HERA [22]

5.3K 370 8
                                    

Pusing. Silau. Kepalaku terasa berat. Samar terdengar bunyi mesin, suaranya monoton seperti ritme detakan jantung. Udara di sini bercampur dengan sesuatu. Ugh, aku kenapa?

"Ra...."

Aku berusaha membuka mataku yang terasa sangat berat ini. Suara siapa itu, sepertinya aku kenal.

"Udah jangan dipaksa buka mata dulu kalau masih gak enak..."

Terasa sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Ayo mata... Terbukalah.

"Ah... Pak...?"

"Kamu mau minum dulu?"

Aku mengangguk. Tenggorokanku memang terasa kering. Ia mengambil segelas air putih yang ada di rak berwarna putih di sebelahku. Dengan dibantu olehnya, aku meminum air itu hingga tersisa setengah gelas.

"Haus ya?" Tanyanya dengan kekehan kecil. Ia kembali meletakkan gelas tersebut ke tempat awalnya, setelah itu ia kembali pada posisinya dan menatapku dengan sorot wajah yang, em, aku sulit menjelaskannya.

"Ini di mana?"

"Rumah sakit."

"Apa? Kenapa saya bisa ada di rumah sakit Pak?"

Ia tersenyum. "Sepertinya lebih baik kamu menangis dan memohon saja sama saya,"

Aku mengerutkan keningku. "Kok begitu Pak?"

"Kamu bersikap lebih manis saat menangis-nangis di depanku beberapa saat yang lalu."

Aku langsung mengalihkan wajah darinya. Rasa malu langsung menyelimuti diriku begitu teringat akan hal yang belum lama aku perbuat. Pasti sekarang pipiku sudah merah padam.

"Saya hanya bercanda," Kedua tangannya kembali meraih puncak kepalaku dan mengusapnya dengan lembut. "Kamu pingsan jadi kamu ada di sini."

"Mas maaf..."

"Eh, jangan, jangan duduk dulu," Leo menahan tubuhku yang akan bangkit untuk duduk. "Udah tidur lagi aja, jangan mikirin apa-apa. Saya tidak ingat lagi ada kejadian apa sebelum kita di sini." Katanya. Senyuman masih jelas tercetak di bibirnya.

"Tapi saya hutang maaf dan penjelasan sama kamu..."

"Kamu yakin mau menjelaskan semuanya di sini? Mas tidak menjamin tidak akan marah lagi dan kembali membuat kamu pingsan."

Aku merenung mendengar pembicaraannya. Tekad bulatku jadi pudar tiba-tiba.

"Besok kamu bisa pulang, jadi kita selesaikan besok saja di rumah ya."

Mau tidak mau aku mengangguk. Lagipula aku mengantuk juga, ya jadi memang lebih baik aku tidur. Kepalaku masih agak terasa berat dan mungkin dengan tidur bisa memantapkan mentalku untuk menjelaskan semuanya kepada Leo.

"Kalau kamu butuh apa-apa kasih tau Mas aja ya... Mas selalu ada di sini kok." Ia mengecup keningku dengan lembut. Rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhku, membantu kedua mataku untuk tertutup.

- - - - - -

Hari sudah pagi, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Di depanku hanya ada Keano, Leo dan seorang suster yang sedang memeriksa seluruh keadaanku sebelum aku diperbolehkan pulang. Aku ingin cepat-cepat pulang, aku sangat tidak nyaman kalau hanya berbaring tak berdaya.

"Ah Pak Leo, Nona Hera sudah semakin baik. Tapi tolong tetap diminum obat yang diberikan dokter sampai tiga hari ke depan. Itu sebagai antisipasi agar kesehatan Nona Hera benar-benar pulih." Suster itu berkata sembari melepas papan nama di ujung bed.

"Terima kasih sus." Balas Leo.

"Sama-sama Pak, semoga lekas pulih ya Nona Hera. Saya permisi."

Aku memberikan senyuman kepada suster itu dan ia pun keluar dari ruanganku. Aku menatap kedua laki-laki yang ada di depanku.

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang