"Ya sudah nanti pulang bareng sama saya."

Aku tidak menjawab ucapannya. Aku hanya menarik tangannya lalu mencium punggungnya dan bergegas pergi keluar dari mobil dengan suasan aneh itu.

Benar-benar ya. Dia makan apa semalam sih? Apa ada yang gak sengaja salah kasih racun ke minuman atau makanannya? Harusnya ngasih racun pembunuh, eh malah yang dikasih racun jadi baik. Hih aneh-aneh.

BRUK.

"Aww."

"Eh... Maaf, maaf."

Aku membersihkan celanaku yang sedikit kotor lalu beranjak berdiri. Di depanku sudah berdiri seorang cowok yang memiliki postur tinggi dan memakai kacamata. Ya ampun! Dia tampan sekali!

"Maaf ya? Lo gak kenapa-napa kan?"

"Ah, eh, enggak kok gak kenapa-napa. Santai aja," sebenarnya aku mau kenalan. Sangat-sangat ingin. Tapi ketika teringat Pak Rusdi. Lebih baik aku cepat pergi dari sini sekarang juga. "Eh sorry ya, gue ada kelasnya Pak Rusdi. Duluan ya!"

"Eh tunggu!"

Dia memang masih memanggil, tapi aku gak akan menoleh dan kejadian ini membuat kami berkenalan dan saling suka terus jadian. Gak, gak akan seperti itu. Karena pertama, sampai tepat waktu di kelas Pak Rus lebih penting dari kenalan sama cowok ganteng. Lalu kedua, aku sudah punya suami, ingat?

"Yeeay, Hera gak telat lagi!"

Sesampainya di dalam kelas. Teriakan Shilla menyambutku dengan sangat kencang. Anak-anak di dalam kelas pun risih mendengar teriakan Shilla. Dasar anak gak tau malu, sudah kuliah masih serasa di SMA aja.

"Berisik Shil!" Tegur Gunawan. Salah satu mahasiswa yang jam mata kuliahnya pasti sama denganku dan Shilla.

Aku mengambil tempat duduk di sebelah Shilla. Mengambil napas dalam-dalam. Membiarkan sebentar perkelahian kecil di antara Shilla dan Gunawan.

"Eh, eh, Pak Rus!"

Nyaris sama seperti di SMA. Kelas ini langsung menjadi rapi karena hanya seorang guru killer yang akan masuk ke dalam kelas.

"Selamat Pagi saudara-saudari. Yang saya tugaskan untuk membawa tugas puisi kontemporer kemarin siapa?"

Hanya dengan ucapan selamat pagi, ia langsung menanyakan masalah tugas. Ampun deh ini dosen. Sebenarnya dia ini dosen atau guru TK sih?

"Baiklah, saya minta untuk semua. Karena materi kita sudah habis dan masih ada pertemuan saya di kelas ini. Saya sengaja menugaskan ini untuk kalian. Sekarang coba jabarkan makna dari puisi yang kalian pilih. Silahkan siapa duluan yang akan mempresentasikannya?"

Aku lagi mumet, sudah pasti aku tidak mau maju sebagai yang pertama. Biarkan orang-orang sok pintar dan sok berguna bagi bangsa dan negara ini yang mengajukan diri untuk maju.

"Ah ya kamu."

 Hah emang enak tuh maju duluan.

"Kok diam saja? Ayo maju."

Dih, tadi minta duluan, sekarang lama-lamain. Siapa sih yang mau maju?

"Jocelyn Hera Ariana, betul?"

Aku mendongak mendengar namaku dipanggil. Dengan heran aku memandang Pak Rus. "Saya Pak."

"Ya silahkan maju."

Aku terkejut. Kenapa jadi aku duluan yang maju, ampun deh. Sial banget pagi ini.

"Saya yang maju Pak?"

"Ya, siapa lagi tadi yang saya sebutkan?"

Baiklah. Memang aku sedang tidak beruntung. Dengan langkah sangat gontai, aku berjalan menuju depan kelas. Jangan kalian anggap kelas di perkuliahan sama dengan kelas di SMA. Ini sama sekali tidak sama.

"Selamat Pagi semuanya, saya Jocelyn Hera akan menyampaikan sedikit makna dari puisi kontemporer yang saya pilih," Aku mengawali pembicaraan ini. "Saya memilih Luka karangan SCB karena di dalam puisi ini terdapat makna yang banyak dalam sebuah kata yang tertulis di dalamnya."

Oke, Pak Rus memandangku dengan tatapan mata yang disipitkan.

"Seperti yang kita tau, atau bahkan mungkin ada yang belum tau. Isi puisi ini hanyalah sebuah kata haha. Ya, itu adalah kalimat tawa. Tapi yang dipertanyakan adalah mengapa tawa dikaitkan dengan luka? Menurut pendapat saya. Tawa yang tertulis dalam puisi ini adalah tawa akan luka di hati kita, atau bahkan tawa kepedihan karena sebuah kesialan. Tapi tidak dapat disalahkan, jika ada yang mengartikan dan bahkan mengatakan bahwa isi dan judul puisi ini tidak kontras. Puisi ini dapat dinilai dari sisi manapun, siapapun dan apapun cara penilaiannya. Yang terakhir, saya selalu terkesan dengan gaya menulis puisi yang diterapkan oleh Sutardji di setiap puisi-puisinya."

Lama-kelamaan terdengar gemuruh tepuk tangan. Yah, setidaknya, dalam moodku yang sedang tidak enak ini, aku tidak mengatakan hal yang asal-asalan tadi. Walaupun mungkin terkesan biasa saja, setidaknya Pak Rus tidak marah karena aku mengatakan hal yang tidak-tidak.

"Bagus-bagus, sudah cukup bagus. Mungkin keterlambatanmu waktu itu, tertutupi dengan berdirinya kamu di depan tadi." Pak Rusdi menatapku sambil mengangguk-angguk senang.

Setidaknya, ada sedikit kebahagiaan di balik semua kesialan pagi ini.

- - - - - - - - -

"Yaampun! Kayaknya suntuk mulu deh daritadi?" Shilla dengan bawelnya terus bertanya kepadaku. Dia juga yang salah, sudah tau enggak direspon, tapi malah tetap ajak ngobrol. "Hera! Ish dengerin gue gak sih daritadi???"

"Berisik ah Shil."

"Ih, ih, ih, gue ngomong digituin. Ngeselin banget sih lo Ra, gue udah capek-cap...." Bagus, Shilla berhenti bicara. Tapi tunggu dulu, apa yang membuat Shilla berhenti bicara?

Karena rasa penasaran aku mendongak, mencari hal apa yang membuat Shilla sanggup berhenti bicara. Apa. Itu bukannya cowok yang aku tabrak tadi pagi ya? Apa Shilla benar-benar diam karena dia?

"Ampun, Hera.... Ganteng banget, atletis banget, gentleman banget, parah..... Gakuat liatnya!" bisik Shilla sembari meringis gemas melihat cowok yang sedang berjalan ke arah kami.

Siapa ya dia? Aku tidak pernah melihat dia berkeliaran di Fakultasku. Apa mahasiswa baru? Tapi gak mungkin, belum ada penerimaan mahasiswa baru. Apa mungkin mahasiswa dari fakultas lain ya?

"Ya ampun Hera, itu dia ganteng banget....." Lagi-lagi komentar Shilla terasa sedikit memekakkan telinga walaupun dia berbicara dengan berbisik.

"Hai." Yap. Kini dia sudah berdiri di hadapan kami berdua dengan senyuman manis yang sangat menawan itu.

"Hera Carl!" Suara itu. Kenapa suara itu terdengar di sini. Ini kan kantin. Bukan ruangan dosen.

"Siang Pak Leo." Sapaan dari Shilla menyadarkanku bahwa suara yang kudengar bukanlah halusinasi. Tapi benar-benar suara dari orang yang membuatku merasa sial sepanjang hari ini.

"Siang Ashilla. Kalian sudah selesai kelas Bu Liona?" Balasnya sekaligus bertanya kepada Shilla.

Shilla mengangguk dengan semangat. "Sudah Pak, dari lima belas menit yang lalu."

"Baiklah kalau begitu, temanmu yang satu ini saya bawa pulang dulu ya. Kami pamit, permisi." Dengan seenaknya ia pamit kepada Shilla, lalu menarikku untuk mengikutinya. Bunda tolong aku, masa aku harus terjebak sama orang seperti dia sih.... Malangnya nasibku.

- - - - - - -

Hai, cuma mau bilang makasih buat yang udah ngevote, comment dan masukkin Fortunately ke reading list kalian. Saya terharu jadinya :') terima kasih banyak yaa. Tetap ditunggu vommentnya guys, jangan jadi pembaca gelap. Nanti matanya sakit kalau gelap-gelapan hehe.

Auf Wiedersehen.

FortunatelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang