4 | Cemburu

89 10 0
                                    

"Gue ikut."

Nevan tertawa mendengar penuturan Riksa. Cowok itu benar-benar tak menyangka bahwa pacar dari sahabatnya itu sangatlah possesif.

"Lo cemburu?" tanya Nevan dengan nada mengejek.

Bukannya menjawab, Riksa justru melempar tatapan tajam ke arah Nevan. Nevan tersenyum menyeringai.

"Gue cuma sahabat Clara, bukan pacarnya. So, nggak usah cemburu ke gue. Dari dulu gue emang udah terbiasa kemana-mana sama Clara. Nggak usah kaget."

Gadis yang tengah jadi perbincangan itu berdiri mendekati Riksa dan duduk di sebelahnya. Matanya menatap tulus pujaan hatinya. "Nggak apa-apa kok, Ion. Janji deh aku nggak bakal macem-macem."

Riksa menatapnya sekilas lalu membuang muka. "Ya udah."

Senyum tipis tercetak di bibir Nevan. "Ngelihat lo yang cemburu kayak gini, gue semakin tertarik buat ngerusak hubungan lo, Riksa."—batin Nevan.

Nevan menetralkan napasnya, lalu melihat temannya satu per satu. "Udah waktunya istirahat, nggak pada keluar?"

"Ion, ayo keluar. Mau makan bareng," Clara mengait lengan Riksa berniat mengajaknya pergi.

"Bucin banget, jijik, deh," ejek Aurin bergidik ngeri melihat kedua sejoli itu.

"Bilang aja iri. Ayo, Ion. Kita tinggalin aja mereka."

Malas menanggapi teman-temannya Clara memilih untuk pergi menjauh bersama pacarnya.

"Lo cemburu kan, Nev?" ucap Viola. Gadis itu tak sengaja melihat raut wajah Nevan yang berubah tidak bersahabat seperti menahan amarah.

"Nggak!"

"Naif kalau lo bilang enggak. Persahabatan antara perempuan dan laki-laki itu nggak ada. Salah satunya pasti tersakiti. Dan gue tau hal itu terjadi juga sama lo, Nevan." Aurin menampilkan senyumnya yang terkesan mengejek.

"Berisik!" Nevan bangkit dari tempat duduknya dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Aurin melirik ke arah Viola yang menunduk diam.

"Suka Nevan, kan? Lo tau sendiri dia gimana. Selain suka Clara dia sama lo juga berbeda agama. Mending hilangin rasa itu sekarang juga, Ola."

Viola memejamkan matanya. Rasanya terlalu sakit jika ia harus terus-terusan memendam perasaan terhadap temannya sendiri. Apalagi beda keyakinan semakin membuatnya patah hati.

"Gue bakal nyoba."

Aurin tersenyum mendengarnya. Kini, mereka beranjak pergi untuk menyusul teman-temannya yang sudah pergi ke kantin terlebih dahulu.

"Pacaran mulu lo berdua." Nevan datang secara tiba-tiba dan menyerobot duduk di tengah-tengah Clara dan Riksa.

"Ck." Riksa berdecih pelan. "Apaan sih, lo? Di sana kan masih banyak tempat duduk."

"Suka-suka gue."

Clara yang berada di samping Nevan memukul cowok itu dengan kesal. "Nevan! Lo minggir, ihh. Ganggu aja lo."

Melihat Clara yang terus-terusan memukulnya, ia mencoba menahan tangan gadis itu. "Nggak boleh kasar."

"Lo nyebelin, Nevan!" Clara memukulnya lagi dengan keras.

"Bentar aja, Ra. Cuma numpang duduk doang, kok. Bukan numpang di hati lo."

Riksa memicingkan matanya curiga. Sepertinya ada maksud tertentu dibalik ucapan Nevan barusan.

"Gue sama Clara yang minggir atau lo yang minggir?"

Nevan tertawa. "Cemburu aja terus."

Cowok itu berdiri, lalu menepuk pelan pundak Riksa dan juga Clara.

"Puas-puasin deh pacarannya."

Ia segera bergegas pergi dari sana dan memilih duduk di bangku belakang mereka.

"Lihatin aja dulu. Bentar lagi juga putus," ujar Nevan yang diikuti dengan sudut bibir yang terangkat.

Setelah Nevan pergi dari tempatnya Riksa semakin mendekat ke arah Clara. Saat ini ia mengambil sesuap nasi dengan sendok. "Aaa."

Mulut Clara terbuka menerima makanan itu dan langsung mengunyahnya.

Dari sisi berlainan terlihat Aurin dan juga Viola yang sedang memperhatikan mereka sedang bermesraan di tempat umum.

"Lo ngerasa nggak sih, semenjak Clara punya pacar dia jadi berubah?" tanya Aurin.

Viola mengangguk. "Gue rasa juga gitu. Lo bisa lihat sendiri sekarang dia lebih mementingkan cowoknya daripada temennya."

"Tapi ya udahlah, hak dia juga mau berubah kayak gimana."

Aurin berhadapan dengan Viola. "Eh, kenapa kita malah ngomongin dia. Nggak boleh gitu, ah. Barangkali dia emang lagi difase jatuh cinta banget. Bucin akut ya kan?"

"Lo yang mulai, Rin!."

Gadis itu menampilkan cengirannya. "Hehe, maaf."

"Nevan lo sendiri aja, ya. Dia tipe gue banget. Tapi sayangnya gue sama dia beda agama." Viola memperhatikan Nevan dengan satu tangan yang bertumpu dagu dengan meja sembari memperhatikan Nevan dari kejauhan.

Aurin mengelus lembut punggung Viola. "Cinta itu nggak kemana, kok. Kalau Nevan jodoh lo pasti kalian bakal bersatu."

"Haha, nggak mungkin."

"Mungkin aja, kok."

Viola terdiam. Dia merasa sangat tidak pantas jika harus menyukai Nevan. Selain ia tahu jika Nevan sebenarnya menyukai Clara, ia juga semakin tidak yakin karena perbedaan agama.

Matanya kini mengarah pada kedua sejoli yang sedang saling menyuapi satu sama lain. Riksa dan Clara. Keduanya terlihat sangat romantis dan juga sangat cocok. Riksa yang tampan bersanding dengan Clara yang bisa dibilang cukup cantik.

"Ion" panggil Clara.

"Iya, Ara."

"Besok kan hari minggu. Kita jalan-jalan, yuk."

Riksa terdiam sejenak. Ia menatap mata indah Clara dengan lembut. "Nggak bisa, Ra."

Gadis itu menekuk bibirnya cemberut. "Kenapa?"

"Besok aku mau ke Gereja."

Clara menunduk dalam. Ia lupa bahwa pacarnya berbeda agama denganya. Rasanya terlalu egois jika ia harus memaksakan Riksa untuk pergi bersamanya.

Suatu ide tiba-tiba melintas di kepala Clara. "Gimana kalau abis kamu pulang dari Gereja?"

Cowok itu tampak berpikir sejenak. "Aku nggak bisa."

"Kenapa lagi?"

"Kamu lupa aku pernah bilang sama kamu kalau aku kerja sampingan?"

Clara terperanjat kaget mengingat hal itu. Riksa memang pernah memberitahukan hal itu kepadanya. Sehabis pulang sekolah atau di hari minggu biasanya Riksa akan pergi untuk bekerja sebagai penyanyi cafe di dekat rumahnya.

Meskipun keluarga angkat Riksa cukup kaya, ia tidak mau memberatkan kedua orang tua angkatnya. Meskipun hasilnya tidak seberapa setidaknya ia bisa sedikit demi sedikit menabung untuk keperluannya kelak.

"Oh, iya. Ya udah deh nggak apa-apa."

"Maaf ya, Sayang." Riksa mengusap lembut rambut Clara.

Clara menampilkan senyumnya. "Iya. Aku paham, kok."

"Aku bakal usahain biar kita bisa jalan bareng kapan-kapan."

"Beneran, ya?"

"Aku nggak bisa janji. Tapi, aku bakal usahain itu, Ara."

Clara meraih tangan kanan Riksa dan menggenggamnya erat. "Aku nggak pernah nyangka bisa ketemu sama kamu. Aku juga nggak nyangka kalau kamu bakal jadi pacar aku. Aku ngerasa beruntung bisa kenal dan jadi seseorang yang istimewa buat kamu. Terima kasih sudah hadir di kehidupan Clara Luthfya, Narion Ariksavian."

"Aku jauh lebih beruntung, Ara."

NaCl [END]Where stories live. Discover now