Chapter 10 - Terpaksa

2.7K 157 42
                                    

Megan masih berdiri di depan seorang perempuan yang kini tengah duduk menatapnya. Seseorang yang tak pernah ingin ia temui kembali, seseorang yang telah memperkenalkan kepadanya tentang apa itu sakit hati. Megan enggan bicara lagi saat tahu kalau 'dia' ternyata mungkin bisa jadi adalah putri dari Om Tegar, kerabat sang Ayah.

"Apa kabarmu, Megan?" Sapa Om Tegar dengan ramah, "Om sekarang membawa seseorang yang telah sedari tadi menunggumu di rumah. Dia adalah seseorang yang om katakan sering menceritakan segalanya tentangmu, Renatha, anakku satu-satunya."

Megan hanya diam saat mendengar itu, tepat sekali dengan semua perkiraannya. Bahkan ia enggan untuk tersenyum, tidak seramah saat pertama kali bertemu dengan Tegar.

"Apa kabar, Megan? Lama tidak berjumpa denganmu," ujar Renatha tersenyum, wajahnya terlihat senang saat untuk pertama kalinya lagi ia bisa bertemu dengan Megan setelah sekian lama.

"Apa kamu sudah pernah mengenal Renatha sebelumnya, Nak?" Tanya Mama Megan, sembari menuntun Megan untuk duduk di sampingnya. Dengan tubuh yang lemas, Megan hanya mengikutinya.

"Tidak pernah mengenalnya," Dusta Megan. Renatha hanya bisa menundukkan wajahnya saat mendengar jawaban Megan itu.

"Baguslah kalau begitu. Itu berarti, sudah saatnya kamu dan Renatha saling mengenalkan diri, saling dekat satu sama lain," ujar Papa David, "Cepat atau lambat kalian akan saling mengenal, dengan begitu pernikahan itu akan segera terwujudkan."

"Apa? Apa maksudnya itu? Pernikahan? Apa maksud Papa?!" Sentak Megan yang tentu saja tak setuju.

David mengangguk tegas, "Renatha cepat atau lambat akan segera menikah denganmu, Megan. Om Tegar dan juga Papa sudah sepakat soal ini. Bahkan, Renatha pun ikut setuju akan hal itu. Dengan begitu, kita bukan hanya akan menjadi rekan bisnis, melainkan akan menjadi sebuah keluarga besar! Papa yakin, perusahaan kami akan semakin berkembang pesat, dan kamu akan menjadi bagian dari kami, Megan. Kamu tidak perlu menjalankan bisnis apapun dengan teman-temanmu karena kau akan lebih dari itu!"

Megan tertawa kecil seperti mengejek, "Percakapan apa ini? Papa tidak pernah melarang atau mengatur apa kehendak Megan sedari dulu. Papa adalah orang yang selalu menghargai setiap keputusan Megan. Dan apa sekarang? Tiba-tiba Papa ingin Megan menikah? Apa yang Papa pikirkan? Papa tahu betul kalau Megan saat ini sudah memiliki Mora. Dan Megan hanya mau Mora yang menjadi pendamping Megan nanti!"

"Megan, apa yang kau bicarakan? Kau sudah setuju dengan hal ini! Kau ini bicara apa!" Seru sang Ayah dengan kedua matanya yang membulat marah, tentu saja David tidak ingin malu di depan Tegar setelah apa yang telah mereka rencanakan.

"Megan yang harusnya bertanya. Megan tidak mau adanya pernikahan! Sudah, Megan capek mau tidur!" Sentak Megan sembari bangun dari tempatnya dan berjalan ke lantai atas— masuk ke kamarnya dengan membanting pintu sekencang mungkin.

Di kamar, Megan yang marah lantas melemparkan semua barang yang ada ke segala arah. Merasa kecewa dan marah di hari yang sama, dengan seluruh kenyataan yang ada. Ini semua begitu menguras tenaga dan juga hati, Megan begitu tak habis pikir dengan apa yang telah sang Ayah lakukan di tengah-tengah masalah kini sedang menimpanya.

Megan lalu menendang tempat tidur besar itu hingga berubah posisi, melempar bantal-bantal hingga jatuh ke lantai, entah apa yang kini bisa Megan lakukan selain melampiaskan kemarahannya. "Mengapa hari ini masalah begitu datang bertubi-tubi?" Batinnya berkata.

Tak lama, kedua orang tua Megan akhirnya memasuki kamar dengan marah. Apalagi David, napasnya yang naik turun serta kedua tangan yang ia taruh di pinggang langsung saja menghampiri Megan, "Apa yang kau lakukan?! Kau membuat Papa malu, Megan!" Sentaknya begitu keras, begitu memekakkan telinga.

"Megan yang harusnya bertanya, apa yang Papa lakukan?!" Megan balik menyentak David dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"Kau tidak mengerti apa yang sedang Papa lakukan, Megan! Semua ini tentang bisnis! Kau—"

"Jadi Papa lebih mementingkan bisnis besar-besaran itu daripada hati anak laki-laki Papa ini? Megan juga punya hati, Pa! Nggak sembarangan Papa bisa menjodohkan Megan dengan orang lain! Papa nggak bisa seenaknya melakukan hal itu! Megan punya pilihan!"

David kemudian menarik kerah jaket jeans yang sedang Megan kenakan, kemudian mencengkram itu keras-keras. Rahangnya sudah mengatup keras, dua matanya menatap anak satu-satunya itu dengan tajam, "Kamu tidak boleh melawanku, Megan. Dengarkan apa yan Papa katakan, mau tidak mau, perjodohan itu harus tetap ada, tanpa persetujuanmu atau tidak, kau akan tetap menikahi Renatha. Tidak boleh ada satupun orang yang boleh melawanku, termasuk kamu! Kamu mengerti?!"

"David, kau tidak perlu melakukan hal itu!" Sergah Stella, Ibu Megan.

Megan diam, cukup sudah, dia tidak bisa melawan sang Ayah. Jika sang Ayah sudah berkata seperti itu maka tidak boleh ada yang melarangnya, dan melawannya. Apa yang sudah menjadi keputusannya itu berarti akan menjadi keputusan semua orang, termasuk Megan. Jika semua itu adalah keinginannya, itu berarti Megan harus melakukannya. Begitulah Ayah Megan jika sudah menginginkan sesuatu, tidak boleh ada pertentangan.

Setelah Megan tidak bicara lagi, sang Ayah langsung saja melepaskan kerah jaket Megan dari cengkramannya. Kemudian, kedua kakinya melangkah pergi keluar dari kamar Megan. Sementara Megan hanya terduduk di lantai dengan wajahnya yang sedih. Tentu saja sang Ibu tidak diam saja, Stella langsung memeluk anak laki-laki satu-satunya itu— setelah Yastha tiada. Kedua tangannya mengusap punggung Megan lembut, "Maafkan Papamu.. Dia tidak bermaksud untuk kasar terhadapmu, sayang.."

Megan menggeleng, "Kenapa, Ma? Kenapa? Kalian tahu kalau Megan hanya mau Mora. Megan hanya inginkan Mora. Ada apa? Kenapa semuanya jadi berantakan seperti ini? Megan tidak mengenali Papa yang seperti tadi, dia bukan Papa, Ma.."

Stella hanya bisa memeluk Megan erat, "Mungkin ini semua yang terbaik untukmu, Papa lakukan ini untuk kebaikkanmu. Maafkan Mama dan Papa, maafkan kami yang tidak mengerti apa keinginanmu.."

"Bukan salah Mama, ini semua salah Papa." Megan kemudian berdiri dari tempatnya dan langsung mengambil kembali kunci mobilnya, "Megan mau pergi. Jangan tunggu Megan pulang, karena Megan nggak akan kembali!"

Setelah itu Megan cepat-cepat pergi dari rumahnya, meninggalkan Mama dan juga Papanya yang sedang berada disana. Namun, Megan tidak peduli. Kebahagiaannya kini telah terenggut sudah, tidak ada lagi kebahagiaan untuknya, tidak ada lagi.

***

Kasih aku komentar kalian dan akan aku berikan chapter 11! HEHEHEHE

See you di chapter selanjutnya yaaaa! Bye!

-tbc-

Mora & Megan 2Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin