10 | Kebenaran

46 8 0
                                    

Jam istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Di masjid sekolah terdapat beberapa orang yang sedang melakukan ibadah salat duha. Meskipun begitu saat ini Nevan sedang berada di sana karena merasa nyaman dengan suasana adem di Masjid.

Sesekali ia melirik beberapa orang yang sedang beribadah. Tepukan tangan di pundaknya dari belakang yang tiba-tiba membuatnya sedikit terkejut.

Ia menegok ke belakang untuk melihat siapa orang itu. "Eh, Adrian."

Cowok itu duduk di samping Nevan.

"Sendiri aja," tanya Adrian—teman sekelas Nevan.

"Iya, gue udah nggak punya temen. Temen gue udah punya cowok."

"Maksud lo Clara?"

"Iya."

Adrian menghela napasnya. "Persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu nggak ada."

Nevan tersenyum getir. Ia balik melempar pertanyaan pada Adrian.

"Gue lihat-lihat lo nggak pernah dekat sama cewek. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Nunggu sah aja. Takut dosa kalau belum mahram."

"Tapi lo pernah naksir cewek, kan?"

"Pernah lah, gue bukan gay."

Nevan terkekeh geli. "Siapa tuh?"

"Lo nggak perlu tau."

"Pantes gue nggak pernah lihat lo berduaan sama cewek. Gue lihat-lihat juga kalau ada cewek yang nggak sengaja nyentuh lo atau lo yang nggak sengaja nyentuh mereka, lo langsung nyebut dan langsung ambil wudhu."

"Perempuan itu istimewa, gue nggak mau nyentuh mereka sebelum menjadi milik gue sepenuhnya," jelas Adrian.

Nevan menunduk tanda bahwa ia paham atas apa yang dijelaskan oleh Adrian.

"Jadi kedepannya lo bakal gimana?" tanya Adrian lagi.

"Gue bakal jauhin Clara."

Adrian mengangguk. Ia mendukung penuh apa yang akan Nevan lakukan.

"Bener omongan lo, Yan. Persahabatan antara perempuan dan laki-laki itu emang nggak ada." Embusan napas pasrah keluar dari hidung Nevan.

"Salah satunya pasti akan tersakiti," sambungnya lagi.

Adrian meliriknya. "Lo suka sama Clara?"

"Seperti yang lo lihat," jawabnya sembari terkekeh. "Tapi gue juga tau diri, gue sama dia nggak bakalan bersatu. Tempat ibadah aja beda, gimana mau bisa bersama."

Adrian merangkul Nevan, bermaksud untuk menguatkannya.

"Tuhan selalu punya cara untuk buat makhluk-Nya bahagia."

"Lo bener, dan sekarang gue harus bisa jauhin Clara."

Senyum di bibir Adrian mengembang kala mendegar penuturan Nevan. Meskipun mereka satu kelas, keduanya jarang sekali mengobrol. Adrian sendiri juga tipe orang yang jarang bicara jika tidak ada hal penting.

"Tapi..., rasanya kayak aneh kalau gue tiba-tiba ngejauh. Terus gue harus apa?"

Cowok yang diberi pertanyaan itu tampak berpikir sejenak. Sejujurnya ia juga tidak tau harus apa.

"Coba lo bilang pelan-pelan aja. Gue rasa dia bisa paham."

"Semoga aja."

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Waktu istirahat sudah habis dan mereka kembali ke kelasnya.

Baru saja Nevan dan Adrian menduduki bangkunya, mereka disuguhkan dengan pemandangan yang membuatnya tertunduk.

Clara dan Riksa kini tengah bergandengan tangan menuju bangkunya.

"Gue harus bilang sama lo nanti juga, Ra,"—batin Nevan.

"Pacaran mulu nih anak," sindir Iren.

"Iri bilang bos!"

"Nanti putus nangis!" ejek Iren lagi.

"Orang iri diharap menjauh."

"Dasar gila!" sarkas Iren.

Mereka berdua kini sudah duduk rapi di bangkunya. Clara perlahan mengeluarkan bukunya dari dari dalam tas. Hari ini adalah pelajaran Bu Yesi.

Di tengah pelajaran Bu Yesi yang tengah berlangsung. Kini terdapat sesi untuk menjawab pertanyaan yang tertera di papan tulis.

"Clara, silakan maju ke depan dan kerjakan soal ini."

Cewek dengan rambut sedikit bergelombang itu mengikuti perintah Bu Yesi. Meskipun ia tengah pacaran rupanya nilai Clara sampai saat ini belum turun seperti yang Nevan katakan dulu.

Gadis itu memang cukup pintar. Apalagi jika dalam pelajaran hitung-hitungan seperti matematika, fisika, maupun kimia.

Kurang lebih hanya butuh waktu tiga menit saja Clara berhasil menyelesaikan soal itu.

Ia kembali ke bangku dan menunggu Bu Yesi akan memberitahukan bahwa jawabannya benar atau salah.

"Clara, jawaban kamu sedikit salah. Di sini seharusnya dijumlahkan dengan yang ini bukan yang itu. Paham, ya?"

"Iya, Bu. Paham." Clara sedikit meringis. "Tumben banget gue salah,"—batinnya.

"Ayo, kamu perbaiki lagi."

Clara bangkit dari tempat duduknya dan kembali memperbaiki hasil hitungannya. Beberapa saat kemudian ia kembali duduk.

"Nah, betul seperti ini. Sampai sini ada yang perlu ditanyakan?"

"Tidak, Bu," jawab selurh murid serentak.

"Kan, dugaan gue bener. Konsentrasi lo bakal terganggu. Tapi gue harap lo bisa segera atasi ini semua, Ra,"—batin Nevan.

Tak terasa beberapa jam telah berlalu. Pelajaran sekolah untuk hari ini pun telah selesai. Saat ini sudah memasuki pukul lima belas sore.

Nevan sibuk memasukkan alat tulisnya ke dalam tas, begitu juga dengan yang lainnya.

Di sisi lain Clara dan Riksa sudah bersiap menyampirkan tas di bahu. Kini, kedua sejoli itu bersiap untuk meninggalkan bangku.

Namun, Nevan yang melihat Clara hendak melintas pergi menahannya untuk jangan pergi terlebih dahulu.

"Ra," panggil Nevan.

"Apa?" balas Clara menengok ke arah Nevan dengan tatapan bertanya.

Nevan berdiri sembari menyangklong tas pundaknya dan berjalan mendekat ke arah cewek itu. "Ikut gue sebentar."

Pandangannya berganti mengarah pada Riksa yang terlihat curiga dan tidak ingin mengizinkan Clara untuk pergi bersama Nevan.

"Sebentar aja, gue pinjem cewek lo bentar."

Clara memandang Riksa seolah bertanya akan mengizinkan atau tidak.

"Ya udah, sana."

Mendengar Riksa mengizinkan Clara, Nevan berjalan menjauh dari Riksa dan mengkode Clara untuk mengikutinya.

Clara berjalan membuntuti Nevan. Saat ini mereka tiba di perpustakaan yang terbilang cukup sepi karena hampir seluruh murid di sana sudah banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

"Kenapa, Nev?"

Nevan megambil napasnya dalam-dalam dan mempersiapkan diri sebelum menjelaskan hal yang sesungguhnya kepada Clara.

"Ra, persahabatan kita sampai sini aja."

Mata Clara melotot tak percaya. "M-maksud lo?"

NaCl [END]Where stories live. Discover now