HERA [16]

6K 318 9
                                    

Tidak bisa aku bayangkan! Aku merasa sangat malu pagi ini. Peristiwa yang terjadi semalam benar-benar membuatku malu sekarang. Bagaimana aku tidak malu? Pak Leo.... Err, apa yang harus aku gunakan untuk memanggilnya sekarang. Eh yah pokoknya dia-lah, dosenku itu mengatakan hal yang cukup manis kepada diriku. Mengingat sikapnya selama ini itu adalah perlakuan yang bisa masuk ke dalam kategori manis, menurutku. Entahlah apa yang merasukinya, tapi semua kata-katanya membuatku diam. Selepas semua perkataanya, aku benar-benar hanya bisa diam. Aku merasa seperti orang jahat sampai membuat ia melakukan hal seperti itu. Akhirnya aku hanya bisa merapikan semua buku-buku milikku dan beranjak tidur ketika ia sedang membereskan piring makanku.

Yang membuat aku merasa lebih malu lagi itu adalah ketika aku terbangun, aku sudah berada dalam pelukannya. Lalu ketika aku berusaha untuk keluar dari pelukannya, ia mengetatkan pelukannya dan berbisik di telingaku. "Biarkan seperti ini, lima menit saja..." Oh astaga! Ya itulah yang dikatakannya. Perkataannya itu membuat bulu kudukku berdiri, nafasnya yang sangat terasa di leherku membuat diriku membayangkan yang tidak-tidak. Ya ampun....

Lalu sekarang. Kami berdua sedang duduk dengan tenang di kursi meja makan, sambil melahap pancake yang aku buat. Oh ralat, hanya dia yang menikmatinya, sedangkan aku terlalu sibuk memikirkan perubahan sikapnya yang benar-benar drastis pagi ini.

"Ra, kenapa ga dimakan?"

Suara Pak Leo menyadarkanku dari lamunan-lamunan aneh tentangnya.

"Ayo dimakan. Saya harus mengantarkan kamu ke kampus sebelum saya pergi ke kantor." Ia kembali menyuruhku.

"Em, gak usah Pak. Saya bisa ke kampus sendiri."

Pak Leo memandangku dengan kening berkerut. "Kamu tidak mau diantar oleh suami sendiri?"

"Ah bukan begitu Pak,"

"Sudahlah. Cepat habiskan sarapan kamu, saya tidak menerima penolakan."

Suaranya terdengar memerintah dan memaksa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menurutinya.

"Oh ya, satu lagi,"

Aku memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Mulai hari ini, panggil saya dengan sebutan Mas."

- - - - - - - -

Mobil Pak Leo sudah berhenti tepat di pelataran parkir untuk dosen. Aku sudah memintanya untuk menurunkanku di depan saja, tapi ia bersikeras untuk menurunkanku di sini, padahal ia sudah telat untuk datang ke kantor.

"Kamu selesai sampai jam berapa?"

Sebelum aku berhasil membuka sabuk pengaman yang aku kenakan, ia mengangkat suaranya sembari menatapku.

"Saya pulang sendiri aja Pak."

Ia mendengus. "Ra, tolonglah bantu saya dalam melaksanakan tanggung jawab saya..."

Aku salah tingkah. Jadi dia benar-benar serius dengan ucapannya semalam. "Eng, gak usah dipaksakan Pak... Saya minta maaf atas perkataan saya yang kasar semalam." Ucapku agak ragu.

"Hilangkan kebiasaanmu memanggil saya dengan sebutan Pak." Katanya.

"Ah.... maaf."

"Mau kamu bicara seperti semalam atau tidak, saya akan tetap begini. Ini sudah jadi jalan takdir kita berdua dan harus dijalani. Bisa kan kamu bantu saya untuk menentukan apa yang akan terjadi di masa depan kita?"

Aku menatapnya. Suaranya terdengar tulus. Benar juga sih kata dia. Kami berdua tidak mungkin terperangkap terus dalam keadaan seperti ini.

"Nanti saya pulang sama Shilla aja Pak, eh maksudnya Mas...."

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang