Halaman 24 : Serpihan Penyesalan

3.7K 268 5
                                    

Author Pov.

DISISI LAIN, dibawah laut luas dengan ombak besarnya yang terus berkejaran. Ikan-ikan berenang dengan kelompoknya, terkecuali mereka yang kecil dan lemah hanya dapat bersembunyi disela-sela tumbuhan laut atau dibatu karang. Bahkan, menyamarkan tubuh mereka dengan berbagai cara. Itulah yang dinamakan ekosistem. Yah, mereka harus beradaptasi dengan tempat tersebut. Karena yang kuat, akan terus berkuasa.

Sea, merasa ganjil dengan sikap Okta selama beberapa hari ini. Ia terlihat manja dan selalu membesarkan masalah kecil. Sikapnya terlalu berlebihan kepada Sea.

Misalnya, saat Sea dan Okta pergi taman. Okta melihat lumba-lumba kecil yang berenang disamping induknya. Bukan karena takut, tapi hanya terkejut atas kedatangan lumba-lumba tersebut disebelahnya membuat Okta langsung menangis sambil memeluk Sea dengan kencang. Terlalu berlebihan bukan?

Atau, kejadian saat Sea memperkenalkan Octallypus si swalliev besar dengan mulut selebar tubuhnya itu. Sea bilang, "Ini Octallypus, dia peliharaanku. Kau tau, Octallypus diambil dari namamu yaitu Okta ditambah bahasa latin." Saat mengetahui bahwa Octallypus diambil dari namanya, Okta menangis kencang dan meninggalkan Sea. Ia berkata dengan isakkan, "Kau jahat, Sea. Tega-teganya kau memberikan namaku kepada ikan jelek itu! Aku yang cantik ini kau samakan dengan ikan besar dan mengerikan itu!!" (Dsr lebay!)

Sea memijit pelipisnya yang berdenyut. Mengingat Okta membuat kepalanya sakit dan emosi, tentu saja. Sea jadi teringat oleh Vale. Ya, Vale, gadis polos yang menghibur hatinya. Ia tidak pernah menangis jika hal tersebut tidak melukai hati kecilnya.

Vale....
Kemana dia? Sedang apa dia? Dengan siapa dia? Mengapa dia pergi? Apakah Vale bahagia? Ataukah ia terluka?〰Itulah pertanyaan yang selalu terngiang dipikirannya. Apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya ini?

Disetiap pilihan akan berakibat fatal untukmu.

Kata-kata itu, ternyata adalah sebuah ancaman secara halus yang dilontarkan Raja kepadanya. Sea baru menyadari makna kata tersebut. "Mengapa aku terlalu bodoh?"

Dikamarnya, ia menatap sendu bunga air berwarna biru tua yang tidak pernah layu sedikitpun. Bunga yang membuat tubuhnya lebih kuat bahkan terasa ringan. Juga mutiara besar itu yang terlihat berkilat-kilat setiap harinya.

"Astaga, aku harus mencari Vale sekarang! Ahh, sebelum itu, aku harus menemui Ayah," Sea berenang dengan ekornya menuju kamar sang ayah.

Ceklek,,, "Ayah?" Sea mengintip dari sela-sela pintu. Ia pun membukanya perlahan dan pandangannya menajam bersamaan dengan rasa sesak yang terus menghimpit pernapasannya. Melihat sang ayah....

......sedang dililit oleh salah satu tentakel Okta. Bukannya merasa takut, Okta malah tersenyum miring. "Oh, hai Sea, ingin menonton kematian ayahmu? Oh,,, atau kau ingin berpesan didetik-detik terakhirnya?"

"Kau, apa yang kau lakukan Okta!! Lepaskan ayahku!!" Sea menyerang Okta dengan Trisullanya. Sebuah kilatan hampir saja mengenai kepalanya, namun Okta memiringkan kepalanya ke arah kiri, membuat kilatan emas tersebut lolos begitu saja.

"Apa yang aku lakukan? Aku ingin membunuh Ayahmu. Kau melihatnya bukan?" Okta mengeratkan lilitan tentakelnya dileher sang Raja.

"Aakkkhh!!!" raung Raja Neptune yang terus berusaha melepaskan tentakel perempuan belang ini. "Ka-kau munafik Okta!!" pekik sang Raja.

"Hahaha..." Okta memegang perutnya karena terus tertawa. "terima kasih atas pujiannya. Lagipula, jika kau cerdas pasti kau sudah mengetahui kemunafikanku ini sedari awal, tua bangka!"

"Jaga ucapanmu!" Sea kesal karena Okta mengatai ayahnya. "Dasar, jalang!!"

Okta marah. Ia melilit tubuh Sea dengan tentakel coklat berbintik merah tersebut. "Seharusnya kau yang menjaga ucapanmu, Pangeran. Atau,, ingin kubungkam dengan salah satu tentakel milikku?"

Prince Of Sea [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang