asal bicara. Aku lupa, benar-benar lupa. Mama sedang dalam masa gencar-gencarnya menyuruhku untuk menikah, dan keadaan ini sudah pasti digunakannya.

Ya Tuhan, aku harus bagaimana?!

- - - - - - - - - - - -

Aku melangkah gusar menyusuri koridor kampus. Buruk, sangat buruk. Akibat dari memikirkan kesalahanku, aku tidak mengajar dengan maksimal di kelas tadi. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus bertemu dengan anak Tante Dira.

Aku berhenti di kantin kampus, memang agak janggal bagi mahasiswa dan mahasiswi di sini apabila melihat sosok dosennya berada di teritori mereka. Aku juga sebenarnya tidak mau ke sini, tapi demi menemukan gadis itu, aku harus rela ke sini.

Setelah mengedarkan pandang ke seluruh bagian kantin, akhirnya aku menemukan sosok gadis itu sedang bersama temannya. Ia sedang tertawa. Huh? Dia bisa tertawa?

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku menariknya dari kursi yang sedang ia duduki dan membawanya ke tempat yang agak sepi agar tidak menarik perhatian orang-orang di sini. Kulihat ia terkejut melihatku. Bisa kumaklumi, aku dosen dan dia murid.

"Kamu masih bisa tertawa?" tanyaku. Dia menatapku bingung dan juga sungkan. "Dengan segala kejadian di hari Minggu itu, kamu masih bisa tertawa?" ulangku.

Beberapa saat dia masih terlihat bingung, tapi kemudian ia seperti sadar akan sesuatu lalu menatapku sebal.

"Bapak sendiri yang buat salah!" katanya.

"Itu karena saya tidak mau keponakanmu menangis." Kataku sengit.

"Lalu kenapa tidak ada klarifikasi setelahnya? Memangnya Bapak pikir saya tidak gemas melihat Bapak yang hanya diam setelah mengatakannya?" Balas dia tak kalah sengit.

Aku terdiam, apa benar kemarin aku seperti itu?

"Tuh! Bapak memang orang yang selalu diam setelah habis mengatakan sesuatu ya?!" umpatnya.

"Dengar, saya tidak bisa menolak permintaan Mama saya, apalagi karena saya yang sembarangan bicara. Jadi saya mohon, apapun yang terjadi jangan biarkan saya menikahi kamu." Tuturku.

"Mana bisa Pak!" Tukasnya.

Aku menyerngit. "Kenapa? Kamu naksir saya?"

Ia berdecak sebal. "Bunda pasti udah bilang ke Ayah, dan asal Bapak tau saya juga gak bisa menolak apapun yang Ayah setujui."

"Memangnya Ayahmu sudah setuju?"

"Ayah adalah orang yang amat mencintai Bunda, jadi, apapun keputusan Ayah, semua itupun juga karena campur tangan Bunda."

Oh astaga, kenapa kami berdua adalah anak yang terlalu patuh kepada orang tua sih?!

- - - - - - - - - -

Ting, Tong.

Bel rumahku berbunyi. Aku membuka pintu dan mendapati sahabatku, Oldy, berdiri di depan pintu dengan setelan kasualnya.

"Selamat sore sobat!" sapanya dengan senyum sumringah.

Aku mempersilahkannya masuk, aku memang mengundangnya untuk datang. Aku sedang membutuhkan tempat curhat, dan kurasa temanku yang paling waras saat ini hanya dia, si pianis terkenal ini.

"Kalau mau minum ambil sendiri ya Dy." Ucapku seraya duduk di atas sofa ruang tv.

"Santai aja kali sama gue," Jawabnya tanpa merasa sungkan sedikit pun. "So, apa yang mau lo ceritain ke gue?" dan dimulailah ceritaku yang awalnya hanya ditanggapi dengan 'oh', 'hmm', 'gitu' dan sebagainya oleh Oldy.

"Alasan lo bilang itu apa?"

"Biar keponakannya enggak nangis."

"Bener-bener itu aja?" Oldy menyipitkan matanya sambil menatapku.

"Iya, gak ada niatan lain."

"Gue hanya bisa kasih dua pilihan sama lo, be a gentleman atas kata-kata lo, atau lo menghapus harapan Nyokap lo yang notabenenya cuma punya lo sebagai pewujud dari mimpi-mimpinya."

Aku mengacak rambut dengan kesal. Kenapa aku harus terjebak dengan anak kuliahan itu ya Tuhan?!

- - - - - - - - - -

Sekali lagi terima kasih untuk yang sudah mau membaca cerita iniii, dan terima kasih juga untuk yang meninggalkan votenya di cerita ini. Di tunggu vote dan komennya lagi yaaa.

Terima kasihh :)

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang