16 | Sakit

39 5 0
                                    

Nevan memberhentikan motornya di tepi jalan. Tepat di samping lapangan yang luas terdapat rumah kosong. Hujan yang teramat sangat deras membuat pandangannya sedikit kabur hingga akhirnya ia memilih untuk berteduh.

Tak berapa lama kemudian hujan yang semula turun sangat deras kini mulai reda dan hanya tinggal gerimis kecil saja.

Saat Nevan hendak pergi matanya menyipit melihat sebuah motor yang terparkir di tepi jalan yang dibiarkan saja tanpa ada pemiliknya. Ia memperhatikan sekitar berharap bisa menemukan siapa pemilik motor tersebut.

Ia membuka matanya lebar kala melihat seseorang terbaring tak berdaya di lapangan. Dengan jas hujan yang ia kenakan, Nevan sedikit berlari menghampiri orang tersebut.

Cowok itu semakin terkejut saat mendapati siapa orang itu. Dengan susah payah ia membopong tubuh Riksa yang terkulai lemas tak berdaya menuju rumah kosong tadi. Membaringkan Riksa pada sebuah kursi yang lumayan lebar dan panjang.

Untungnya sudah tidak hujan deras seperti tadi. Karena ia tidak bisa membawa Riksa sendiri akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Adrian untuk membantunya.

"Halo, Adrian lo di mana?"

"Di rumah."

"Bisa bantu gue bentar nggak? Jemput gue pakai mobil di Jalan Merdeka di rumah kosong deket lapangan."

"Keadaan lagi darurat banget, Riksa pingsan."

"Oke, gue ke sana sekarang."

Nevan menunggu Adrian untuk datang menjemputnya. Sementara itu ia menghubungi Zidan dan Aldi—teman satu kelasnya—untuk membantu membawa motornya dan juga membawa motor Riksa.

Tak lama kemudian Adrian dan ke-dua temannya datang secara bersamaan. Adrian keluar dari pintu mobil dan menemui Nevan.

"Kenapa dia bisa kayak gini?" tanya Adrian, ketiga temannya pun ikut memerhatikannya ingin tau bagaimana cerita yang sebenarnya.

"Gue nggak tau, tadi gue lagi neduh di sini dan gue lihat motor tapi nggak ada pemiliknya. Pas gue lihat sekitar ada orang yang terkapar di lapangan. Gue langsung samperin dan ternyata Riksa."

Adrian, Zidan, dan Aldi mengangguk. "Lo berdua bantu gue buat bawa motor gue sama Riksa. Gue ikut Adrian di mobil bawa Riksa."

Nevan duduk di belakang bersama Riksa yang masih tidak sadarkan diri. Ia sebisa mungkin menahan Riksa agar tidak jatuh.

"Kita bawa ke mana. Ke rumahnya atau ke rumah sakit?" tanya Adrian.

"Rumah sakit aja, gue nggak tau rumahnya."

Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah sakit. Riksa langsung dibaringkan dalam brankar rumah sakit lalu didorong menuju menuju ruang rawat. Namun tiba-tiba sebuah ponsel terjatuh dari saku celana Riksa.

Nevan meraih ponsel itu sementara Adrian masih mengikuti perawat yang mendorong brankar itu. Ia mengutak-atik ponsel Riksa. Untungnya ponsel Riksa kedap air hingga ponselnya tidak mati meskipun kehujanan.

Ia menekan sebuah tombol hijau untuk menelepon Mama Riksa.

"Halo, Tante. Saya Nevan teman satu kelas Riksa. Sebelumnya maaf mengganggu waktu Tante. Saya menemukan Riksa pingsan di lapangan dan saya membawa dia ke Rumah Sakit Darmawangsa."

"Baik, Tante. Saya tunggu."

Nevan berjalan dengan sedikit berlari menghampiri Adrian yang sudah terlebih dahulu berada di depan ruang rawat.

"Mama Riksa udah gue telepon. Bentar lagi beliau bakal ke sini."

Tak beberapa lama kemudian terlihat dua orang tengah berlari menghampiri mereka. Rupanya itu adalah Mama Riksa dan juga adiknya.

"Gimana keadaan anak saya?" tanyanya.

"Masih ditangani dokter, Tante."

"Saya sangat berterima kasih pada kalian. Kalau tidak ada kalian saya nggak tau lagi Riksa bakal bagaimana."

Nevan dan Adrian tersenyum tulus. "Sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong, Tan. Semoga Riksa segera sadar."

Seorang dokter keluar dari ruangan di mana Riksa berada. Nela segera menghampiri untuk bertanya bagaimana keadaan anaknya sekarang.

"Bagaimana keadaan anak saya sekarang, Dok?"

"Alhamdulillah, anak Ibu sudah sadarkan diri. Namun, dia sedikit demam karena terlalu lama kehujanan. Ibu bisa lihat keadaan dia sekarang."

"Baik, terima kasih, Dok.''

Mereka langsung memasuki ruangan dan melihat keadaan Riiksa di sana. Cowok itu masih terlihat terbaring lemah tak berdaya di brankar. Ia menatap satu per satu orang-orang yang menghampirinya.

"Syukurlah, kamu baik-baik aja, Riksa. Mama khawatir banget banget waktu teman kamu nelepon Mama kalau kamu sedang pingsan."

Riksa melirik ke arah Nevan yang juga melihat ke arahnya. Ia menatap Nevan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Mungkin cowok itu ingin berterima kasih tehadap Nevan karena ia sudah menolongnya.

"N-Nev," panggil Riksa sedikit terbata-bata. Nevan menautkan alisnya bingung.

"Makasih," ucap Riksa tulus. Meskipun ia sedikit kesal dengan perlakuan Nevan terhadap Clara dulu setidaknya sekarang Nevan telah berjasa mau menolongnya. Jika saja Nevan tidak datang entah apa yang akan terjadi adanya.

Nevan tersenyum tipis. Meskipun ia juga membenci Riksa tetai ia tidak akan menghilangkan kewajiban untuk menolong orang lain.

"Clara," panggil Riksa lirih seraya memandang pintu ruangan yang terbuka menampilkan gadis yang disebut namanya tadi di sana.

Clara mendekat ke arah mereka dan berdiri di sebelah Riksa. Sebelum bicara dengan Riksa ia melirik ke arah Nevan. Mata sayunya mengisyaratkan bahwa ia mengucapkan terima kasih kepada Nevan. Sewaktu Nevan selesai menghubungi Mama Riksa ia menghubungi Clara. Rasanya ia juga berhak tau atas keadaan Riksa yang notabenya adalah pacar Clara.

"Kamu tau?" tanya Riksa menatap lekat manik hitam milik Clara.

Gadis itu mengangguk. "Dikasih tau Nevan. Harusnya kamu nggak main hujan-hujanan, Ion."

"Maaf."

Clara meraih tangan Riksa untuk ia genggam.

"Cepat sembuh."

"Pasti."

Nevan memberi kontak mata pada Adrian. Adrian menyipitkan matanya sementara Nevan membalasnya lewat dagu yang ia gerakkan menuju pintu. Adrian paham betul maksud Nevan pasti akan mengajaknya keluar karena ia tidak mau melihat Clara dan Riksa beradu kasih lebih lama.

"Tante, saya sama Nevan pergi dulu, ya. Lo cepet sembuh, Sa. Ra, kita pergi dulu, ya."

"Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut," titah Nela pada mereka yang dibalas oleh anggukan keduanya.

"Iya, Tante," jawab Nevan dan Adrian serentak.

Perlahan mereka berdua keluar dari ruangan sementara Clara menatap kepergian mereka berdua. Ternyata meskipun hubungan Nevan dan Riksa sedang tidak baik, ia tetap mau memberitahu hal ini padanya.

Clara beralih menatap Riksa. "Kenapa tadi bisa pingsan?"

Nela dan Lily yang berada di sebelahnya juga menatap Riksa, menunggu cowok itu untuk menyatakan yang sebenarnya

"Cuma mau main hujan-hujanan," balas Riksa berbohong.

"Lain kali jangan kayak gitu lagi!" perintah Clara.

Nela memperhatikan keduanya. Sepertinya Clara adalah anak yang baik. Sayangnya ia belum mengetahui bahwa mereka berbeda agama.

Jika ia tau akan hal itu mungkin ia juga tak akan mengizinkan Riksa untuk berpacaran dengan Clara.

NaCl [END]Where stories live. Discover now