Lampu sorot memenuhi lapangan dari menara-menara pengintai. Tembakan terdengar jauh, tetapi ada dua drone yang melayang di atas kami.

"Kau bisa Teleportasi." Aku menggeliat di dalam jaket parkanya. Rambutku tersangkut semak. "Kenapa kita tidak langsung keluar?"

"Aku tidak hafal tempat ini."

"Aku hafal," kataku. "Ini tidak jauh dari gerbang utama. Ada dua pos di depan dan satu menara pengintai. Parit besar menghadang di depan gerbang, diseberangi satu jembatan yang mengarah langsung ke jalan dan hutan. Asal kau ingat rute dan penampakan jembatannya, kau bisa membawa kita ke sana, 'kan?"

"Bagaimana dengan penjaganya?"

"Air tidak pasang dan hujan tidak turun belakangan ini. Paritnya pasti kering. Teleportasi ke bawah jembatan saja."

Raios mengeratkan pegangannya padaku, dan kami berteleportasi lagi.

Bebas dari semak, kami diimpit dinding tanah dan bebatuan. Tanah kering di bawah kaki, bagian bawah jembatan begitu dekat sampai ubun-ubun Raios membenturnya. Ketika dia memelototiku, aku berpura-pura tak melihatnya.

"Di dekat sini ada pondokan kecil," kataku. "Kita bisa minta bantuan—"

Raios malah duduk bersandar pada dinding parit. "Giok belum keluar."

"Baiklah," kataku. Dia ternyata setia kawan. "Semoga temanmu selamat—"

"Aku tidak peduli dia selamat atau tidak," tukasnya. "Dia berjanji membawakan sesuatu dari ruang administrasi Herde."

"Eh ... baiklah." Aku merapatkan jaket ke sekeliling tubuhku dan ikut mendempet bebatuan parit di sampingnya. Cahaya dari dalam Herde masih menyorot sesekali ke luar, membentuk siluet jeruji gerbang yang jatuh pada dinding parit di depan kami. Suara derap sepatu para Agen mendekat dan menjauh silih berganti. "Bagaimana kalau kita tertangkap lagi di bawah sini?"

Raios mengeluarkan sebuah garpu makan dari dalam ransel.

"Itu buat apa?" tanyaku getir.

"Senjata," jawabnya singkat.

Garpu makan sebenarnya adalah benda yang konyol buat dijadikan senjata, terutama kalau garpu itu dari plastik dan melengkung gemuk. Namun, Raios benar-benar mampu membuat benda apa pun jadi tampak berbahaya di tangannya.

"Boleh tidak," kataku, "jangan membunuh orang lagi di depanku?"

"Balik badan saja."

"Jangan membunuh orang lagi di dekatku." Mataku menelaah hutan dan jalan. Terlintas di pikiranku untuk kabur sendirian, tetapi dalam jarak ini penjaga masih bisa melihatku. Kecuali kalau Raios mau membantuku. "Hmm, kau Fervent apa?"

Dia melirikku dari sudut matanya, tajam dan berbahaya. Tampaknya aku tidak berada dalam posisi untuk membuat percakapan.

"Tidak jadi," lirihku sembari beringsut menjauhinya.

Saat itulah suara tembakan terdengar, amat dekat hingga aku yakin tembakan itu dilepaskan di dekat gerbang. Raios mengintip keluar dari bawah jembatan. Apa pun itu yang dilihatnya membuatnya berjengit. Lalu, tanpa sempat kuhentikan, dia menghilang, berteleportasi ke suatu tempat.

Aku ditinggal ....

Kurapatkan jaket parka punya Raios ke sekeliling badanku, lalu bangkit dan memelesat keluar dari parit. Apa pun yang terjadi, terjadilah.

Baku tembak masih terjadi, dan lampu sorot makin benderang, tetapi tak seorang pun mengejarku. Malah, semua tembakan itu tampaknya tidak ditujukan ke arahku. Maka, dengan kenekatan terakhir yang kupunya, aku berlari ke arah hutan. Aku menjauhi jalan, melewati pondok, dan menabrak semak-semak tinggi yang menghadang karena aku terlalu takut untuk berhenti atau pun menoleh ke belakang.

RavAgesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt