Epilogue

3.1K 117 4
                                    

Aku kecil tidak menyadari siapa yang tertidur dibawah tanah dekat pohon rindang. Siur-siur semerbak angin menghempas rambut coklatku, membelai setiap kulit tubuhku. Kini aku sedang berada di daratan, tempat manusia tinggal.

Aku kecil seorang gadis penurut, usia enam tahun. Selalu hobi memeluk tubuh Mama yang harum bunga teratai. Berbeda dengan Papa yang selalu menampakkan wajah serius tapi selalu tersenyum hangat untuk aku dan Mama.

Mama bilang, kita akan bertemu seseorang spesial, begitu pula Papa yang mengangguk setuju. Aku kecil begitu polos, dimana orang spesial itu? Mengapa kita hanya mendatangi gundukan tanah berumput didekat pohon rindang?

"Ayo, Calla, sapa Pamanmu." Mama berusaha tersenyum meski air mata terus membasahi pipinya. Saat itu aku hendak menangis, siapa yang telah menyakiti Mamaku!? 

Papa tersenyum. Ini senyum kedua setelah kami tiba disini. Dia menuntunku mendekat pada gundukan tanah berumput, berjongkok, menyabut  rumput liar yang tumbuh panjang. Aku memegang setangkai bunga lily, menaruh di atas gundukan tanah, menatapnya kosong.

"Hei, kamu siapa? Mama suruh aku sebut kamu Paman Tampan. Tapi Paman ada dimana? Paman sedang bermain petak umpet denganku? Aku jago sekali bermain petak umpet dengan Sierra, dia lumba-lumba yang pintar."

Mama terkekeh. Aku berhasil membuat Mama tersenyum kembali, aku senang, berbalik memeluk Mama.

"Kata Mama, Paman Tampan itu asyik, pandai bergurau. Kita bisa bermain bersama. Tidak seperti Papa yang selalu cemberut setiap saat. Paman tau? Bahkan pengawal selalu menunduk jika berhadapan dengan Papa."

Sekarang Papa menatapku kaget dengan ekspresi yang dibuat-buat, menyebalkan, tapi aku kecil tertawa melihatnya. Sebenarnya aku memuji Papa secara tidak langsung, dia pemimpin hebat. Kalau aku besar, aku ingin memiliki pasangan seperti Papa.

Papa dan Mama berbicara lagi dengan Paman Tampan, sesekali menyeka air mata, tersenyum getir, seolah-olah mereka kehilangan seorang yang sangat berharga. Aku yakin, orang yang dikubur di sana tengah bersedih, melihat tangis Papa dan Mama.

"Calla, sini Papa gendong. Kita pulang ya, kasian adik kamu dititip Kakek Coast." Papa mengangkat tubuh kecilku dengan mudah, diikuti Mama yang berjalan dibelakang.

Aku kecil menyadari bahwa ada seseorang yang bersandar dibawah pohon rindang, menangis, melambaikan tangan padaku. Aku menepuk pundak Papa, menunjuk kearah pohon rindang, berseru semangat.

"Papa! Ada orang di sana!"

Sontak Mama menoleh, menggelengkan kepala.
Papa yang menggendongku juga berbalik melihat pohon rindang itu tetap sama, sepi dan sejuk, tidak ada siapa-siapa di sana. Papa menepuk-nepuk punggungku, berkata bahwa itu hanya khayalanku saja.

Mereka benar tidak menyadari kalau seseorang yang bersandar dibawah pohon rindang sekarang terkekeh, menyeka sisa air mata di ujung matanya. Mengatakan 'Terima kasih untuk bunganya' sambil melambaikan tangan lagi.

Aku kecil hanya bisa tersenyum, membalas lambaian tangan orang itu ketika kami semakin menjauh dari pohon rindang. Papa dan Mama menggeleng, memaklumi apa yang baru saja aku perbuat.

Dan aku kecil tidak menyadari bahwa aku dapat melihat makhluk tak kasat mata.

✺✺✺

Kami tiba di rumah Kakek Coast. Papa membawa benda besar—Mama menyebutnya mobil—berwarna hitam mengkilat. Kakek menyambut kami dengan ramah, tersenyum lebar, menampakkan garis-garis kerutan diwajahnya.

"Kalian sudah sampai. Bagaimana perjalanannya?"

"Perjalanan kami baik, Ayah." Mama menggenggam tanganku, masuk ke dalam rumah bersama Kakek Coast. Sedangkan Papa sibuk memasukkan benda besar ke dalam garasi.

Prince Of Sea [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang