19 | Salah Paham

24 3 0
                                    

Riksa dan Navy menengok ke arah sumber suara. Riksa terperanjat kaget saat melihat Clara ada di sana.

"Ra, ini tidak seperti yang kamu lihat. Kamu salah paham."

"Salah paham gimana jelas-jelas aku lihat kamu peluk-pelukan sama dia," jelas Clara menunjuk ke arah sumber suara.

"Benar kata Riksa. Kamu salah paham."

"Udahlah. Aku pergi."

Clara meninggalkan mereka berdua dengan sedikit berlari.

"Clara... Clara...." Riksa terus memanggilnya namun ia tetap berjalan menjauh.

Navy memandang Riksa. "Dia pacar kamu? Kejar dia."

"Tapi lo?" balasnya sedikit khawatir.

"Aku nggak apa-apa."

Riksa mengangguk dan segera mengejar gadisnya. Clara pergi meninggalkan sejuta kesalahpahaman sekarang. Gadis itu berlari dengan menahan tangis.

Ia baru saja merasakan cinta. Namun, ia harus melihat perlakuan Riksa terhadap gadis lain di depannya.

"Ra, berhenti!"

Gadis itu masih tak menghiraukan Riksa yang mengejarnya, ia masih berusaha untuk berlari. Dengan sekuat tenaga Riksa menambah kecepatan berlarinya hingga ia berhasil meraih tangan gadis itu.

Clara yang sudah kuwalahan akhirnya mau tak mau berhenti dan berbalik menatap Riksa.

"Mau apa lagi? Kamu mau dia, kan? Ya udah, biar aku yang pergi."

"Kamu salah paham, Ra."

"Aku lihat kamu bilang kamu kangen dia, Riksa."

"Riksa? Kenapa manggil aku pakai itu? Kenapa bukan Ion? Aku nggak ngizinin kamu manggil aku dengan kata Riksa!"

"Memangnya kamu siapa?" tanya Clara sedikit membentak.

"Aku pacar kamu."

"Pacar? Lalu dia? Simpanan kamu?"

"Enggak, Ra. Dengerin aku dulu."

"Urus saja pacar simpanan kamu itu!"

Clara membalikkan badannya kembali bersiap untuk melangkah pergi. Riksa tetap berusaha menahan tangannya. Namun, gadis itu menghempasnya kasar hingga tautan tangannya terlepas.

Ia berlari menuju jalan dan melambaikan tangan kala melihat taksi yang sedang lewat. Tanpa memedulikan Riksa lagi gadis itu segera masuk mobil dan menghilang pandangan Riksa.

Riksa yang mengejarnya dari belakang pun akhirnya menyerah dan membiarkan gadis itu pergi begitu saja.

Air matanya turun. Ia cukup merasa sakit sekarang. Gadis itu membuatnya kehilangan mood untuk hari ini. Clara memang egois dia ingin Riksa selalu bersamanya dan tak akan pernah mau melepaskannya meskipun itu hanya teman saja.

Melihat Clara yang sudah hilang dari pandangannya Riksa bergegas kembali menghampiri Navy.

"Gimana?" tanya Navy saat melihat Riksa kembali.

"Dia pergi. Maafin pacar gue, ya."

"Santai aja, Sa. Oh iya, nanti kamu harus jelasin semuanya. Aku nggak mau hanya karena aku si cewek cacat ini hubungan kalian jadi nggak baik."

"Sttt." Riksa menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. "Ngomong apa sih, Vy? Janji sama gue jangan ngomong gitu lagi."

"Aku..., aku nggak bisa."

"Kenapa? Semua ciptaan Tuhan itu sempurna, Navy."

"Iya, tapi aku enggak."

Riksa mendekat ke arah Navy dan duduk berjongkok di depannya yang memakai kursi roda.

"Di mata gue lo sempurna, Vy. Oke, mungkin secara fisik lo udah nggak kayak dulu lagi. Tapi..., hati lo masih sama baiknya kayak dulu dan nggak berubah sedikitpun."

Navy tersenyum mendengar ucapan Riksa. Cukup sakit memang mendapati bahwa Riksa, sahabat masa kecilnya sudah memiliki pujaan hati.

Dahulu keduanya saling mencintai dalam diam, tapi sekarang semuanya sudah berubah. Navy harus mengikhlaskan Riksa untuk Clara.

"Clara pasti bangga punya kamu, Sa."

Cowok itu tersenyum lalu mengusap lembut rambut Navy. Tatapan Navy tidaklah berubah masih teduh sama seperti saat ia masih bersama. Netra coklat itu untuk pertama kalinya Riksa tatap lagi setelah empat tahun terpisah.

"Ngobrol di sana, yuk." Riksa menunjuk sebuah kursi di taman itu.

"Ayo."

Riksa mendorong kursi roda yang dikenakan Navy. Tentunya Navy pasti kesulitan memakai kursi roda ini tanpa bantuan orang lain. Namun, gadis itu memang tidak mau merepotkan hingga terbiasa ke mana-mana memakai kursi roda sendiri.

Riksa mengambil posisi duduk dengan Navy yang berada di depannya.

"Jadi, selama lo menghilang lo nggak pernah sekali pun homeschooling?"

Navy menggeleng. "Enggak. Aku kehilangan semangat belajar, Riksa."

"Lain kali belajar sama gue, mau?"

"Mau." Navy mengangguk semangat.

"Kamu nggak mau pulang, Sa? Pacar kamu—"

"Nanti gue bakal temui dia. Tapi kalau untuk saat ini gue mau nemenin lo dulu. Gue kangen sama lo, Vy. Jangan ngilang lagi, ya?"

"Iya, maaf gue udah bohongin lo dan bohongin semua orang. Gue terlalu takut untuk menerima kenyataan."

"Udah, jangan dipikirin. Mau permen kapas nggak?"

Navy menggeleng cepat. "Kenapa?" tanya Riksa.

"Permen kapas bikin aku kehilangan fungsi kakiku. Aku benci."

"Tapi lo suka' kan? Vy, dengerin gue. Terkadang Tuhan emang mengambil kebahagiaan kita begitu cepat. Bahkan, tak jarang kita selalu nyalahin Tuhan. Tapi percayalah Tuhan itu selalu punya rencana terbaik dibalik beban yang diberi ke ciptaan-Nya."

"Lo boleh minta bantuan gue, Vy. Lo boleh minta gue buat gendong lo kemana pun, gue mau, gue nggak keberatan. Kebahagian lo adalah kebahagiaan gue, Navy," sambung Riksa lagi.

"Sa, aku selalu pengin makan permen itu, tapi tiap kali aku lihat pasti aku selalu keinget momen di mana aku dipanggil Tuhan."

"Rasa trauma itu emang susah buat dihilangin, tapi lo juga kayak nyiksa diri lo sendiri juga, kan? Lo pengin makan itu tapi ada bayangan masa lalu."

"Gini aja, gue beliin lo permen itu dan lo tatap mata gue, berusaha sebisa mungkin lo lupain peristiwa itu. Pukul gue kalau bener-bener nggak bisa nahan rasa sakit itu, Vy. Mau?"

Navy mengangguk ragu.

"Lo tunggu di sini dulu, ya."

"Iya."

Riksa bangkit dari duduknya dan pergi membelikan permen kapas untuk Navy. Tak membutuhkan waktu lama ia kembali dengan membawa satu permen kapas untuk sahabatnya itu.

Navy menatap takut permen yang dibawa Riksa. Ia ingin sekali memakan permen itu. Namun, ketika ia melihat permen itu kejadian empat tahun lalu tiba-tiba terlintas.

Sepertinya Navy memang harus bisa menghilangkan rasa trauma ini agar ia bisa menikmati kembali makanan favoritnya tanpa harus takut lagi.

"Makan dikit dulu, Vy dan lihat gue kalau lo takut."

Gadis itu perlahan-lahan mengambil alih permen tersebut dari tangan Riksa dan perlahan memakannya.

Seperti ada sensasi berbeda saat ia memakan permen ini. Setelah empat tahun lalu ia tidak pernah merasakan kembali permen kapas akhirnya ia bisa merasakannya lagi.

"Masih sama, manis dan jadi favorit aku."

"Gimana? Udah suka lagi?"

Navy mengangguk. "Rasa manis dan lembut dari permen ini menghilangkan rasa takut aku selama empat tahun ini."

Navy menatap Riksa intens. "Kamu bener, Sa. Aku hanya perlu berani dan berdamai dengan yang sudah berlalu. Tuhan itu adil dan ketika Tuhan memberi cobaan, mengambil segala hal yang buat aku tadinya bahagia Tuhan pasti punya rencana dibaliknya. Bagian paling bersyukurku sekarang adalah Tuhan masih memberi kesempatan buat aku untuk tetap hidup."

NaCl [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя