Chapter 37 - Bimbang

Comincia dall'inizio
                                    

Ramon mengangguk mengerti, "Terus, waktu lo tahu Megan ninggalin Mora karena Renatha? Apa yang ada di pikiran lo waktu itu?"

"Gue sedih liat Mora sedih, gue nggak bisa lihat dia sedih. Jadi, selama ini gue yang selalu hibur dia, bawa dia pergi kemanapun dia mau, apapun itu gue lakuin. Dan biar waktu yang menjawab, kalau seandainya setelah ini Mora emang memilih gue, ya gue dengan senang hati menjaga dia. Tapi kalau dia nggak pilih gue dan masih tetap mencintai Megan, gue nggak mau dia cuma diam tanpa berjuang. Gue mau dia perjuangin apa yang dia mau. Kalau dia mau Megan kembali, dia harus berjuang mengembalikan Megan untuk bisa bersama-sama dia lagi.." Jawab Alivio panjang lebar, wajahnya tertunduk ke bawah, "Gue nggak bisa terima kalau Mora nggak bisa milih antara gue dan juga Megan, kalau dua-duanya kalah, ini nggak adil untuknya."

"Renatha— entahlah, cewek itu terlalu keras kepala.." Sela Claveron sembari meneguk minumannya.

"Betul!" Sahut Kelvin, "Udah sekian kali kita berusaha membuat Renatha mengerti kalau Megan nggak cinta sama dia, tapi ya gitu.. susah.."

"Cewek kan memang keras kepala.. jangankan Renatha, kayaknya semua cewek emang gitu deh? Hahahaha," ujar Ramon di susul tawanya yang menggelegar.

"Eh? Iya juga ya! Pantesan selama ini dia keras kepala! Batu banget, padahal kan demi kebaikan dia juga.." Claveron menyetujui.

"Makannya jangan terlalu banyak mikirin cewek! Bikin pusing!" Seru Kelvin membuat semua orang tertawa.

"Pada punya pacar sih kayaknya ya? Jadi kerasa kan tuh pusingnya punya cewek hahaha!" Ejek Alivio puas.

Ramon mengangguk setuju, "Bener, kerasa sama gue. Mau ke salon nggak di temenin, bete. Mau ini itu nggak di turutin, bete. Kadang-kadang pusing, tapi kalau nggak ada? Ya di cari juga!"

"Tipe-tipe bucin nih!" Sela Claveron sembari menyenggol lengan Ramon.

"Yeu! Kayak lo nggak aja pe'a!" Ramon balik mengejek, tak terima.

"Kayak gue makannya, banyak bercanda aja biar tentram aman dan nyaman!" Kelvin membela diri sendiri.

"Halah! Yang sering berantemnya kan lo, Nyet!" Ramon mengingatkan Kelvin, membuat sahabatnya itu menepuk jidatnya sendiri.

"Haduh gue lupa!"

Alivio ikut tertawa mendengarnya, merasa hangat saat berada di tengah-tengah mereka. Saling bercanda tawa, mengejek satu sama lain, saling support, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka itu adalah sahabat yang pastinya membuat iri banyak orang. Ibarat seekor semut, yang tidak pernah bisa hidup sendirian, melainkan saling bergotong royong atau saling membantu dan membutuhkan satu sama lain.

Alivio sempat menyesal karena telah bepikir hal jelek soal Destroyer. Karena sesungguhnya, mereka jauh dari hal itu. Mereka sudah seperti keluarga, dan Alivio kagum karenanya.

Sementara itu di lain tempat, Megan yang sempat tertidur akhirnya terbangun. Begitu melihat ke arah samping, ia melihat Mora yang juga sudah tertidur dengan posisi tubuhnya yang terduduk di kursi dengan kepalanya yang tertunduk di atas tempat tidur Megan. Satu tangan Mora menggenggam tangan Megan erat.

Megan yang tidak ingin membangunkan Mora hanya bisa tersenyum dan mengusap-usap tangan kecil itu, "I love you, Mora.. aku hanya ingin menikah denganmu bukan dengan orang lain.. aku hanya mencintaimu. Tolong, tetaplah berjuang.. demi kita.." Bisik Megan pelan, Mora tetap tertidur pulas karena kelelahan.

Tanpa Megan sadari, sebelum dirinya bangun dari tidur, Renatha sebenarnya sudah berdiri di samping pintu, tepatnya di balik tembok ruangan itu. Dia lagi-lagi berniat ingin menjenguk Megan, namun ketika Megan dan Mora terlihat sedang tidur, Renatha mengurungkan niatnya. Tapi, sebelum sempat Renatha keluar dari ruangan itu, apa yang Megan katakan tadi otomatis terdengar, selain karena Renatha memang sedang berada di sana, keadaan ruangan itu pun begitu hening hingga suara sekecil itu pun bisa terdengar oleh Renatha yang jaraknya tidak jauh dari posisi tempat tidur Megan.

Setelah mendengar hal menyakitkan itu, Renatha langsung membuka pintu dan keluar dari ruangan itu secepat mungkin. Ia berlari menuju taman belakang rumah sakit untuk menumpahkan segala emosinya di sana. Ini benar-benar membuatnya lemah tak berdaya. Renatha tidak ingin merasakan sakit lebih dari ini. Dia tidak ingin lagi menelan semua kenyataan pahit yang ada. Dia hanya ingin merasakan kasih sayang, di mengerti orang lain, dan merasakan kebahagiaan.

Rasanya, dia sudah ingin menyerah saja.

Renatha sedang menangis tersedu-sedu di taman itu. Dan tiba-tiba, seseorang datang menepuk pundaknya dari belakang. Orang itu adalah Alex, yang lagi-lagi datang di saat Renatha sedang bersedih seperti ini. "Lex? Lo ngikutin gue?" Tanya Renatha sembari sesenggukan.

Alex mengangguk, "Iya.. gue takut lo kenapa-kenapa. Ada apa?"

Renatha hanya kembali menangis lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ini semua salah gue kok, Lex. Apa yang lo bilang itu bener. Gue yang salah dari awal.. kenapa gue ini bodoh banget sih?! Kenapa gue mesti maksain perasaan gue dari awal?"

"It's okay.. nggak apa-apa. Lo boleh nangis malam ini sepuasnya daripada nanti—setelah lo mendapatkan apa yang lo mau dan seketika lo sadar kalau apa yang lo lakukan itu salah," Alex berusaha memberikan pengertian, "Lebih baik menangis sekarang daripada menyesal di kemudian hari."

"Gue udah pasti nyesel karena nikahin orang yang nggak cinta sama gue, Lex.."

Alex mengangguk pelan, "Iya.. syukur kalau lo udah ngerti sekarang. Lo berhak menikahi seseorang yang juga punya perasaan yang sama kayak lo. Lo berhak bahagia dan di cintai. Megan? Dia nggak bisa kasih semua itu sama lo.."

Renatha menghapus air matanya berusaha tegar, "Lo bener, gue berhak bahagia. Gue mau batalin pernikahan itu, Lex."

"Lo yakin?"

Renatha mengangguk, "Gue yakin.. semua ini hanya buang-buang waktu, Lex. Untuk apa kalau hanya gue yang merasa bahagia tapi dia nggak? Dia nggak bahagia sama gue. Dan semua inilah yang bikin gue selalu merasa kalau gue nggak pernah puas. Karena Megan— nggak pernah merasakan hal yang sama. Gue udah cukup sakit dengan semua ini.. gue mau nyerah aja, Lex. Gue nyerah.."

"Gue rasa— keputusan ini adalah keputusan terbaik, Ren.. gue dukung lo 100%.. gue ada di samping lo kalau lo butuh gue.." Jawab Alex yang benar-benar membulatkan tekad Renatha. Ia merasa ada Alex yang akan ada di sampingnya, membantunya untuk keluar dari semua kesakitan ini.

Kemudian, Renatha langsung berjalan menjauh dari Alex. Memandangi langit dan suasana kota di malam hari dari atas gedung. Satu tangannya merogoh saku jaketnya, berusaha mengambil ponsel yang ada disana. Begitu ponsel itu ia dapatkan, ia langsung saja mencari nomor sang Ayah untuk diajaknya bicara.

Setelah sempat menunggu sambungan telepon yang cukup lama, akhirnya Tegar mengangat telepon itu.

'Halo? Ada apa anakku?'

"Pa.. Ren— Renatha—" Jawab Renatha gugup.

'Ada apa?' Tanya Tegar sekali lagi.

"Renatha ingin pernikahan ini batal saja.."

***

Give me ur vote + comments guys sebanyak2nya! Itu sangat berarti untukku :)

-tbc-

Mora & Megan 2Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora